Saya meraih ponsel yang baterainya mulai menyusut dan membuka folder pesan. Membaca sebaris kalimat yang tertera di sana, mengulanginya dalam hati, padahal saya sudah hafal isinya – alamat singkat dari seseorang yang sudah lama ingin saya temui. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor saya, tapi saya samasekali belum pernah merambah daerah itu. Tidak tahu lokasinya dimana, dan semua teman yang saya tanyai sehari sebelumnya kompak menjawab “Tidak tahu”.
Lalu, saya ingat, saya masih menyimpan sebuah nomor telepon yang saya dapat secara ‘tidak sengaja’ ketika menghubungi layanan informasi 108 dalam rangka mencari agenda book fair yang diselenggarakan sebuah toko buku besar di daerah yang sama.
*Hai 108, meskipun kalian memberikan nomor telepon pengembang daerah instead of telepon toko buku, saya nggak marah koook. ;-D*
Telepon tersambung. Saya memperoleh informasi yang saya butuhkan: lokasi perumahan, petunjuk jalan, patokan-patokan, bahkan warna angkot yang harus saya naiki untuk pergi ke sana. Saya menyimpan informasi tersebut di otak, berharap sel-sel kelabu di sana sudi diajak bekerjasama, karena untuk sebab yang tidak jelas, belakangan ini saya terkena short-term memory syndrome. Tidak ada yang sanggup bertahan di otak saya lebih dari 2 menit.
Mencatat? Nah, itu juga nggak kepikiran. ;-D
Pukul 5 lewat, setelah mentransfer beberapa lagu ke ponsel baru milik asisten rumah tangga sahabat saya (yang tinggal tidak jauh dari kantor dan ujug-ujug mendatangi saya untuk minta lagu Mariah Carey dan Josh Groban – serius!), saya pergi ke alamat yang dituju.
Di dalam angkot, lagi-lagi pikiran saya mengembara. Mau ngapain ke sana? Setelah ketemu, mau bilang apa? Iya kalau ketemu, kalau nggak? Kalau rumahnya kosong? Jawabannya: tidak tahu.
Saya menepis pertanyaan-pertanyaan itu dan memilih untuk mengamati jalan, jangan sampai petunjuk yang diberikan si operator terlewat (meskipun kalau kelewat juga, kayaknya saya nggak bakal sadar, hahaha).
30 menit berlalu, saya mulai bingung, samasekali tidak tahu berada di mana. Semua daerah yang familiar bagi saya sudah terlewat. Saya hanya merapatkan tubuh ke pintu angkot, menatapi jalanan sambil sesekali memejamkan mata, menghindari debu dan angin.
“German Centre turun satu, Bang!” Ibu-ibu berbadan gemuk yang duduk di pojokan berseru keras. Saya tersentak, sejumlah informasi yang terselip entah di otak bagian mana mendadak berhamburan.
German Centre adalah patokan jalan yang sempat disebutkan si mbak operator. Spontan saya menengok ke luar. Ternyata saya tidak (belum?) nyasar. Kalau informasi si operator benar, seharusnya setelah ini angkot akan berjalan lurus, melewati flyover dan sampai ke perumahan yang saya tuju.
Saya bersandar di jok angkot, lega. Dan si supir membelokkan angkotnya ke kiri.
Hayah.
Belum sempat saya memprotes (lagian, emang ngefek gitu? ;-D), supir angkot berteriak, “TADI ADA YANG MAU KE LATINOS?”
“Iya, saya.”
“Nanti nerusin naik angkot biru aja, Mbak. Yang itu tuh.” Ia menunjuk angkot di seberang jalan yang datang dari arah berlawanan.
Baguuus.
Saya menatapnya dengan jengkel, menyangka akan diturunkan di pinggir jalan saat itu juga. Tapi, si supir malah membunyikan klakson keras-keras sampai angkot biru melambatkan jalan.
“Woi, tungguin! Ada yang mau ke Latinos nih!” lalu ia berpaling ke saya, “Naik mobil itu aja, Mbak. Udah deket kok, bentaran juga nyampe.”
Semenit kemudian saya sudah duduk di angkot biru, harap-harap cemas menempuh sisa perjalanan karena hari mulai gelap. Kali ini, saya tidak bisa mengamati jalan karena dipepet 4 orang. Tidak bisa menengok ke jendela, bahkan tidak bisa bergerak.
Sudahlah, batin saya. Kalau memang jatah saya, pasti sampai juga. Kalau nggak, ya sudah, anggap saja ini salah satu kegilaan yang
Tahu-tahu, seorang ibu berjilbab mencolek lengan saya.
“Mau ke Latinos? Sebentar lagi sampai,” ucapnya pelan. Saya bengong sesaat, lalu mengangguk. Selang beberapa detik, angkot betul-betul berhenti. Saya terserang euforia begitu melihat pagar raksasa di depan perumahan.
Ah, sudah di depan mata. Saya cuma perlu menyeberang dua kali dan naik ojek ke dalam kompleks.
Tinggal masalah terakhir: saya takut nyebrang. Sumpah. Silakan bilang saya pengecut, dan saya akan menyalahkan peristiwa ketabrak-motor-pas-nyebrang-sampai-berdarahdarah beberapa tahun lalu.
Saya berdiri di pinggir jalan, kebingungan. Biasanya, kalau harus menyeberang, saya akan menunggu sampai ada orang lain yang akan menyeberang, mendekatinya dan mengambil posisi aman di sebelah orang itu dari arah berlawanan. Kalau mobil datang dari kiri, saya akan berdiri di sebelah kanan siapapun-orang-itu. Dan sebaliknya. Untuk apa? Jelas, ya. Kalau ada apa-apa, saya bisa menyelamatkan diri. ;-D
Tapi, kali ini skenarionya berbeda. Tidak ada siapa-siapa di sana. Saya berdiri diam, memperhatikan mobil-mobil yang melesat dari kanan. Mendadak, tidak tahu darimana datangnya, seorang laki-laki bermotor merah muncul di situ dan langsung berancang-ancang menyeberang. Tanpa pikir panjang (let’s say: darimana nongolnya? Kok tahu-tahu ada di sana? Bisa pas banget ya dia pengen nyebrang juga?), saya berlari ke sebelah kiri motor, ikut menyeberang sambil bernyanyi gembira *hiperbola*.
Sampai di depan kompleks, saya menawar ojek. Harga terakhir yang disebutkan si tukang ojek sama persis dengan sisa uang seribuan di kantong saya. Saya mulai percaya bahwa tidak ada yang kebetulan dalam perjalanan ini, walaupun yang saya jumpai nanti hanya sebuah rumah kosong. Setidaknya saya sudah sampai di sini, dan itu cukup. Tentang kegilaan temporer ini, toh dari dulu saya memang sering dicap aneh. ;-)
Dan mobil itu ada di sana. Dan lampu rumah menyala terang. Dan asisten rumah tangga yang membukakan pintu menjawab dengan jelas: “Ada. Mari, masuk.” Dan orang yang sudah lama ingin saya temui itu sedang duduk di sana, menonton televisi. Dan, sekali lagi, saya mulai mempercayai bahwa perjalanan kali ini memang ‘sudah diatur’ oleh Seseorang yang jauh lebih berkuasa dari saya; entah untuk tujuan apa, dan bagaimana caranya.
Ia tampak terkejut melihat saya, dan saya lebih terkejut dengan fakta bahwa saya benar-benar bisa sampai di sana dan bertemu dengannya. Selama 2 jam berikutnya, kami duduk bersama. Membicarakan Tuhan. Saya dengan kekalutan hati saya, dengan jiwa yang tak pernah berhenti mencari, dengan kelelahan yang mulai memuncak, dan pertanyaan-pertanyaan saya. Ia dengan cerita-cerita menggugah dari perjalanan spiritualnya, serta pencerahan yang diperolehnya dalam pencarian akan sosok bernama Tuhan.
Mendengarkannya bertutur, mendadak saya berkaca-kaca.
Inilah yang telah lama saya cari. Rindukan, lebih tepatnya. Tuhan yang tidak dibatasi oleh sekat. Tuhan yang menunjukkan diri melalui cara yang ajaib sekaligus terselami akal. Tuhan yang hadir dan menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit dalam hidup yang sebenarnya sederhana ini. Tuhan yang dari masa ke masa dipersepsikan dalam sebuah wadah. Tuhan yang merangkul hitam dan putih. Tuhan yang tidak bersembunyi di awan-awan. Tuhan yang tidak membawa gada dan pedang. Tuhan yang menampakkan diri dalam ‘wujud’ yang paling mudah dimengerti. Tuhan yang telah menyentuh titik paling sensitif dalam jiwa saya yang tak pernah berhenti bertanya dan mencari, sekalipun saya mulai merasa penat. Tuhan yang melampaui perspektif mayoritas dan konsep ideal yang berlaku di masyarakat, sekaligus amat mudah diterima akal.
Tiba-tiba, saya tahu maksud sesungguhnya dari perjalanan ini.
Tidak ada yang kebetulan. It was meant to be. Dan terima kasih, Tuhan, ternyata selama ini saya tidak ‘gila’. Ternyata rasa bersalah yang kerap hadir itu tidak perlu ada. Ternyata saya tidak sendiri.
Malam telah pekat ketika saya merebahkan kepala di jok taksi, menatap keluar jendela dan mencoba mencerna apa yang saya alami barusan. Perjalanan sepanjang sore, konversasi selama 2 jam, dan perjalanan pulang ini, yang bagai menyadarkan saya dari lamunan panjang dengan sebuah jentikan jari.
Saya terjaga dari mimpi yang amat panjang... dan perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai sekarang.
Terima kasih, Tuhan.
*By the way, waktu sedang googling ke sini, saya menemukan tautan ke film ini. Jadi pengen nonton lagi. ;-D
No comments:
Post a Comment