Sunday, July 27, 2008

Mengenang dengan Senyuman

Rabu sore.

Jakarta Selatan entah-bagian-mana.

Lampu lalu-lintas berganti dengan lambat, menyebabkan kemacetan panjang yang melelahkan. Pengemudi taksi yang saya tumpangi (taksinya, bukan orangnya ;-D) menginjak pedal rem dengan hati-hati, sementara saya terbengong-bengong seperti orang dusun masuk kota melihat kepadatan yang berpotensi menimbulkan gangguan jiwa itu.

Menyadari perjalanan ini akan makan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, saya mengeluarkan biskuit dan air mineral untuk mengganjal perut. Sambil mengunyah, saya berdoa supaya kemacetan ini tidak sampai membuat saya terlambat menghadiri sebuah pertemuan penting. Saya tidak ingin melampaui jam yang sudah ditentukan.

Ketika sedang konsentrasi membersihkan remah biskuit yang tercecer di jeans, saya terkejut karena si supir taksi mendadak tertawa heboh sambil bertepuk tangan.

Saya melongo.

Dugaan pertama, macet-edan-bego ini memang sungguhan berpotensi menimbulkan gangguan jiwa.

Sebelum sempat merumuskan asumsi kedua, saya mengetahui penyebab kegembiraan si supir.

Mengikuti arah pandangnya, saya menemukan seorang pengemudi bus patas AC yang sedang melambaikan tangan dengan bersemangat ke arah kami. Ia tersenyum lebar sambil menunjuk-nunjuk taksi yang saya naiki.

Si supir taksi mencondongkan tubuh, membuka jendela dan bertepuk tangan lagi, gantian menunjuk-nunjuk patas merah yang dikendarai si supir bus, kemudian mengacungkan jempol.

Saya memandangi mereka bergantian, geli karena keduanya bertingkah seperti anak kecil teman sepermainan yang sudah lama tidak bertemu.

Setelah jendela ditutup, saya bertanya spontan, “Memangnya kenal, Pak?”

*Dan langsung sadar: pertanyaan bodoh. Yyya iyyyalaaah, Jen. Hahaha!*

Si supir taksi mengiyakan. “Dulu dia yang bawa taksi ini, Mbak. Nggak lama habis saya diterima di sana, dia keluar, trus nggak pernah ketemu lagi. Eh, tau-tau sekarang udah nyupirin bis AC.”

“Oh...”

Lampu lalu-lintas berganti. Nggak ngefek sebetulnya, karena taksi saya hanya bisa maju beberapa milimeter *hiperbola* saking padat (dan leletnya) kendaraan-kendaraan di depan kami.

*By the way, saya mau titip pesan untuk para pengemudi kendaraan di Jakarta tercinta yang sering terjebak macet: kalau lampu sudah berganti hijau, mbok yaaao jangan santai jaya. Bolehlah ngapain aja selama lampu merah, tapi plis dong tetap alert terhadap pergantiannya. Dan coba ya, itu, jangan keasikan ngobrol dan baru maju setelah diklakson orang.*

Saya menoleh ke arah bus patas merah itu, ingin melihat pengemudinya lagi.

Dia masih ada di sana. Menumpangkan dagu di atas kedua tangannya yang terlipat di jendela. Tersenyum. Sepasang matanya tak lepas menatapi taksi saya. Senyum itu membuat wajahnya berbinar dengan ekspresi yang sulit diartikan, namun entah bagaimana, saya seperti melihat kedamaian di sana. Secercah hangat yang tiba-tiba membuat saya merasa nyaman.

Untuk sesaat, saya sangat ingin tahu apa yang ada dalam benaknya. Apa yang membuatnya tersenyum seperti itu. Apa yang menyebabkan wajahnya berbinar damai. Apa yang membuat lengkungan lembut itu betah tersungging di sana.

Kenangan akan masa lalu? Pengalaman manis? Kesedihan? Atau sesuatu yang lucu?

Saya memalingkan wajah, kembali menatap ke depan – ke deretan kendaraan yang menyemut seolah tak ada habisnya. Lalu mata saya tertumbuk pada sebuah billboard raksasa bernuansa merah-kuning yang berdiri angkuh di sisi jalan.

PERUBAHAN ITU PERLU.

Itulah satu-satunya kalimat yang tertera di sana.

Selama beberapa detik, saya hanya termangu menatapi tulisan itu. Lagi-lagi, dengan cara yang ajaib, Sang Pencipta menunjukkan kebesaran-Nya. Memberi satu lagi peneguhan dan kekuatan untuk hati kecil yang kerap meragu ini. Menciptakan sinkronisitas untuk meyakinkan saya bahwa jalan yang sedang saya tempuh adalah jalan yang benar – setidaknya untuk saat ini. Mengalihkan fokus saya dari berbagai hal yang menyita perhatian dan terkadang begitu menjemukan, untuk sekejap menyapa dan memberitahu bahwa saya tak pernah sendirian dalam menapaki perjalanan panjang ini.

Lampu lalu-lintas belum berganti. Mobil-mobil semakin menyemut, putus asa sekaligus pasrah terhadap kemacetan Rabu sore yang menguras kesabaran. Supir taksi saya tak kalah frustrasi. Ia menghela nafas panjang dan mengangkat kedua tangannya, melipatnya dan menyandarkan kepalanya di sana seolah ingin mengusir penat.

Saya merapatkan cardigan untuk mengusir hawa dingin. Sebelum ikut merebahkan kepala di sandaran jok taksi, sekali lagi saya menoleh, ingin mematri satu sinkronisitas lagi yang singgah di hadapan saya sore itu.

Pengemudi bus itu masih ada di sana, dalam posisi yang sama. Dan dia masih tersenyum.

Saya menatapnya, lama. Perlahan, saya membisikkan sebait doa dari hati yang terdalam.

Apapun yang terjadi di depan sana, apapun yang menunggu saya kelak, apapun yang akan saya alami dalam perjalanan dan evolusi kehidupan yang terus bergulir ini; sesal atau senang, gembira atau sedih, kebanggaan atau kekecewaan, hanya satu harapan saya: semoga saya bisa senantiasa mengenangnya dengan senyuman.

:-)


*Tulisan ini didedikasikan untuk dua orang kawan sekaligus guru yang telah memungkinkan perjalanan-Rabu-sore saya terwujud. Thanks for everything. Most importantly, thanks for being there. ;-)

Thursday, July 24, 2008

Sebuah Proses Bernama Evolusi

Saya punya dua benda favorit yang tidak boleh absen dari kamar, supaya kapanpun saya butuh bisa langsung disambar dan digunakan: jaket hitam yang enak dipakai dan botol minum plastik berwarna pink yang pasaran jaya.

Si jaket sudah menghuni lemari saya sejak lulus SMU (that was, like 7 years ago) dan sudah ngatung dengan canggihnya di seputar perut. Yang masih layak dilihat cuma bagian lengannya. ;-)

Si Pinkie baru jadi teman setia saya selama setahun. Cuma, ya itu, karena saya termasuk spesies perempuan sradak-sruduk, botol minum itu sudah berkali-kali kebanting dan tutupnya mulai retak.

Beli baru?

Bukan itu soalnya. Masalahnya, saya terlanjur jatuh cinta dengan benda-benda itu. Sahabat-sahabat lama yang nyaman dipakai dan sudah terlalu akrab dengan saya, karena selalu dibawa kemana-mana. Kadang, saya merasa kurang lengkap kalau pergi tanpa jaket itu, atau tanpa menenteng si Pinkie. Padahal mah, dibawa juga belum tentu dipakai, dan yang lebih sering menghabiskan air di botol pink itu malah teman-teman saya.

Anyway, saya memutuskan untuk ‘bertahan’... sampai Jum’at kemarin, ketika saya menyempatkan diri untuk berkaca setelah mengenakan si jaket, dan mendadak sadar bahwa senyaman-nyamannya benda itu melekat di badan, penampilan saya jadi aneh dengan jaket yang ngatung seperut, terlalu pas-badan dan siku yang kesempitan.

Oh, well...

Saya melangkah dengan PD ke warung nasi dan memesan seporsi nasi rames. Ketika meletakkan botol minum di meja untuk membuka dompet, baru saya ngeh bahwa si Pinkie sudah basah. Air di dalamnya merembes gara-gara retakan yang makin panjang.

Saya hanya cengar-cengir. Ya sudahlah, benda-benda itu memang sudah waktunya masuk museum (atau dibuang? Hihihi). Bahasa kerennya mah: expired. Ngindonesianya: Kadaluarsa. Percuma dipertahankan, karena akhirnya malah akan merepotkan. Nyaman, tapi sudah tidak pas lagi untuk dipakai.

Sepanjang perjalanan ke kantor, saya merenung *tsah*. Meski menyimpan barang yang sudah terlalu tua itu tidak baik (dan cenderung menimbulkan kesan pelit, hahaha), entah kenapa saya masih tetap melestarikan kebiasaan itu. Adik saya malah sering mengomentari isi lemari saya yang sebagian terdiri dari baju-baju jaman penjajahan Belanda: “Baju kayak gitu dibuang aja kenapa sih?!”, yang selalu saya tangkis, “Enak aja. Nyaman dipake, tauuu.”

Yup, karena nyaman, saya mempertahankan barang-barang yang seharusnya sudah lama dibuang. Meskipun koleksi barang-barang baru terus bertambah, saya kekeuh melestarikan benda-benda usang, sampai lemari saya tidak cukup lagi untuk menampung semuanya, dan saya harus meluangkan waktu untuk membongkar dan memilah – mana yang masih layak disimpan, mana yang harus disalurkan kepada yang lebih membutuhkan... atau dibakar sekalian. ;-D

Kemarin, seorang teman yang tinggal di Amerika mengirim sebuah pesan pendek, “Handphone apa yang lagi ngetop di Indonesia?”

Saya menjawab, “Nggak tahu, sudah nggak pernah ngikutin.”

Beberapa tahun lalu, saya rajin mengupdate diri dengan informasi tentang handphone terbaru yang beredar di pasaran; mulai dari fitur, ukuran, harga, sampai dimana membelinya. Tidak jarang, karena terlanjur jatuh cinta dengan handphone tipe tertentu, saya meracuni teman-teman saya untuk membelinya juga, meski mereka tidak memerlukan fitur-fitur di dalamnya (memangnya saya butuh? Nggak juga, cuma suka aja ;-D). Tapi, seiring bertambahnya umur dan menyurutnya keinginan narsis untuk mengabadikan diri dalam foto berbagai gaya secara berlebihan dan mengoleksi lagu-lagu keren, saya jadi malas mengikuti perkembangan handphone. Saya memilih menabung untuk membeli laptop (dan setelah itu mengisinya dengan foto-foto narsis dalam berbagai gaya dan lagu-lagu keren, HAHAHA).

Namun, lepas dari berbagai alasan yang saya kemukakan, “Sudah nggak minat ngikutin tren HP”, “Pengen nabung untuk sesuatu yang lebih berguna”, “Bosan”, dan lainnya, penyebab sesungguhnya saya menyetop kebiasaan itu (dan membuang benda-benda kesayangan) cuma satu: memang sudah saatnya. Masa ‘kadaluarsa’ itu sudah tiba. Memaksakan diri untuk tetap bertahan malah akan membebani dan merepotkan saya.

Itu baru masalah barang kesayangan dan kebiasaan. Hal yang sama, sadar-tidak sadar ternyata sering juga terbawa selama saya meniti perjalanan panjang bernama Kehidupan. Entah berapa kali saya mencoba bertahan dengan berbagai prinsip, nilai, falsafah, atau apapun-itu-labelnya; mengadaptasinya dalam hidup sehari-hari tanpa sadar bahwa kehidupan itu sendiri adalah sebuah evolusi.

Saya menganggap prinsip, nilai dan falsafah tersebut sebagai ‘kebenaran mutlak’ karena itulah yang sudah saya genggam bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang saya menganggap mereka yang berseberangan dengan saya sebagai pihak yang ‘salah’ – semata-mata karena apa yang mereka percayai tidak sejalan dengan saya. Akhirnya, ketika saya menasehati/berusaha meyakinkan seseorang untuk menerima apa yang saya anggap benar (dengan mengatasnamakan kebaikan orang yang bersangkutan), sesungguhnya itu hanyalah upaya untuk mengonfirmasi apa yang bersarang di benak saya sekian waktu lamanya; bahwa saya masih benar, bahwa saya masih bisa menggenggam prinsip tersebut, bahwa saya masih dapat mempercayainya.

Dan, ya, saya pernah (berkali-kali, malah) berusaha mengotbahi orang lain dengan harapan orang yang bersangkutan akan sadar, berubah, mengikuti jejak saya, dan menjadi bahagia... hanya karena saya merasa bahagia dengan apa yang saya jalani saat itu.

;-)

Padahal, kehidupan adalah sesuatu yang dinamis dan selalu mengalami perubahan. The most certain thing in this world is change. Apa yang dianggap mutlak, pasti dan absolut bertahun-tahun lalu barangkali kini sudah dianggap basi. Apa yang digilai, dianut mayoritas orang dan dijadikan konsep ideal massa saat ini, bisa tidak laku lagi 10 tahun mendatang. Apa yang dianggap tren terkini bisa menjadi usang dalam hitungan waktu, dan apa yang disebut ‘nggak banget’ sangat mungkin berubah menjadi ‘gue banget’.

Padahal, apa yang cocok buat saya belum tentu cocok untuk orang lain.

Padahal, apa yang membuat saya bahagia belum tentu bisa membuat orang lain bahagia.

Padahal, ‘kebenaran’ itu sendiri sangatlah relatif, ya nggak, sih? ;-)

*Uhmmm... meskipun memang ada hal-hal yang sudah dijadikan ‘kebenaran’ atau ‘konsep ideal’ sebagai hasil konstruksi dari apa yang dianggap ‘sah’, ‘absolut’ dan ‘pasti’ oleh kebanyakan orang. ;-)*

Intinya, lepas dari apapun yang diyakini sebagai kebenaran mutlak, saya percaya bahwa kebenaran sejati hanya bisa diperoleh dari kehidupan yang terus berevolusi. Dari pengalaman-pengalaman otentik yang mendekatkan setiap orang pada realitas dirinya yang sejati. Kenapa relatif? Karena proses evolusi setiap orang tidak sama; layaknya proses tumbuh-kembang manusia secara fisik (ada anak yang umur setahun sudah bisa berlari, ada yang baru belajar berjalan. Ada yang sudah pandai cuap-cuap ketika berusia 2 tahun, ada yang baru belajar bicara, dan sebagainya), atau seperti faktor penyebab kebahagiaan yang sangat beragam. Nggak usah jauh-jauh ngomong bahagia, dari hal-hal terkecil yang biasa ditemui dalam hidup sehari-hari saja, banyak contoh kasus yang bisa dijadikan analogi.

Dulu saya tidak suka kopi, tapi sekarang ada saat-saat tertentu dimana saya sangat membutuhkan kopi (kheuseusnya ketika sedang begadang mengejar deadline, atau sedang ingin ngopi bergaya di kedai kapitalis *hai, Jeung*). Dulu, saya tergila-gila dengan kemeja-pas-badan dan celana panjang hitam, sekarang saya memilih untuk mengenakan t-shirt dan jeans kemana-mana. Waktu SD, saya selalu bertengkar dengan semua-anak-laki-laki-yang-cukup-apes-untuk-dipasangkan-semeja-dengan-saya, tapi sekarang saya menyukai pria-pria tampan bertubuh tinggi, berwajah indo, smart, berselera humor... *ini apaan sih?! Hahaha!*... dan selalu adu pendapat dengan teman saya yang menyukai cowok-cowok bertampang Asia nan eksotis dan berkepribadian lembut (LEMBUT, ya, bukan melambai). ;-D

Yang paling kentara secara fisik: dulu saya jerawatan parah, tidak sembuh-sembuh meski sudah mencoba berbagai produk, tapi sekarang yang tersisa hanya bekas-bekasnya – tanpa pengobatan. Menurut seorang teman yang juga ahli dermatologi, hal itu biasa terjadi. Penyebabnya adalah ketidakstabilan hormon yang akan reda dengan sendirinya seiring bertambahnya usia.

Dan masih banyak lagi perubahan yang bisa saya sebutkan sebagai contoh bahwa saya terus berproses bersama kehidupan.

Sederhana saja. Saya sedang berevolusi.

Perubahan. The most certain thing in the world.

Relativitas. Selama ada sesuatu yang disebut kebenaran sejati, akan ada relativitas dimana-mana.

Dan suka tidak suka, cepat atau lambat, kita akan berhadapan dengan momen dimana kita harus memilih: melepaskan apa yang selama ini kita genggam, atau terus menyimpannya sampai berkarat. Tidak mempertahankan apa yang sudah usang, atau memeluknya sampai mati. Meninggalkan sofa empuk untuk meneruskan perjalanan, atau bergelung dan menutupi wajah dengan selimut. Ikut berevolusi bersama kehidupan, atau tinggal dalam kondisi yang sama selamanya.

Siapkah kita, jika suatu saat kita berhadapan dengan realitas bahwa apa yang selama ini kita pegang erat-erat telah berubah menjadi ‘kebenaran usang’ yang tak lagi beriringan dengan proses evolusi kehidupan?

Siapkah kita, jika dihadapkan dengan momen dimana kita diharuskan untuk memilih, meski kita tak ingin menetapkan satu di antara dua (atau tiga, bahkan empat)?

Siapkah kita, jika ‘tanggal kadaluarsa’ itu tiba?

Apa yang akan kita lakukan?

Saya? Saya hanya punya satu harapan, sederhana saja: semoga hati ini bisa semakin diperluas untuk terus beradaptasi dengan setiap proses evolusi kehidupan, apapun wujud dan caranya.

Jika tiba saatnya saya harus melonggarkan jari untuk melepas, biarlah hal itu terjadi dengan natural, sebagaimana mestinya, karena memang sudah saatnya. Jika tiba waktunya untuk berubah, biarlah saya melepas semua yang selama ini saya jalani dengan lapang dada; nyaman tidak nyaman, suka tidak suka. Ketika tiba saatnya berhadapan dengan realitas dari kehidupan yang senantiasa bergerak dinamis ini, biarlah saya memiliki kebesaran jiwa untuk menerimanya... dan bergerak bersamanya.

Ya, semoga saya bisa. :-)

Saturday, July 19, 2008

Meant to be

Saya termangu di depan komputer. Saat itu jelang pukul 3 sore, dan sel-sel otak saya sudah tidak bisa diajak bekerjasama. Menolak untuk berfokus pada word processor di layar dan mengembara sesuka hati.

Saya meraih ponsel yang baterainya mulai menyusut dan membuka folder pesan. Membaca sebaris kalimat yang tertera di sana, mengulanginya dalam hati, padahal saya sudah hafal isinya – alamat singkat dari seseorang yang sudah lama ingin saya temui. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor saya, tapi saya samasekali belum pernah merambah daerah itu. Tidak tahu lokasinya dimana, dan semua teman yang saya tanyai sehari sebelumnya kompak menjawab “Tidak tahu”.

Lalu, saya ingat, saya masih menyimpan sebuah nomor telepon yang saya dapat secara ‘tidak sengaja’ ketika menghubungi layanan informasi 108 dalam rangka mencari agenda book fair yang diselenggarakan sebuah toko buku besar di daerah yang sama. Seperti biasa 108 memberikan nomor yang salah, tapi (untungnya) nomor itu masih tersimpan di daftar dialled numbers ponsel saya.

*Hai 108, meskipun kalian memberikan nomor telepon pengembang daerah instead of telepon toko buku, saya nggak marah koook. ;-D*

Telepon tersambung. Saya memperoleh informasi yang saya butuhkan: lokasi perumahan, petunjuk jalan, patokan-patokan, bahkan warna angkot yang harus saya naiki untuk pergi ke sana. Saya menyimpan informasi tersebut di otak, berharap sel-sel kelabu di sana sudi diajak bekerjasama, karena untuk sebab yang tidak jelas, belakangan ini saya terkena short-term memory syndrome. Tidak ada yang sanggup bertahan di otak saya lebih dari 2 menit.

Mencatat? Nah, itu juga nggak kepikiran. ;-D

Pukul 5 lewat, setelah mentransfer beberapa lagu ke ponsel baru milik asisten rumah tangga sahabat saya (yang tinggal tidak jauh dari kantor dan ujug-ujug mendatangi saya untuk minta lagu Mariah Carey dan Josh Groban – serius!), saya pergi ke alamat yang dituju.

Di dalam angkot, lagi-lagi pikiran saya mengembara. Mau ngapain ke sana? Setelah ketemu, mau bilang apa? Iya kalau ketemu, kalau nggak? Kalau rumahnya kosong? Jawabannya: tidak tahu.

Saya menepis pertanyaan-pertanyaan itu dan memilih untuk mengamati jalan, jangan sampai petunjuk yang diberikan si operator terlewat (meskipun kalau kelewat juga, kayaknya saya nggak bakal sadar, hahaha).

30 menit berlalu, saya mulai bingung, samasekali tidak tahu berada di mana. Semua daerah yang familiar bagi saya sudah terlewat. Saya hanya merapatkan tubuh ke pintu angkot, menatapi jalanan sambil sesekali memejamkan mata, menghindari debu dan angin.

“German Centre turun satu, Bang!” Ibu-ibu berbadan gemuk yang duduk di pojokan berseru keras. Saya tersentak, sejumlah informasi yang terselip entah di otak bagian mana mendadak berhamburan.

German Centre adalah patokan jalan yang sempat disebutkan si mbak operator. Spontan saya menengok ke luar. Ternyata saya tidak (belum?) nyasar. Kalau informasi si operator benar, seharusnya setelah ini angkot akan berjalan lurus, melewati flyover dan sampai ke perumahan yang saya tuju.

Saya bersandar di jok angkot, lega. Dan si supir membelokkan angkotnya ke kiri.

Hayah.

Belum sempat saya memprotes (lagian, emang ngefek gitu? ;-D), supir angkot berteriak, “TADI ADA YANG MAU KE LATINOS?”

“Iya, saya.”

“Nanti nerusin naik angkot biru aja, Mbak. Yang itu tuh.” Ia menunjuk angkot di seberang jalan yang datang dari arah berlawanan.

Baguuus.

Saya menatapnya dengan jengkel, menyangka akan diturunkan di pinggir jalan saat itu juga. Tapi, si supir malah membunyikan klakson keras-keras sampai angkot biru melambatkan jalan.

“Woi, tungguin! Ada yang mau ke Latinos nih!” lalu ia berpaling ke saya, “Naik mobil itu aja, Mbak. Udah deket kok, bentaran juga nyampe.”

Semenit kemudian saya sudah duduk di angkot biru, harap-harap cemas menempuh sisa perjalanan karena hari mulai gelap. Kali ini, saya tidak bisa mengamati jalan karena dipepet 4 orang. Tidak bisa menengok ke jendela, bahkan tidak bisa bergerak.

Sudahlah, batin saya. Kalau memang jatah saya, pasti sampai juga. Kalau nggak, ya sudah, anggap saja ini salah satu kegilaan yang sering saya lakukan.

Tahu-tahu, seorang ibu berjilbab mencolek lengan saya.

“Mau ke Latinos? Sebentar lagi sampai,” ucapnya pelan. Saya bengong sesaat, lalu mengangguk. Selang beberapa detik, angkot betul-betul berhenti. Saya terserang euforia begitu melihat pagar raksasa di depan perumahan.

Ah, sudah di depan mata. Saya cuma perlu menyeberang dua kali dan naik ojek ke dalam kompleks.

Tinggal masalah terakhir: saya takut nyebrang. Sumpah. Silakan bilang saya pengecut, dan saya akan menyalahkan peristiwa ketabrak-motor-pas-nyebrang-sampai-berdarahdarah beberapa tahun lalu.

Saya berdiri di pinggir jalan, kebingungan. Biasanya, kalau harus menyeberang, saya akan menunggu sampai ada orang lain yang akan menyeberang, mendekatinya dan mengambil posisi aman di sebelah orang itu dari arah berlawanan. Kalau mobil datang dari kiri, saya akan berdiri di sebelah kanan siapapun-orang-itu. Dan sebaliknya. Untuk apa? Jelas, ya. Kalau ada apa-apa, saya bisa menyelamatkan diri. ;-D

Tapi, kali ini skenarionya berbeda. Tidak ada siapa-siapa di sana. Saya berdiri diam, memperhatikan mobil-mobil yang melesat dari kanan. Mendadak, tidak tahu darimana datangnya, seorang laki-laki bermotor merah muncul di situ dan langsung berancang-ancang menyeberang. Tanpa pikir panjang (let’s say: darimana nongolnya? Kok tahu-tahu ada di sana? Bisa pas banget ya dia pengen nyebrang juga?), saya berlari ke sebelah kiri motor, ikut menyeberang sambil bernyanyi gembira *hiperbola*.

Sampai di depan kompleks, saya menawar ojek. Harga terakhir yang disebutkan si tukang ojek sama persis dengan sisa uang seribuan di kantong saya. Saya mulai percaya bahwa tidak ada yang kebetulan dalam perjalanan ini, walaupun yang saya jumpai nanti hanya sebuah rumah kosong. Setidaknya saya sudah sampai di sini, dan itu cukup. Tentang kegilaan temporer ini, toh dari dulu saya memang sering dicap aneh. ;-)

Dan mobil itu ada di sana. Dan lampu rumah menyala terang. Dan asisten rumah tangga yang membukakan pintu menjawab dengan jelas: “Ada. Mari, masuk.” Dan orang yang sudah lama ingin saya temui itu sedang duduk di sana, menonton televisi. Dan, sekali lagi, saya mulai mempercayai bahwa perjalanan kali ini memang ‘sudah diatur’ oleh Seseorang yang jauh lebih berkuasa dari saya; entah untuk tujuan apa, dan bagaimana caranya.

Ia tampak terkejut melihat saya, dan saya lebih terkejut dengan fakta bahwa saya benar-benar bisa sampai di sana dan bertemu dengannya. Selama 2 jam berikutnya, kami duduk bersama. Membicarakan Tuhan. Saya dengan kekalutan hati saya, dengan jiwa yang tak pernah berhenti mencari, dengan kelelahan yang mulai memuncak, dan pertanyaan-pertanyaan saya. Ia dengan cerita-cerita menggugah dari perjalanan spiritualnya, serta pencerahan yang diperolehnya dalam pencarian akan sosok bernama Tuhan.

Mendengarkannya bertutur, mendadak saya berkaca-kaca.

Inilah yang telah lama saya cari. Rindukan, lebih tepatnya. Tuhan yang tidak dibatasi oleh sekat. Tuhan yang menunjukkan diri melalui cara yang ajaib sekaligus terselami akal. Tuhan yang hadir dan menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit dalam hidup yang sebenarnya sederhana ini. Tuhan yang dari masa ke masa dipersepsikan dalam sebuah wadah. Tuhan yang merangkul hitam dan putih. Tuhan yang tidak bersembunyi di awan-awan. Tuhan yang tidak membawa gada dan pedang. Tuhan yang menampakkan diri dalam ‘wujud’ yang paling mudah dimengerti. Tuhan yang telah menyentuh titik paling sensitif dalam jiwa saya yang tak pernah berhenti bertanya dan mencari, sekalipun saya mulai merasa penat. Tuhan yang melampaui perspektif mayoritas dan konsep ideal yang berlaku di masyarakat, sekaligus amat mudah diterima akal.

Tiba-tiba, saya tahu maksud sesungguhnya dari perjalanan ini.

Tidak ada yang kebetulan. It was meant to be. Dan terima kasih, Tuhan, ternyata selama ini saya tidak ‘gila’. Ternyata rasa bersalah yang kerap hadir itu tidak perlu ada. Ternyata saya tidak sendiri.

Malam telah pekat ketika saya merebahkan kepala di jok taksi, menatap keluar jendela dan mencoba mencerna apa yang saya alami barusan. Perjalanan sepanjang sore, konversasi selama 2 jam, dan perjalanan pulang ini, yang bagai menyadarkan saya dari lamunan panjang dengan sebuah jentikan jari.

Saya terjaga dari mimpi yang amat panjang... dan perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai sekarang.

Terima kasih, Tuhan.


*By the way, waktu sedang googling ke sini, saya menemukan tautan ke film ini. Jadi pengen nonton lagi. ;-D

Latest Novel from Sitta Karina: CIRCA

Baru kemarin saya dan seorang teman (yang sama-sama kelahiran delapanpuluhan) ngobrol tentang betapa advanced-nya remaja masa kini *tsaelah* dalam hal edukasi, cara berpikir, gaya hidup (eh, kalau gaya hidup bisa dibilang advanced nggak sih? Hihihi), prestasi, dan banyak lagi. Makin lama, obrolan makin mirip emak-emak kolot karena penuh dengan kalimat, “Pas jaman kita dulu, jangankan ada yang begituan…”, “Waktu kita seumuran mereka…”, “Dulu mah gak kayak sekarang…” ;-D

Anyway, novel terbaru Sitta Karina sukses bikin saya senyum-senyum sendiri, karena semua yang kami obrolkan kemarin benar-benar terefleksi di sana. Teenlit sejati, dinamis, seru, dengan penuturan yang sangat remaja, namun isi dan ‘message’-nya samasekali tidak remeh, dan membuat saya berkhayal, “seandainya pas gue sekolah dulu ada bacaan kayak gini.” ;-)

Almashira Raiz adalah seorang murid SMU yang sedang berusaha mengejar mimpinya untuk menjadi seorang dermatologis. Dalam sebuah sesi kunjungan ke pabrik kosmetik Circa, Alma bertemu seorang cowok (yang mengaku) bernama Ramya - mahasiswa gantengtapibelagu yang sedang melakukan riset di pabrik yang sama- yang merasa bisa mendapatkan semua yang diinginkannya karena ayahnya pemegang saham terbesar Circa.

Ternyata, Ramya tidak lain adalah Genta, cowok bengal sekaligus musuh bebuyutan Alde, kakak Alma. Ada sebuah peristiwa di masa lalu yang membuat Alde membenci Genta setengah mati. Ditambah dengan naluri seorang kakak laki-laki yang over-protektif terhadap adik perempuannya, Alde bertekad menjauhkan Alma dari Genta. Seharusnya semua itu tidak jadi masalah, toh Alma menyukai Sailendra, teman se-geng sekaligus sahabatnya di sekolah. Namun, perlahan-lahan rasa yang disimpan Alma untuk Sai menguap, ketika ia menjalani hari-hari sibuk di pabrik bersama Genta, cowok tengil yang gayanya sejuta dan menyimpan sebuah rahasia mengenai masa lalunya – sesuatu yang membuat Alma surprised sekaligus shocked pada saat yang nyaris bersamaan.

Ditulis dengan gaya yang ringan dan nyaman dibaca, CIRCA mengalir dengan smooth, dan (meski ending-nya sudah bisa ditebak) bikin pembaca ketagihan untuk terus membuka setiap halaman. Menurut saya, justru di sini tantangannya: dengan ending yang tidak sulit diterka, membuat pembaca tetap penasaran dan ‘terpancing’ untuk terus membaca adalah sesuatu yang tidak mudah.

*Yea, yeaaa… makanya novel saya nggak kelar-kelar. Hehehe.*

Tokoh-tokoh dalam cerita ini sangat berkarakter, meski ada beberapa scene yang menurut saya agak ‘sinetron’ (tapi nggak tau juga, ya.. mungkin aja kehidupan anak SMU sekarang memang seperti itu, saya nggak terlalu paham. Maklum, beda jaman. ;-D).

Yang agak saya sayangkan dari novel ini adalah cover-nya. Mungkin karena mata saya sudah terbiasa dimanjakan oleh ilustrasi novel-novel terdahulu Sitta yang sangat khas dan catchy. Tidak ada kesan khusus yang ditimbulkan dari cover CIRCA; sangat biasa dan ‘teenlit banget’, kecuali warna gold-nya. Mungkin karena beda penerbit? ;-)

Overall, CIRCA adalah es krim cokelat yang sangat enak dimakan saat udara panas; manis, menyegarkan, bikin ‘melek’, dan membuat kita ingin menikmatinya sampai jilatan terakhir. Sitta meramu adonannya dengan pas sehingga rasanya sedap dan bikin ketagihan, tidak terkecuali untuk ‘tante-tante’ seperti saya (kalau Genta yang anak kuliahan aja dibilang oom-oom, gimana saya ya? ;-D).

Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan penulis yang sangat produktif ini, selain HEBAT. Way to go, Mbak Arie! :-)

Tuesday, July 15, 2008

Mencari Bahagia

Di kaki gunung, tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, hidup seorang pemuda yang kerjanya menebang pohon untuk dijadikan kayu api dan dijual di pasar. Pekerjaan itu sudah ia lakukan selama belasan tahun, nyaris seumur hidupnya.


Ketika ia kecil, belum bisa melangkah apalagi bicara, setiap hari orangtuanya menjunjungnya dalam jarit dan membawanya ke pasar. Di sanalah, untuk pertama kalinya, bocah itu mengenal dunia. Dunia yang lebih luas dari sepetak pekarangan sempit yang ditumbuhi ketela dan rumah kayu yang sederhana.


Pasar adalah tempatnya bertumbuh. Setiap hari, setiap jam, bocah itu memperhatikan tingkah laku orang-orang yang lalu-lalang; bertransaksi, sekadar melihat-lihat, sampai berkelahi.


Pasar becek yang kadang menguarkan bau amis itu telah menjadi dunianya selama bertahun-tahun. Ketika orangtuanya meninggal, ia melanjutkan berjualan kayu di tempat yang sama, di pojok yang sama, selama bertahun-tahun.


Ia jauh lebih suka berada di pasar, karena pasar selalu dipenuhi orang-orang yang beraneka ragam, dengan berbagai perangai unik yang memancing rasa ingin tahunya.


Sering, sambil menunggui dagangannya, sang pemuda mengamati keadaan sekitar, berharap menemukan sesuatu yang lain dari biasanya -- sesuatu yang menantang indera dan intuisinya.


Ia suka mengamati ibu-ibu bersanggul yang menenteng tas yang tampak mahal, diikuti babunya yang tergopoh-gopoh berusaha mengimbangi kecepatan jalan sang majikan. Mereka tampak kontras di antara pengunjung pasar yang rata-rata berpakaian seadanya dan bersandal lusuh. Sesekali, wanita itu berbicara kepada si babu dengan nada cepat sambil menunjuk sesuatu, dan babu itu akan segera memilih satu dari tumpukan barang yang ditunjuk –yang kualitasnya paling baik, paling besar, paling bagus- dan memasukkannya ke keranjang belanja. Sang Nyonya akan membayar tanpa menawar lebih dahulu.


Si pemuda mengamati semua itu tanpa bersuara. Mungkin memang tak ada gunanya nyonya besar itu menawar. Tas yang dijinjingnya tampak lebih mahal dari semua dagangan di pasar ini dijadikan satu.


Ketika si Nyonya dan babunya berlalu, pemuda itu berpikir,”Bagaimana rasanya memiliki banyak uang? Apa rasanya bisa membeli sesuatu tanpa menawar? Bagaimana rasanya punya babu yang bisa diperintah sesuka hati?”


Menjelang gelap, saat pedagang-pedagang lain membereskan jualan, pemuda itu bersembunyi di pojokan pasar -- di tempat yang agak sepi dan jarang dilalui orang. Kayu-kayu dagangannya telah terikat rapi dan disembunyikan di tempat yang aman, siap diangkut kapanpun.


Ia tak perlu menunggu lama. Seorang pedagang kain yang berjalan kaki sambil bersiul-siul menghitung uang melintas di depannya. Dengan cepat ia menarik penutup wajah yang tersampir di kepala, menutupi seluruh mukanya kecuali hidung, dan merampas dompet kulit di genggaman si pedagang.


Pedagang yang kaget itu berteriak, namun si pemuda lebih cepat dari siapapun. Ia berlari berbelok-belok, memasuki gang-gang sempit secepat kilat, mengecoh para pengejar. Ia masuk ke dalam tempat sampah besar dari semen, mengayunkan penutupnya yang terbuat dari besi berkarat, dan bersembunyi di sana, mendengarkan suara para pengejarnya memudar di kejauhan, semakin mengecil ketika mereka memutuskan untuk berpencar ke arah yang berbeda-beda, dan akhirnya lenyap sama sekali.


Ketika hari telah benar-benar gelap, ia keluar, kembali ke pasar untuk mengambil kayu-kayunya, dan berjalan pulang. Sesampainya di pondok, ia melempar gelondongan kayu ke sudut. Ia tak akan membutuhkannya dalam waktu dekat. Uang yang diperolehnya cukup untuk bertahan hidup selama sebulan, jika ia berhemat. Seminggu, jika ia berleha-leha dan membelanjakannya sesuka hati.


Pemuda itu memilih yang kedua. Dengan saku penuh uang, ia berjalan ke rumah makan terdekat, memesan makanan termahal yang bisa diperolehnya dan melahap semuanya hingga kekenyangan. Lalu ia pergi ke rumah pedagang kain, membeli beberapa meter satin dan mengunjungi penjahit terkemuka di seberang jalan, memesan 3 potong pakaian dengan kualitas yang jauh lebih baik dari yang pernah dikenakannya seumur hidup. Belum cukup puas dengan semuanya, ia pergi ke sudut jalan yang lain, daerah kumuh tempat anak-anak gelandangan, dan memanggil seorang anak yang kelihatan agak bodoh.


“Jadilah pelayanku selama seminggu,” katanya. “Pijat kakiku, ambilkan air dari sungai untuk mandiku, cuci pakaian-pakaianku, siangi pekaranganku, masakkan nasi dan lauk untukku, dan tebanglah kayu bagiku,” ia memperlihatkan gulungan uang kepada si anak, yang segera menyambarnya tanpa bertanya sedikitpun.


Malam itu, untuk pertama kalinya, si pemuda menikmati kehidupan bak seorang raja. Ia menghambur-hamburka n air mandi (merasa tak perlu berhemat karena bukan ia yang susah-payah mengangkutnya dari sungai), makan sayuran segar yang dipetik dan dimasakkan si anak untuknya, serta tertidur sambil merasakan pijatan nyaman di kakinya.


Hari demi hari berlalu. Uang di sakunya mulai menipis. Si pemuda menyadari kehidupan mewahnya akan segera berakhir. Ia ingin merampas lagi, namun diurungkannya. Meskipun bisa mendatangkan uang dengan cepat dan mudah, setiap malam tidurnya diganggui ketakutan dan mimpi buruk. Ia selalu bangun dengan rasa bersalah, kepada dirinya sendiri dan kepada orangtuanya yang selalu mengajarnya untuk berlaku jujur.


“Aku tak akan melakukan hal itu lagi,” gumamnya pada hari ketujuh, ketika uang di sakunya tinggal selembar. Ia menyodorkan uang itu kepada si anak yang baru selesai mengikat kayu. “Ambillah, dan pergilah. Aku tak memerlukanmu lagi.” Setelah itu, ia memanggul gelondongan- gelondongan kayu dan berjalan ke pasar, mendirikan tenda jualannya, dan kembali pada aktivitas rutinnya: berdagang sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya.


Suatu hari, datanglah seorang tukang cukur ke pasar itu. Ia menyewa sebuah los kecil tidak jauh dari tempat berjualan si pemuda dan memasang papan bertuliskan: CUKUR RAPI, TUA-MUDA SEPULUH SEN.


Tertarik melihat harga yang diajukan, beberapa orang menghampiri los itu. Terdorong penasaran, si pemuda ikut mendekat. Ia tak mau memotong rambut, hanya ingin melihat seperti apa di dalam.


Si tukang cukur ternyata sangat piawai bicara. Sambil menggunting rambut, ia terus mengajak pelanggannya mengobrol, menceritakan kisah-kisah lucu dan bersenda gurau. Hasil pekerjaannya juga bagus. Setiap orang yang keluar dari los itu merasa puas dan berjanji pada diri sendiri akan kembali ke situ. Apabila tidak memotong rambut, mereka bercerita tentang si tukang cukur kepada orang-orang lain. Dalam sekejap, si tukang cukur kebanjiran pelanggan. Losnya tak pernah sepi pengunjung.


Si pemuda memperhatikan bagaimana laki-laki berperawakan kecil yang agak bungkuk itu selalu tertawa. Wajahnya tak pernah sepi dari senyum. Ia ramah, tak segan mengobrol dengan siapa saja (bahkan anak kecil sekalipun), dan tampak sangat menikmati pekerjaannya. Itulah yang memunculkan senyum di wajahnya, setiap hari, setiap menit.


Pemuda itu mulai berpikir, alangkah enaknya jadi tukang cukur. Uangnya mungkin tak seberapa karena ia tak memasang tarif mahal, namun ia tampak bahagia. Tukang cukur sederhana itu menularkan kegembiraan pada orang-orang dan ia disayangi pelanggan-pelanggan nya. Mencukur juga pekerjaan yang mengasyikkan. Bunyi kres-kres yang terdengar setiap kali gunting digerakkan menggelitik telinga, dan para pelanggan selalu tersenyum puas setiap habis dicukur.


Maka si pemuda meninggalkan pondoknya di kaki gunung, pindah ke kota, menguras pundi-pundinya dan menukarkan isinya yang tak seberapa dengan sewa los selama setahun, persis di seberang los si tukang cukur. Ia memasang papan: PANGKAS RAPI, TUA-MUDA DELAPAN SEN. Ia akan sangat merugi dengan ongkos semurah itu, namun ia tak keberatan apabila hasilnya sebanding dengan pengorbanannya, karena yang dicarinya kini bukan keuntungan, melainkan kebahagiaan. Ia menginginkan senyuman yang dimiliki si tukang cukur.


Tertarik dengan harga yang diajukan, pengunjung pasar berduyun-duyun menghampiri losnya. Mereka duduk dan menunggu gunting cukurnya bekerja, dan mereka menantikan cerita-cerita yang akan dibawakannya. Namun si pemuda tak pandai bercerita. Sehari-hari, ia hanya pedagang yang lebih banyak diam kecuali untuk bertransaksi, dan ia tak punya lelucon-lelucon memikat untuk dikisahkan. Ia juga bukan sosok berkepribadian menarik yang pintar bicara. Maka, ia mengerjakan tugasnya dalam diam. Selesai dipangkas, seorang laki-laki memandang cermin, berpaling ke arahnya dan berkata, “Kau tak bisa mencukur dengan baik, dan selera humormu payah.”


Si pemuda terdiam, hatinya mencelos. Seharian itu ia tak sanggup tersenyum. Pikirannya sering mengembara ke uang tabungan yang dikumpulkan selama bertahun-tahun dan terbuang sia-sia di los sempit itu. Di penghujung hari, tamu terakhirnya, seorang anak kecil dengan rambut ikal yang manis, menangis meraung-raung ketika melihat wajahnya.


Hari-hari berikutnya ternyata lebih buruk dari yang diduganya. Orang-orang kecewa dan menyebarkan berita buruk mengenai salon baru yang murah namun tidak memuaskan. Mereka kembali ke los tukang cukur lama, sekadar untuk bercakap-cakap dan mendengarkan cerita-ceritanya. Mereka tertawa, si tukang cukur tertawa, namun sebaris senyum pun tak tampak di wajah si pemuda.


Kebahagiaan yang dinantikannya tak kunjung tiba. Senyum yang ditunggu-tunggunya tak sudi mampir di wajahnya, walau hanya sesaat. Makin lama, losnya semakin sepi. Dari dalam ia bisa mendengar obrolan-obrolan riang di los seberang, dan hatinya kian merana. Ia patah arang.


Suatu siang, ketika ia sedang duduk menyesali nasib, seorang gadis mengetuk pintu los. Spontan, ia berdiri dan menepis debu di pakaiannya, memasang senyum terbaik yang bisa diusahakannya, dan bersiap-siap memotong rambut si gadis yang panjang sebahu.


Gadis itu duduk dan membuka pembicaraan. Sementara gunting bekerja, mereka terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Si gadis sangat suka berceloteh dan perkataannya segar menggembirakan. Ia juga memiliki selera humor yang baik. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, si pemuda tertawa lepas dan merasa bahagia.


Sepeninggal gadis itu, ia merasa jauh lebih baik. Senyum terus tersungging di bibirnya hingga malam tiba dan ia terlelap. Gadis itu telah membawakan senyuman yang dinanti-nantinya.


Dua hari kemudian, si gadis datang lagi, kali ini membawa seorang bocah laki-laki. Keponakannya. Sementara gunting bekerja, mereka kembali terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Tahulah si pemuda bahwa gadis itu baru pindah ke sana, dan ia memiliki dua keponakan yang lucu-lucu. Ia juga tahu bahwa si gadis sangat menyukai langit senja, pelangi dan aroma tanah menjelang hujan. Yang terpenting, kini ia tahu, gadis itu bisa memberikan apa yang dicarinya selama ini: kebahagiaan.


Mereka semakin sering bertemu. Terkadang si gadis mampir ke losnya hanya untuk bercakap-cakap. Bila los sedang sepi pengunjung, si pemuda akan menutupnya dan pergi ke rumah si gadis, untuk sekadar melewatkan senja dan mendengarkan jangkrik bernyanyi. Semakin lama, hati pemuda itu semakin dipenuhi perasaan aneh yang tak bisa dijelaskannya. Perasaan itu demikian kuat dan tak bisa digambarkan dengan kata apapun, kecuali cinta.


Ia jatuh cinta.


Malam-malamnya mulai diisi mimpi indah tentang seorang gadis yang membawakan senyuman baginya. Hari-hari sepinya mulai diisi dengan khayalan tentang gadis yang suara renyahnya menularkan gelak tawa. Lamunan-lamunannya mulai diisi dengan wajah manis yang senantiasa berbinar, yang mengajarinya bergurau dan bercerita.


Suatu hari, pada senja yang indah setelah hujan, ketika matahari mulai menghilang di ufuk, si pemuda mengutarakan isi hatinya kepada sang gadis. Ia jatuh cinta, dan berharap sang gadis bersedia menyambut cintanya.


Gadis itu menatapnya dengan mata bulat berbinar. “Kenapa?”


“Karena engkau bisa memberikan kebahagiaan untukku.” Si pemuda menjawab sambil mengulurkan setangkai mawar. “Dan aku ingin kebahagiaan itu kekal adanya, maka aku memintamu menjadi milikku selamanya.”


Tanpa disangka, binar gembira di wajah si gadis meredup. Sedikit.


Hanya itu? Karena aku bisa membuatmu bahagia?”


Pemuda itu mengangguk. Ia meraih tangan si gadis, mengecupnya lembut. “Karena engkau bisa membuatku bahagia. Engkau telah membawakan senyuman yang telah lama kucari.”


Si gadis menarik tangannya. Belum habis rasa terkejutnya, si pemuda menatap pujaannya dan menemukan kaca di mata gadis itu.


Ia terperanjat. Kenapa ia menangis? Apa salahnya?


“Kau tidak mencintaiku. Kau hanya mencintai dirimu sendiri.”


Sebelum si pemuda sempat memahami maksud perkataan itu, sang gadis telah beranjak pergi.


Pemuda itu pulang dengan bingung dan sengsara. Ia merasa jauh lebih merana dari yang sudah-sudah. Untuk sebuah alasan yang tidak dipahaminya, gadis pujaannya telah menolak cintanya. Kini ia hancur berkeping-keping. Rusak dan takkan dapat diperbaiki. Hidupnya sudah berakhir.


Ia duduk di depan losnya, termangu. Mawarnya sudah lama dibuang, dan ia sedang memikirkan cara terbaik untuk mengakhiri hidupnya. Ia sedang menimbang-nimbang, hendak menggantung diri atau menusukkan belati ke lehernya, tatkala si tukang cukur beranjak mendekatinya dan duduk di sebelahnya.


Si pemuda tak menyadari kehadiran tukang cukur itu, sampai ia merasakan tepukan ringan di pundaknya. Si tukang cukur menatapnya sambil tersenyum, dengan binar yang tak pernah lepas dari wajahnya.


“Aku tak mengerti.” cetus si pemuda. Dan kata-kata berhamburan dari mulutnya. Kegalauan dan kepahitan hatinya tumpah ruah. Si tukang cukur hanya diam dan mendengarkan.


“Aku hanya mencari bahagia,” bisik pemuda itu. “Mengapa begitu sulit?”


Si tukang cukur merenung sejenak, lalu tersenyum arif. “Mungkin kau tak perlu mencarinya, Nak. Mungkin kau hanya perlu berdamai dengan dirimu sendiri.”


Pemuda itu menatap si tukang cukur, keningnya berkerut bingung. “Apa maksudmu? Aku tidak bermusuhan dengan siapapun.”


“Kau tidak bermusuhan dengan siapapun,” si tukang cukur mengulangi. “Kau hanya perlu menerima dirimu sendiri, apa adanya, tanpa syarat.”


“Aku tidak mengerti,” gumam si pemuda, kini tampak lelah. Selain patah hati dan sengsara, apakah ia juga telah menjadi dungu? “Aku hanya ingin bahagia. Di mana salahnya?”


Lagi-lagi si tukang cukur tersenyum bijak. “Tak ada yang salah, Nak. Engkau hanya menganggapnya sebagai kesalahan, karena yang terjadi tidak sejalan dengan keinginanmu. Bila bahagia yang kau inginkan, engkau hanya perlu berhenti bertanya apa yang salah.”


Pemuda itu terdiam. “Namun hidupku tidak sempurna,” ucapnya perlahan, teringat pada kegagalan dan perbuatan buruknya di waktu lampau. “Aku bukan orang yang cukup baik.”


“Engkau tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia, Nak, karena hidup ini indah apa adanya.”


Si pemuda mengangkat muka dan menemukan lengkungan lembut di wajah si tukang cukur, yang tiba-tiba kelihatan begitu bijaksana dan berhikmat.


Tukang cukur itu pamit pulang, dan si pemuda tetap duduk di depan losnya hingga lewat tengah malam. Ia memikirkan segala sesuatu, apa yang telah terjadi di masa lalu, apa yang baru saja dialaminya, dan nasehat-nasehat si tukang cukur. Mendadak, ia tidak ingin mengakhiri hidupnya lagi.


----


Tiga purnama berselang, saat sang gadis menyirami tanaman di kebun mungilnya, pemuda itu menghampirinya. Kali ini tanpa membawa apa-apa. Hanya sebuah garis lengkung di wajahnya yang berbinar.


Si gadis menatapnya, bergeming.


“Aku tak lagi mencari bahagia,” ucap si pemuda. “Aku telah bersua dengan damai, dan aku tak membutuhkan apapun lagi untuk bisa tersenyum.”


“Hidupku tak sempurna,” ia berkata lebih lanjut, “namun aku mencintainya apa adanya. Dan aku tahu, bersamamu, hidupku akan menjadi utuh; begitu pula dirimu. Maukah engkau menjadi sempurna bersamaku?”


Gadis itu tersenyum. Senyuman termanis yang pernah tampak di wajahnya. Dan kali ini, si pemuda tahu, ia benar-benar tak butuh apapun lagi untuk menjadi bahagia.

Saturday, July 12, 2008

Bintang yang Senantiasa Bersinar

Punya sahabat itu… gokil, Jendral.

;-)

Minggu lalu, handphone saya berdering ketika saya sibuk mengutak-atik laptop, (sok) menyibukkan diri supaya pikiran teralihkan *baca: nggak kebablasan mikir yang macem-macem* karena belakangan ini saya sering mumet jaya menghadapi persoalan yang cukup berat dan kompleks - lebih ribet dari benang kusut basah.

Telepon tak terduga itu berasal dari seorang sahabat. Saya tak menyangka ia akan menelepon, karena setahu saya ia sedang sibuk menyiapkan diri untuk mengikuti ujian farmasi (dimana ujian dilaksanakan dalam 3 tahap dengan sistem gugur – yang agak mengingatkan pada kontes-kontes pemilihan idola Indonesia *wink*). Kebanyakan mahasiswa yang menempuh ujian ini sudah menyiapkan diri sejak setahun sebelumnya (!), tapi ia belum melakukan persiapan apa-apa karena kegiatan yang superpadat.

Selain kerja praktek di Rumah Sakit, ia juga memimpin kepanitiaan dari sebuah konferensi internasional, plus mengemban tanggung jawab penting di organisasi mahasiswa internasional (baca: mbenahin segudang masalah-njelimet-ruwet-edan dengan bonus begadang setiap hari).

Saya pernah menemaninya bekerja menjelang akhir pekan, memperhatikannya berkutat dengan laptop sampai lewat tengah malam untuk menjawab e-mail-e-mail dengan subyek yang bikin kening berlipat-lipat (beda banget dengan e-mail saya yang isinya obrolan-obrolan nggak penting via milis dan joke garing ‘Humor di Tempat Kerja’ ;-D), meeting via messenger dan sebagainya, sementara sejak pagi ia sudah sibuk di Rumah Sakit.

Sepanjang malam handphonenya terus-terusan berbunyi. Sempat tergoda juga untuk mencelupkan HP-nya ke dalam gelas - baru kali ini saya mendengar telepon sesering itu dalam waktu yang tidak lazim untuk menelepon. Ternyata dampaknya buruk untuk kesehatan jiwa, karena bikin senewen. ;-D Jam 12 malam nelepon untuk meeting? Gila kali. I mean, for God’s sake, she is 23, not 32. Tapi, menurutnya, memang itulah ‘makanan’nya sehari-hari.

"Ini masih mending. Waktu di Belanda, tahun lalu, gue sering tidur 2 jam semalem. Atau, malah nggak tidur samasekali," cetusnya.

Ketika kami (akhirnya) naik ke tempat tidur, saya berkomentar, “Kerjaan lo serem.”

Ia hanya tertawa. “Udah banyak yang bilang begitu,” jawabnya simpel.

Namun, lepas dari kesibukan yang segudang, ia tetap menyempatkan diri untuk menelepon dan menanyakan kabar saya, serta masalah yang sempat saya ceritakan dalam konversasi terakhir kami di rumahnya.

Meski cukup lama bersahabat, saya sering enggan merepotkannya dengan masalah saya, mengingat segala aktivitasnya yang menuntut energi dan fokus penuh. Tapi ia tak menutup telepon. Ia di sana, mendengarkan. Dan akhirnya isi perut saya berhamburan juga. Ia tetap mendengarkan.

Sorry jadi curhat-curhat gini,” gumam saya, agak malu karena merasa ‘salah tempat’ – curhat pada orang supersibuk, “padahal lo banyak kerjaan.”

Ia tertawa kecil. “Untuk yang kayak gini, gue bakal selalu ada.”

Tiba-tiba saya teringat pada kejadian setahun lalu, ketika ia menelepon untuk curhat dan menangis karena masalah keluarga. Waktu itu, saya mendengarkannya sambil pelan-pelan (berusaha) menenangkan. Kini, lucunya, tiba giliran saya. Bedanya, ketika ia menangis, saya mendengarkan dalam kondisi santai, tidak sedang ngapa-ngapain. Ketika saya curhat, ia sedang menghadapi timbunan tugas, masalah, serta deadline. Dan ujian itu...

“Lo kan belum belajar? Ntar gue ganggu.”

Lagi-lagi ia tertawa. “Gue akan selalu ada kalau buat elo. Lo udah kayak keluarga gue, dan gue nggak akan ‘menghilang’ untuk hal-hal seperti ini. Kapanpun.”

Beberapa hari kemudian, kami kembali bersua, kali ini di kanal maya. Usai berbincang ngalor-ngidul –mulai dari lagu-lagu keren paporit, youtube sampai diskusi basi tentang film Fitna- saya pamit untuk sign-out, sekaligus mengucapkan terima kasih atas telepon dadakannya beberapa hari lalu.

Hening sejenak, lalu kalimat ini muncul di baris terbawah percakapan virtual kami:

“I'm always ready for you anytime.”

Mendadak, saya seperti menemukan bintang di langit pekat.

:-)

-----

Malam ini, saya kembali melihat ke atas. Ke langit yang belakangan ini selalu gelap, nyaris gulita.

Ah, itu dia.

Setitik cahaya -kecil, namun nyata- bersinar di sana. Menyapa ramah, hangat, membuat kegelapan di sekitarnya sedikit bias.

Saya menajamkan penglihatan, ingin melihat lebih jelas.

Lalu, cahaya mungil lain mulai menampakkan diri, tersenyum malu-malu. Berkelip terang, seakan mengacungkan jari, “Aku di sini.”

Lalu muncul kerlip ketiga, mengedip jenaka. Disusul yang keempat. Kelima. Dan seterusnya.

Kemudian saya sadar. Di sekeliling saya ada banyak bintang. Tak hanya satu. Tak cuma segelintir. Dan mereka terus bercahaya.

Bintang-bintang itu selalu ada di sana. Tak pernah berhenti bersinar meski saya mengalihkan perhatian. Mereka ada, sepanjang malam, di langit terkelam sekalipun. Bersinar dalam kegelapan yang paling pekat. Menemani tanpa pernah pudar.

Saya tidak suka kegelapan, kecuali saat mematikan lampu semenit menjelang tidur. Kegelapan selalu memberi kesan mencekam dan membatasi jarak pandang. Saya bertekad kalau punya rumah sendiri nanti, setiap ruangan harus terang-benderang. Nggak ada cerita lampu temaram. I even hate the idea of ‘cozy, romantic date’ with dim light. ;-)

Namun kali ini, khusus kali ini, saya tak keberatan menghadapi gelap. :-)

Gelap itu masih mencekam. Menyesakkan. Menakutkan, karena saya tak bisa melihat jauh ke depan. Membuat saya bertanya-tanya, ada apa di depan sana, dan seperti apa perjalanan saya nantinya. Namun kegelapan yang sama, entah mengapa, kini tak terlalu ingin saya hindari...

...karena kegelapan itu membuat saya bisa melihat bintang-bintang yang senantiasa bersinar. :-)


When you're down and troubled
And you need some loving care
And nothing, nothing is going right
Close your eyes and think of me
And soon I will be there
To brighten up even your darkest night

You just call out my name
And you know wherever I am
I'll come running to see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I'll be there
You've got a friend

If the sky above you
Grows dark and full of clouds
And that old north wind begins to blow
Keep your head together
And call my name out loud
Soon you'll hear me knocking at your door

Ain't it good to know that you've got a friend
When people can be so cold
They'll hurt you, and desert you
And take your soul if you let them
Oh, but don't you let them

You just call out my name
And you know wherever I am
I'll come running to see you again
Winter, spring, summer or fall
All you have to do is call
And I'll be there
You've got a friend

(You’ve Got a Friend – Salena Jones)

Monday, July 7, 2008

Mendengarkan Orang Pintar

Percakapan (tidak) bermutu siang ini, dengan seseorang jelas ya, bukan hewan pemamah pisang, ketika membahas sebuah kasus dilematis yang meresahkan jiwa-raga:


+ “Gimana yah… gue bingung. Kata orang pinter gue harus begitu, gak bisa nggak.”

- “Yah bow, itu kan ‘cuma’ kata orang pinter, gak usah terlalu dipusingin.”

+ “Tapi ini tentang masa depan euy.”

- “Justru itu. Kalo udah nyangkut masa depan, gue mah mending dengerin rasio, pake logika, berdoa sama Tuhan, daripada dengerin orang pinter.”

+ “Yah… kalo gitu bilang Tuhan lo deh biar nolongin gue.”

- “Ih, sembarangan.”

+ “Abis gue capek kayak gini mulu!”

- “Seriously neng, elo dikit-dikit ke orang pinter, apa-apa orang pinter, tapi dari dulu juga nggak terlalu nolong, kan?”

+ “Yah… iya sih.”

- “Nah.”

+ “…sebenernya gue juga gak terlalu gimana-gimana sih, sama orang pinter…”

- “Nah.. prioritasin aja apa yang ada di depan elo, kerjain apa yang lo bisa kerjain. Omongan orang pinter mah urusan belakangan.”

+ “... yang gue tau, orang pinter minum Tolak Angin.”

- “…..”