Sunday, December 26, 2010

Natal, Kata dan Cinta

24 Desember 2010.

Saya duduk dengan seorang sahabat di dalam restoran yang mulai temaram. Lampu-dimatikan satu persatu, kursi-kursi disusun di atas meja—pengusiran secara halus. Namun kami bergeming. Ia dengan sebatang rokok, saya dengan suapan nasi dan kuah hangat.

Entah siapa yang mengawali, kami mulai saling bertutur. Tentang bersyukur. Tentang belajar. Tentang hidup yang selalu punya 1001 macam cara untuk memberi, mengingatkan, mengajarkan. Dan pembicaraan di ruang temaram itu menghasilkan kesimpulan yang sama: selalu ada banyak hal dalam hidup yang bisa disyukuri, tak peduli situasi yang sedang dihadapi. Selalu ada banyak hal yang bisa mengingatkan betapa hidup tak melulu terdiri dari pencobaan—bahwa hidup sebenarnya indah.

Asap rokok menari-nari di udara. Saya menyeruput sisa kaldu ayam. Saya harus bergegas. Empatpuluhlima menit lagi kebaktian Natal dimulai.

Saya duduk sendiri di ujung barisan, dalam ruangan besar yang dingin luar biasa. Kedua kaki saya gemetar. Namun denting piano yang memainkan lagu-lagu Natal lambat laun menghilangkan perasaan tidak nyaman.

Melewatkan malam di gereja bukanlah kebiasaan saya. Baru kali ini saya menghadiri kebaktian Natal yang diselenggarakan pada malam tanggal 24, namun entah bagaimana, semua terasa… tepat.

Kebaktian dimulai. Lagu-lagu dinyanyikan. Saya ikut bernyanyi, perlahan. Dan tiba-tiba, seluruh beban di hati saya seakan terangkat begitu saja. Bukan peristiwa ilahi. Bukan juga mujizat Natal. Tidak ada malaikat menampakkan diri, dan saya tidak sedang mabuk anggur Perjamuan.

Apa ini?

Lamat-lamat, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Hingga jawaban itu datang.

Saya sedang memaafkan.

Betul, memaafkan.

Saya tercenung sendiri ketika jawaban itu muncul di benak saya.

Memaafkan? Memaafkan siapa?

Entahlah. Yang saya tahu hanya, hati saya membuka lebar dan malam ini ia melepaskan semua yang menyumbatnya satu tahun terakhir. Segala sedih. Segala kecewa. Segala gundah. Segala khawatir. Segala gembira. Segala bahagia. Segala senang. Semua dilepasnya tanpa kecuali.

Berbagai nama dan wajah muncul di benak saya, silih berganti, sebelum saya sadar, saya tidak sedang memaafkan orang lain. Saya sedang memaafkan hidup. Memaafkan setiap hal yang dihantarkannya kepada saya setahun terakhir, kadang melalui orang-orang yang saya kenal, kadang melalui peristiwa yang terjadi begitu saja, yang tidak saya sukai, yang mengecewakan, yang membuat saya terluka. Dan akhirnya saya sadar, saya sedang memaafkan diri sendiri.

Penyadaran itu muncul dengan amat sederhana. Benak saya tak punya banyak waktu dan energi untuk menganalisa. Batin sayalah yang mencerna semuanya, dan saya tahu. Saya sedang berdamai. Dengan apa pun yang menjadi jatah saya. Dengan apa pun yang digariskan bagi saya. Suka atau duka. Senang atau susah. Sulit atau mudah.

Dua jam berlalu dengan cepat. Saya meninggalkan gereja yang baru pertama saya kunjungi itu dengan perasaan campur aduk; senang, terharu, terkejut dan setengah mati kedinginan. Sebuah santapan manis untuk menutup tahun yang akan memasuki penghujungnya tujuh hari lagi.

Kebaktian ini barangkali kebaktian terindah yang pernah saya ikuti selama tiga tahun terakhir, dan Natal ini adalah Natal paling menyentuh selama entah berapa tahun terakhir, namun keduanya bukan hal terbaik yang saya alami hari ini.

Peristiwa terbaik hari ini?

Sahabat yang mengantarkan saya ke gereja untuk mengikuti kebaktian Natal adalah seorang Muslim.

Cinta, tidak paham arti perbedaan.

-----

Gambar diambil dari sini.

Monday, November 22, 2010

Yang Kukira Cinta

Pagi akan menjelang dalam hitungan jam. Tubuhku letih, namun mataku belum mampu terpejam. Seperti yang sudah-sudah, wajahmu kembali hadir. Namamu kembali terngiang, sembari benakku melafal segala yang kuingat tentang kamu. Namun entah kenapa aku tak lagi terlalu merindukanmu.

Bagaimana bisa, aku pun tak paham. Baru beberapa malam lalu pedih datang menggigit. Namun kini ia menyublim, menguap. Patah hati seharusnya tak sesingkat itu.

Barangkali yang kusebut cinta cuma fatamorgana. Barangkali aku belum tenggelam dalam impian tentangmu. Barangkali otakku mengabadikanmu namun hatiku belum terlanjur menyimpanmu. Atau barangkali, semua cuma kabut yang mampir untuk berlalu.

Aku ingin memahami kita. Aku ingin memahami kamu. Bukan sekali dua aku berkhayal; seandainya kita mengawali semua dengan benar. Tetapi yang terjadi jauh dari benar. Kamu dan aku sama-sama tahu, kita memulai dengan salah. Dan barangkali ini yang menjadi upahku—aku tergelincir dan tak ada lenganmu di sana.

Kamu tidak pernah menjadi milikku. Tidak sesaat pun. Otakkulah yang merekam begitu banyak kenangan, merangkainya bersama ilusi dan menipuku. Namun hati selalu tahu. Hatiku tahu.

Sekejap, kusayang kamu lebih dari siapa pun. Tanpa sempat kucegah. Tanpa sempat kukekang. Bukan bibirmu. Bukan lidahmu. Bukan lenganmu. Bukan jemarimu. Bukan pula tanggal lahir kita yang beda sehari. Aku menyayangimu tanpa tahu kenapa. Mungkin inilah yang mereka bilang karma. Barangkali. Aku tak paham.

Tak pernah kusayangi orang tanpa apa dan mengapa. Kamu yang pertama, namun mudah-mudahan bukan yang terakhir. Karena hatiku perlu terus mengalir. Ia perlu terus hidup.

Malam ini kulepas kamu dengan sebuah doa. Kiranya cinta mengisi hari-harimu dengan senyum dan tawa. Kiranya hatimu senantiasa hidup dan bersinar. Kiranya jiwamu menemukan damai yang kau cari. Kiranya bahagia selalu ada untukmu.

Kiranya kita bahagia. Dengan jalan yang kita tempuh sendiri-sendiri.



Pedih ini perlahan memudar, menguap. Namun aku akan selalu ingat, ia pernah ada.


~ Ubud, 11.11.10 ~

-----

Tuesday, November 16, 2010

Ubud, Saya dan Keberuntungan

“Kamu sangat beruntung.”

Saya tersenyum pada perempuan asal Polandia yang mengucapkan kalimat itu. Entah sudah berapa orang mengatakan hal yang sama ketika mereka mengetahui saya akan menghabiskan seminggu di resort di pinggir kota Ubud ini. Sebelumnya, Tammy, perempuan asal Thailand yang sempat tinggal dua malam di sini, mengatakan hal yang persis sama.

Saya tidak tahu apa yang membuat mereka berkata seperti itu. Faktanya, saya berada di sini hanya karena sudah terlampau penat dengan kehidupan di kota besar. Seminggu sebelum memesan tiket pesawat, saya pulang ke kamar pukul dua pagi, dengan kepala bagai dipalu dan sukar berjalan lurus—hasil dari menggelontor empat gelas minuman beralkohol sepanjang malam.

Esoknya, saya terbangun dengan kepala berdenyut. Sekujur tubuh saya lemas. Saya tergolek di tempat tidur, dan sebuah pertanyaan menghampiri saya.

Apa ini, Jen?”

Saya tidak bisa menjawabnya.

Saat itulah saya tahu. Saya harus pergi.

Saya menjelajah internet, mencari tiket murah yang bisa membawa saya ke Jawa Tengah. Yang terbayang di benak saya adalah Salatiga, kota kecil indah yang selalu saya anggap sebagai rumah kedua. Namun Merapi yang terus memuntahkan debu membuat saya mengurungkan niat.

Kota berikutnya adalah Ubud. Saya jatuh cinta pada Ubud sejak mengunjunginya pada bulan Februari 2009. Lebih dari satu setengah tahun saya merindukan tempat itu.

Saya berhasil menemukan tiket dengan harga bersahabat. Selanjutnya, penginapan. Saya tidak tahu harus menginap di mana.

Seorang kawan yang baru-baru ini pergi ke Ubud bercerita tentang sebuah resort yang membuatnya jatuh cinta. Dari resort tersebut para tamu dapat menikmati dua pemandangan sekaligus: sawah dan sungai. Saya membuka situs resort itu dan nyaris mengurungkan niat. Anggaran saya tidak memadai.

Namun tiket sudah saya dapatkan. Saya harus pergi. Saya pun menelepon Michi dan berbicara dengan wanita pengelola resort. Setelah berbincang singkat, ia memberikan harga khusus kepada saya. Bukan diskon, sebenarnya. Hanya harga kamar utuh tanpa dikenai pajak dan service charge 15%. Setelah menghitung-hitung, saya memutuskan untuk berangkat. Sendirian.

Sejujurnya, saya sendiri tidak tahu apa yang salah. Baru kali ini saya merasakan penat dan jenuh yang luar biasa selama tinggal di Jakarta. Saya lahir dan besar di sini. Adalah sesuatu yang tidak masuk akal—setelah 26 tahun menjalani semuanya dengan baik-baik saja—untuk merasa muak luar biasa pada kehidupan di metropolitan yang penuh gempita. Jakarta adalah rumah saya. Saya memiliki kehidupan yang baik, pekerjaan yang baik, dan teman-teman saya berada di sini. Apa yang salah?

Entahlah.

Yang saya tahu hanya, saya harus secepatnya pergi, atau saya akan mati pengap. Julangan gedung dan ribuan kendaraan yang bagaikan parkir di jalan selepas pulang kantor menghimpit kewarasan saya. Kehidupan yang penuh hiruk-pikuk dan hingar-bingar telah menggerogoti saya. Kebosanan teramat-sangat pada rutinitas yang saya jalani setiap hari—tanpa jeda, tanpa perbedaan—mencuri kebahagiaan saya.

Barangkali tidak ada yang salah. Barangkali memang sudah waktunya untuk pergi.

Saya tiba di Michi pada pukul 21:30 waktu setempat, setelah pesawat saya mengalami tunda terbang selama dua jam. Sesampainya di resort, saya disambut pengelola hotel dan housekeeper yang memberikan saya tur keliling sebagian wilayah resort.

Setelah memilih kamar, saya menikmati makan malam di restoran. Melihat saya sendirian, Wayan, pria paruh baya pengelola resort, menemani saya. Ia menjelaskan asal-usul dipilihnya nama Michi, filosofi yang terkandung di baliknya dan sebagainya. Di akhir percakapan, ia menawarkan diri untuk membaca telapak tangan saya.

Saya sempat risih, namun akhirnya membiarkannya mengamati telapak tangan kiri saya. Setelah mengutarakan beberapa hal tentang diri saya, ia kembali bercerita tentang Michi. Tentang aliran sungai. Tentang hidup yang hendaknya dibiarkan mengalir, ke mana pun ia mau; tanpa dibebani ambisi dan keinginan yang memberatkan. Tentang kesederhanaan. Tentang kebahagiaan. Tentang senyuman.

Mendengar Wayan bicara, entah mengapa mata saya membasah. Saya tahan agar cairan itu tidak mengumpul dan menetes. Saya tidak tahu mengapa, dan tidak ingin tahu. Yang saya tahu, saya berada di sini. Jauh dari gegap-gempita metropolitan yang menyesakkan. Itu sudah cukup.

Setelah makan, saya kembali ke kamar. Kamar saya terletak persis di atas sungai berarus deras. Saya sempat menyangka hujan lebat turun dan akhirnya sadar bahwa suara menderu itu adalah arus air.

Esok paginya, ketika saya keluar dari kamar, pemandangan indah menyambut saya. Hamparan hijau sawah dan pepohonan, air sungai yang memecah bebatuan dan hawa sejuk yang dibawa aliran deras itu menemani pagi pertama saya di Ubud. Saya melangkah ke restoran untuk sarapan. Sejumlah karyawan tersenyum menyambut kedatangan saya dan mengucapkan selamat pagi.

Sejenak, saya tercekat. Tidak terbiasa dengan keramahan itu. Bukannya saya tidak pernah menemui keramahan di kota besar, namun keramahan itu adalah keramahan yang sudah dilatih. Senyum itu adalah senyuman yang tersungging secara otomatis, karena pembeli dan pengguna adalah raja. Di resort kecil ini, semua orang menyambut saya dengan senyum lebar. Bukan senyum basa-basi, bukan pula senyum formal penyedia layanan kepada customer-nya. Ketika saya menatap mereka, mata mereka ikut tersenyum.

Pada hari kedua, saat saya sedang menikmati camilan sore sambil bekerja, seorang karyawan menghampiri saya.

“Ini jatuh kemarin...” Ia menyodorkan secarik kertas berukuran kecil. Saya mengambil kertas itu dan terbengong sesaat. Kertas putih itu adalah tiket bioskop bekas yang belum sempat saya buang. Barangkali kertas itu jatuh dari dompet ketika saya mengeluarkan uang untuk membayar makan malam saya hari sebelumnya.

Saya memperhatikan kertas itu dan secercah haru menyusupi batin saya.

Betapa remehnya. Betapa sederhananya. Betapa bermaknanya.

Setiap hari saya menikmati sarapan sambil melihat hamparan sawah, merasakan semilir angin dan mendengarkan arus sungai. Siangnya saya berkunjung ke pusat kota, mencicipi makanan di beberapa restoran yang direkomendasikan kawan dari Jakarta dan jalan-jalan tak tentu arah. Di malam hari, saya mematikan kipas angin dan tidur dengan selimut sambil mendengarkan deruan air di bawah sana. Dan esok paginya saya akan kembali bangun, keluar kamar, menarik napas dalam-dalam menghirup udara segar yang bersih, memanjakan mata dengan hamparan hijau dan kembali melangkahkan kaki ke restoran untuk sarapan.

Saya akan menjumpai senyum ramah di wajah setiap karyawan hotel. Tak jarang mereka menyapa, “Tidurnya enak semalam?” “Hari ini mau ke kota?” dan sebagainya. Dan mata mereka selalu ikut tersenyum. Wayan yang lebih banyak bekerja di lantai dua sering melongokkan kepala ketika saya melintasi kolam renang di bawah. Ia akan berseru, “Apa kabar?” dan saya akan menjawab dengan seruan pula.

Wajah-wajah tersenyum itu ada di mana-mana. Seorang karyawan perempuan bahkan menitipkan pesan, “Hati-hati di jalan, ya...” ketika saya berkata bahwa saya berniat mengunjungi kota untuk makan babi guling. Saya tertegun dan bibir saya otomatis mengembangkan senyum dan mengucapkan terima kasih, namun hangat yang merambati hati saya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Karena lokasi yang sedikit terpencil dan berada di antara hamparan sawah dan sungai, sinyal telepon genggam sering sulit didapat. Koneksi internet sering terputus, bahkan mati sama sekali, padahal telepon genggam dan internet adalah dua hal yang sangat esensial bagi saya di Jakarta. Anehnya, saya tak terlalu merasa kehilangan. Di tempat ini, setiap hari saya tersenyum.

Wanita Polandia itu menghabiskan jus semangkanya dan berpamitan. Ia datang hanya untuk melihat-lihat dan akan segera pergi ke kota lain.

“Kamu sangat beruntung.”

Saya memandangi punggungnya yang bergerak menjauh. Saya menatap seorang karyawan resort tak jauh dari kami yang berdiri dengan senyum ramahnya.

Mendadak senyuman itu terasa jauh lebih berarti ketimbang hal-hal lainnya.

Ya, saya memang beruntung.

-----

Sunday, October 31, 2010

Bertanya (tentang) Cinta

Kau tanya padaku apa itu cinta.

Aku termenung
Tak sepatah pun keluar dari bibirku.

Cinta itu apa?”

Pertanyaan yang sama sudah kuulang entah berapa ribu kali kepada diriku sendiri, dan aku masih tak paham.

Adakah ia desir-desir aneh yang merambati hatimu saat kau lihat pujaanmu berdiri tak jauh darimu?

Adakah ia getar-getar geli yang membuat harimu jadi indah ketika mendengarnya menyebut namamu?

Adakah ia bahagia yang mengusikmu dan memunculkan senyum di wajahmu yang biasa kelabu?

Adakah ia air mata yang menyusuri lekuk pipimu saat rindu menyerang, pertengkaran melahirkan gundah dan perpisahan terucap?

Adakah ia semburat panas di dadamu ketika melihatnya bersama orang lain dan bahagia tanpamu?

Adakah ia amarah yang tak bisa kau jelaskan, seribu perasaan yang tak bisa kau gambarkan dan jutaan cahaya dalam matamu saat kalian bertatapan?

Adakah ia hitam, putih, warna-warni?

Kenalkah ia pada dosa, pahamkah ia akan tabu, pedulikah ia akan benar-salah?

Entahlah.

Kau jelas bertanya pada orang yang salah, karena bahkan sufi dan pujangga gagal merangkum maknanya.

Yang kutahu cuma, ia hadir sewajar hembusan udara pagi, lenyap seperti embun di siang hari, mengalir ke mana pun ia suka. Tanpa bisa diperintah. Tanpa bisa dicangkangi. Dan kita terhanyut-hanyut di dalamnya tanpa pernah berhasil merumuskan artinya.

Yang kutahu cuma, cinta tak membiarkanmu memilih jiwa. Namun kau bisa memutuskan untuk memberangusnya atau membiarkannya tumbuh, menjaganya dengan hatimu.

Dan aku tahu ia tak pernah berjanji. Bahagia, gembira, gelisah, getir, sedih, amarah, semua bisa hadir tanpa sanggup kau pilah.

Jadi, apa itu cinta?” desakmu.

Diam adalah jawabanku.
Bukan karena angkuh namun sungguh tak paham
Puluhan tahun usiaku dan aku masih gagap mendefinisikan cinta.

Namun inilah yang bisa kukatakan kepadamu:
Barangkali cinta tak perlu ditanyakan
Alamilah sendiri. Biarkan ia menjemputmu dan kau akan tahu.


Sebuah persembahan untuk sahabat yang tengah jatuh cinta—perempuan beruntung yang saya sayangi. Semoga diberkahi kebahagiaan. :-)

-----

Gambar dipinjam dari sini.

Wednesday, September 29, 2010

Surat Buat Presiden

Bapak Presiden yang Terhormat,

Beberapa minggu lalu, seorang pejabat tempat ibadah mengalami luka berat akibat penusukan yang dilakukan sekelompok orang dari sebuah organisasi pembela agama. Sebelumnya, tempat ibadah yang dilarang berdiri itu sudah menjadi saksi unjuk rasa dan adu jotos kepentingan atas nama agama. Jemaat pun terguncang. Bukan saja mereka kehilangan tempat beribadah, mereka harus menyaksikan orang yang mereka hormati berlumuran darah di depan mata mereka sendiri.

Kemarin, ratusan orang dari sebuah organisasi agama menyerbu sebuah festival film. Mereka mengancam akan membakar tempat itu. Kemudian Bapak Menteri mengeluarkan pernyataan yang membuat kami terhenyak. Kegiatan itu menyimpang dari etika masyarakat, katanya. Kami pun termangu. Sejak kapan preferensi seksual seseorang menjadi tolok ukur etika dan moral masyarakat?

Hari ini, terjadi kerusuhan di Jalan Ampera. Mereka bilang, korban tewas sejauh ini sudah tiga orang. Empat luka-luka. Seorang polisi tertembak. Potongan tubuh terserak di jalan. Jalan ditutup. Kemacetan mengular. Masyarakat diperingatkan untuk menjauhi area itu.

Bapak, saya tak mengerti politik dan tak ingin tahu banyak tentang politik. Saya warga negara biasa yang sudah cukup puas dengan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang baik. Saya yakin di negara ini banyak yang seperti itu. Politik bukan bidang kami, dan barangkali kami memang tak perlu memahaminya, karena seperti yang sering dibilang orang, politik itu bau tai. Kami lebih suka mencium aroma makanan ketimbang kotoran, maka kami serahkan ranah itu kepada orang-orang yang sudah ahli berkecimpung di dalamnya. Namun, kali ini, izinkan kami bersuara.

Bapak, kami marah bukan karena benci. Kami marah karena cinta. Cinta yang kepalang besar bagi pertiwi yang tanahnya sudah kami injak puluhan tahun, yang udaranya kami hirup setiap hari, yang hasil buminya memberi makan mulut-mulut kami.

Prihatin tak lagi cukup, Bapak. Beragam janji dan instruksi tidak lagi mampu membungkam mulut kami, karena kami sudah kenyang dengan janji. Kami lelah menunggu tanpa daya. Kami letih menonton tanpa bisa berbuat apa-apa.

Nyanyian dari bibirmu sudah kami dengarkan, Bapak. Kini kami menanti sesuatu yang lain. Yang bukan cuma bisa kami simpan dalam bentuk kepingan cakram. Yang bukan cuma bisa kami baca di internet, kami lihat di televisi, kami simak di koran, tanpa pernah menghasilkan apa-apa.

Kami tak minta banyak, Bapak. Kami hanya ingin orang yang kami pilih mampu menyediakan keamanan bagi kami. Kami ingin bisa beribadah dengan damai. Kami ingin bisa melalui jalan-jalan kota dengan tenteram. Kami ingin menikmati film dan pergi ke tempat-tempat hiburan dengan leluasa. Kami ingin bebas dari rasa takut dan teror.

Kami ingin pajak yang kami bayarkan digunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan pembangunan negara, karena sekalipun kami hidup berkecukupan, jutaan penduduk Indonesia belum menikmati kehidupan yang layak. Sudah cukup kami merasa pedih melihat uang hasil jerih payah kami digunakan untuk plesiran anggota dewan yang terhormat, sementara jutaan rakyat miskin makan nasi yang sudah kotor setiap hari.

Kami muak dengan kekerasan. Kami muak dengan aksi semena-mena. Kami muak melihat nama Tuhan digadaikan demi hawa nafsu segelintir orang tertentu. Kami sudah lelah mencaci dan menangis.

Bapak, tolong dengarkan kami. Lakukan sesuatu. Bertindaklah agar kami tahu orang yang kami pilih memang layak mengemban kepercayaan kami.

Kami tak minta banyak, sungguh. Jangan bilang itu terlalu sulit.

-----

Monday, September 27, 2010

9

Entry ini saya tulis pukul dua pagi, sambil merebus air yang akan saya pakai untuk mandi. Hari ini, duabelas jam saya habiskan di sebuah stasiun televisi yang belakangan ini menjadi tempat saya mencari penghasilan tambahan demi menyokong kehidupan di pusat kota.

Dalam keheningan yang menyertai limabelas menit perjalanan saya kembali ke kos-kosan, saya memejamkan mata dan membiarkan tubuh beristirahat. Di luar dugaan, pikiran yang seharian terus berceloteh dan berlompatan ke sana kemari, mendadak ikut meresapi kesunyian.

Alangkah banyak yang ingin saya tuliskan di halaman ini. Berkali-kali saya menerima pertanyaan, “Kapan diisi lagi blog-nya?”, “Kok sekarang jarang posting?”, dan sebagainya. Berkali-kali berbagai pemikiran singgah di otak. Berkali-kali pula saya meniatkan hati untuk menulis barang sehalaman-dua. Toh akhirnya semua niat cuma mengendap.

September nyaris berakhir. Bulan kesepuluh akan segera saya jelang. Rasanya baru kemarin tahun 2009 berlalu. Kadang benak tergoda untuk melontarkan pertanyaan, apa saja yang sudah saya raih selama sembilan bulan? Apa saja pengalaman yang berhasil saya kumpulkan? Pembelajaran apa yang sudah saya petik? Berapa banyak teman yang saya punya? Pencapaian materiil apa yang bisa saya banggakan?

Ada kalanya pertanyaan-pertanyaan ini hadir dan menganggu, tidak peduli sekeras apa pun saya berusaha mengabaikannya. Kadang saya berpikir, jangan-jangan sindrom krisis seperempat abad itu bukan mitos. Tidak jarang pula saya membandingkan diri dengan orang-orang lain dan merasa kecewa—bahkan putus asa—karena sepertinya saya tidak pernah bisa menjadi lebih baik dari mereka.

Namun ada kalanya—ada kalanya—benak yang selalu ribut mengoceh ini menemukan jalan buntu, berulangkali membentur garis pembatas, berputar-putar kebingungan, hingga akhirnya terdiam kelelahan.

Ketika ia terdiam—dalam waktu yang kadang tak lebih dari sekian menit—batin saya mengambil alih. Dengan ketenangan yang tak pernah saya duga ada. Dalam kesunyian yang mendamaikan. Dalam keheningan yang menyejukkan. Ia hadir dan berbisik, “Tidak apa-apa...”

“Tidak apa-apa.”

Dan sepotong kalimat pendek itulah yang membuat saya kembali berdiri.

Malam ini, kesunyian itu hadir lagi. Dalam limabelas menit perjalanan pulang saya. Kesunyian yang sama, yang akhirnya menggerakkan saya untuk menyalakan komputer dan menuliskan ini.

Bukan sebuah artikel. Bukan tulisan penuh kalimat indah. Hanya sepotong curhat singkat disertai sebuah doa. Beberapa orang menyebutnya harapan.

Apa pun yang terjadi selama tiga bulan ke depan, sebelum akhirnya kita bersama-sama melepaskan tahun 2010 ini, saya berdoa agar kita semua senantiasa diingatkan—melalui peristiwa sehari-hari, keajaiban-keajaiban kecil yang kita alami dan siapa pun yang kita temui—bahwa sesungguhnya hidup tidak pernah berhenti menawarkan hadiah. Bahkan tanpa kita perlu berusaha menggapainya.

Bahwa sesungguhnya segala pedih akan berlalu pada waktunya. Kesedihan akan sirna jika sudah saatnya, dan getir tidak akan tinggal tetap. Pun kebahagiaan, kegembiraan dan sukacita.

Bahwa cinta adalah sesuatu yang nyata, ada dan layak dipercayai. Tanpa perlu diwadahi. Tanpa perlu dipaksakan. Tanpa perlu diundang, atau diusir.

Bahwa sesungguhnya, di mana pun kita semua berada, dan kapan pun, Anda dan saya tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.

Itu saja.

-----

Wednesday, August 18, 2010

Indonesia65

"Lu mah bukan orang Indonesia. Lu orang Cina."

"Woy, ada amoy! Amoooy!"

"Eh, Cokin. Mau ke mana?"

"Weee, yang matanya sipiiit..."

-----

Darah yang mengalir di tubuh ini barangkali berasal dari negeri di seberang lautan, nun jauh di sana. Namun kedua kaki ini berpijak di tanah Indonesia, dan paru-paru ini menghirup udaranya setiap hari.

Saya orang Indonesia. Sampai kapan pun.

Selamat Hari Jadi, Negeriku.

*Gambar dipinjam dari: http://www.indonesiapusaka.info/wp-content/uploads/2010/03/bendera.jpg

Tuesday, August 3, 2010

Jika Aku Mati

Jika aku mati
Tak perlu tangisi aku berlama-lama
Karena lihatlah, aku tak pernah jauh
Langit dan udara adalah caraku berbicara
Aku tak lenyap, hanya berganti

Jika aku mati
Tak perlu tangisi aku berlama-lama
Kenang aku dengan senyummu
Dan tiap kali kau mengingatku
Kau akan tahu aku ada

Jika aku pergi
Tak perlu sesali kehilanganmu
Aku tak mau mengisi harimu dengan mendung
Aku ingin bercahaya di hatimu

Tak perlu tangisi aku
Aku tak ke mana-mana
Aku hanya pulang
Karena rumahku itu kamu.


*untuk mengenang mereka yang telah pergi.

-----

Monday, July 26, 2010

Rotan

Suatu senja di Jahanjang, Kalimantan Tengah
Dia membersihkan rotan dengan sarung kumal dan rantai
Pakaiannya seadanya, mukanya masih tersaput bedak
Hasil beramai-ramai menyambut rombongan yang datang dari Jawa


Dia bekerja sambil tersenyum
Sadar bahwa kamera mengintai, siapa tahu nanti bisa masuk TV
Ketika ditanya upahnya
Dia menjawab lugas


“Seharian begini bisa dapat empatpuluh sampai enampuluh…”


Ribu rupiah, maksudnya
Untuk empat ratus pucuk rotan berukuran tiga kali lipat tinggi badannya
Yang dibersihkan dengan cara ditarik dan digerus rantai
Sehari penuh, tak henti, tanpa jeda


Matahari terik menyengat
Tak sanggup ditahan terpal rombeng di atas kepala
Kakinya beralas sandal usang
Barangkali sudah kebal disengat duri rotan


Saya tergugu
Kamera cuma mampu mengambil sebuah gambar
Mata saya membasah
Teringat segelas kopi berharga sama yang mudah saya reguk tanpa kerja keras


Hidup memang tidak adil buat sebagian orang,
Mungkin kau bilang begitu
Tapi senyum di wajahnya
Tak bisa kau beli, kawan.


Friday, July 9, 2010

Jarak

Sinar keemasan sudah menerobos dari tadi, tak mampu dibendung tirai coklat yang menjuntai sampai lantai.

Kau menggeliat. Bisa kudengar desahanmu karena punggung kita cuma terpaut belasan senti. Desah panjang pertamamu di pagi hari.

“Jam berapa?” kau bergumam. Separuh nyawamu masih di dunia lain. Aku tak menyalahkan. Semalam memang cukup melelahkan.

Aku sudah bangun satu jam lalu, menatapi ruangan gelap yang perlahan menjadi terang.



Tidak satu hari pun berlalu tanpa kucoreti angka-angka di kalender yang tergantung di kamar. Setiap hari kuhitungi jarak ke pertemuan berikutnya di mana aku bisa menatapmu, mendekapmu, dan merasakan hangat napasmu di leherku. Tubuhku yang telanjang. Jiwaku yang merindu.

Tak satu hari pun kulewatkan tanpa mengingatmu. Sekadar menyebutkan namamu dalam hati, atau tersenyum saat melewati foto dalam pigura di meja kopi. Foto yang kerap kau protes, “Taruh di kamar aja lah, Say. Nggak enak kalau kelihatan orang.”

“Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda,” itu yang sering kau bilang. Dan aku setuju.

Kau kemari setiap bulan untuk memuaskan yang kedua.

Payudara kanan istrimu tak mampu lagi merasa. Pengangkatan dan implantasi telah mengubah segalanya. Mengubah hidupnya, dan pernikahan kalian. Tubuh ringkihnya sudah menggemuk sejak pertemuan pertama kita di lorong rumah sakit empat bulan silam, namun semuanya memang tak pernah sama lagi.

Penyakit itu muncul setahun yang lalu. Jam-jam panjang penuh duka, air mata, rintihan dan keluhan terlalu lama menderamu. Mengurasmu. Kini ia kembali ke sisimu. Tempat tidurmu tak lagi terlalu luas, namun ada jarak lain yang lebih sukar diseberangi.



Setiap bulan kita mengulangi ritual yang sama.

Kau akan muncul di apartemen ini, mendekapku erat dan berkata betapa kau merindukanku. Aku akan tersenyum dan membuka sebotol anggur yang tak pernah absen tersedia di meja makan.

Kau akan bercerita, kadang dengan kelelahan di matamu, kadang dengan senyuman. Tentang pekerjaanmu, tentang anak-anakmu. Si Sulung yang mulai menyesuaikan diri di sekolahnya yang baru. Si Bungsu yang sudah lincah dan tidak bisa duduk diam barang semenit. Dan, kadang, tentang istrimu. Aku akan mendengarkan dengan antusias. Cerita-ceritamu selalu menarik, dan yang terpenting, kau membaginya denganku.

Sambil bercerita, sesekali kau melirik telepon genggam.

Kau tak pernah meninggalkan benda itu barang sekejap. Satu meter maksimal jaraknya darimu, bahkan ketika kita sedang memadu nafsu. Teleponmu akan berdering minimal satu kali, pada waktu yang nyaris selalu sama. Sikapmu biasa-biasa saja, namun tak bisa kau bohongi gerak gesitmu saat nada dering yang kau pasang khusus untuknya berbunyi, dan tak bisa kau pungkiri betapa tuturmu menghalus saat berbicara dengannya. Betapa matamu berbinar penuh cinta meski kalian tidak sedang bertatapan.

“Aku masih meeting. Tidurlah. Besok aku pulang,” demikian ucapmu selalu. Diakhiri dengan tiga kata yang memang menjadi jatahnya. Yang sudah kau ukir di hatimu sebelum kau memintanya mendampingimu seumur hidup.

Kau menutup telepon dan meletakkannya di meja kecil di sisi tempat tidur agar mudah dijangkau. Lalu kau merengkuhku, menciumku. Aku mendekapmu, membiarkanmu beristirahat, merasakan desah napasmu di pundakku yang telanjang. Napasmu yang perlahan memburu.

Selama beberapa jam berikutnya, kau menjadi milikku sepenuhnya. Selama itu pula, cuma aku yang ada di pikiranmu. Bukan pekerjaanmu. Bukan anak-anakmu. Bukan dia. Cuma namaku yang akan kau sebutkan, cuma harumku yang akan kau hirup, bercampur dengan erangan dan peluh yang menetes. Beberapa jam yang rela kutukar dengan mencoreti kalender setiap hari, menyebut namamu, memandangi fotomu.

30 hari yang kadang bagai neraka, namun takkan kutukar dengan apa pun.

30 hari yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan beberapa jam keberadaanmu di sini. Meskipun setelahnya kau membalikkan badan dan tertidur pulas, membiarkanku terjaga sendirian. Meskipun esoknya kau tergesa-gesa meninggalkan kamar ini untuk mengejar pesawat terpagi.



Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda. Kau datang ke sini setiap bulan untuk memenuhi yang kedua, lalu kau akan pulang untuk memberikan cinta pada dia yang menunggumu.

Dan sejauh itulah jarak yang bisa kuarungi untuk pulang ke hatimu.

-----

Friday, June 11, 2010

Sebuah Maaf untuk Suatu Masa

Kaset-kaset itu saya temukan di pojok kotak plastik besar, tempat saya menyimpan buku dan berkas-berkas yang tidak pernah lagi dibaca. Entah sudah berapa lama mereka ada di sana. Saya mengeluarkan semuanya satu-persatu sambil mengamati tahun-tahun yang tertera di label.

Kaset-kaset itu berisi rekaman khotbah saya dari tahun 2003 hingga 2005. Jumlahnya tidak banyak. Hampir semuanya direkam menggunakan walkman pinjaman dengan kualitas suara yang jauh dari memuaskan. Waktu itu, tidak banyak tempat ibadah yang memiliki alat perekam.

Saya memilih sebuah kaset yang hasil rekamannya cukup jernih dan memasangnya. Khotbah saya di sebuah gereja di bilangan Kelapa Gading lima tahun silam. Semenit pertama, saya tertawa-tawa mendengar suara saya sendiri; betapa lantangnya saya berkhotbah, betapa cepatnya saya bicara, betapa gugupnya saya.

Menit-menit berikutnya, senyum saya lenyap, berganti kegelisahan. Saya nyaris tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Saya sulit mempercayai apa yang terlontar dari mulut saya sendiri. Bukan hanya saya. Seorang anggota keluarga yang turut mendengarkan rekaman itu berkomentar polos, “Itu kayak bukan kamu.”

Tidak. Pasti ada yang salah. Tidak mungkin itu saya.

Saya tidak ingin mempercayai telinga saya sendiri. Kebaktian itu dihadiri lebih dari seratus remaja, namun tidak ada humor di dalamnya. Si pengkhotbah berbicara bagaikan mobil yang gasnya diinjak dalam-dalam. Kalimat-kalimat yang terlontar keras, tajam menusuk.

Saya mematikan player kurang dari limabelas menit. Saya tidak tahan mendengarkan suara saya sendiri. Saya tidak sanggup mendengarkan begitu banyak tuntutan bernada memaksa yang keluar dari mulut saya sendiri.

Saya meninggalkan tumpukan kaset dan duduk di depan televisi tanpa menyimak acara yang sedang disiarkan. Saya tercenung. Lama. Yang muncul berikutnya adalah air mata.

Saya telah meninggalkan mimbar lima tahun yang lalu. Hari ini saya sadar, meninggalkan tidak sama dengan menyelesaikan. Fase itu sudah lama berlalu dan hidup menghantarkan saya ke titik yang sama sekali baru, namun ada banyak hal yang belum selesai—setidaknya dalam batin saya sendiri.

Permohonan maaf adalah salah satu di antaranya.


* * *


Kepada semua orang yang pernah duduk di depan mimbar dan mendengarkan saya berkhotbah,

Maafkan saya atas segala tekanan yang saya berikan melalui pengajaran-pengajaran saya.

Maafkan saya atas penghakiman yang saya lontarkan tanpa mendengar dan menilai dengan bijak.

Maafkan saya atas ‘harus ini dan itu’, ‘lakukan ini dan itu’, ‘tidak boleh begini dan begitu’, dan segala tuntutan lain yang saya paksakan tanpa benar-benar mengenal satu orang pun di antara kalian.

Maafkan saya karena telah bersikap seolah-olah tahu yang terbaik tanpa memberi kesempatan kepada kalian untuk mencari kebenaran kalian sendiri.

Maafkan saya karena telah meminta kalian mengikuti kehendak saya dan melakukan apa yang saya inginkan.

Maafkan saya atas segala ketidakpuasan, kekecewaan terhadap diri sendiri, dan kemarahan yang saya lampiaskan dalam ceramah-ceramah saya. Maaf karena telah menjadikan kalian sasaran dari masalah batin saya sendiri.

Dan untukmu, Jenny,

Maafkan saya karena telah menuntut begitu banyak darimu.

Maafkan saya karena menginginkanmu menjadi yang paling sempurna. Menghendakimu menjadi teladan dan panutan bagi orang lain. Menetapkan standar yang terlampau tinggi hingga kamu kelelahan dan kehabisan daya. Menghakimimu sedemikian rupa hingga kamu tak mampu lagi percaya pada diri sendiri.

I am truly sorry.


* * *


Tulisan ini saya persembahkan kepada diri saya sendiri, sebagai salam pamit sekaligus penutup sebuah fase hidup yang telah berlalu. Juga kepada semua orang yang pernah bersilangan jalan dengan saya di masa itu—mereka yang pernah mendengarkan saya berkhotbah.

Terima kasih banyak. Kalian semua adalah guru saya, meski yang tampak di luar adalah sebaliknya. Kalian telah mengajar saya jauh lebih banyak dari yang kalian ketahui.

Thank you for being a part of this grand journey. Each one of you.

-----

Friday, May 21, 2010

Pada Sebuah Perpisahan

“Memang ini adanya. Bukan salah siapa-siapa. Aku berharap bisa bersamamu lebih lama, tapi semua sudah berubah.”


Aku selalu mendambakan laki-laki tegap berkulit eksotis dengan sorot mata yang bisa melelehkan perempuan. Bahkan sekejap aku pernah mengangankan laki-laki yang matanya cokelat muda, berhidung mancung, Kaukasian. Segala hal yang dijual sinetron murahan. Barangkali karena tak peduli betapa aku berusaha jadi pandai dan berkelas, perempuan memang mudah takluk pada keindahan.

Kamu tidak indah. Usia kita terpaut belasan tahun. Tidak ada kotak-kotak kekar di perutmu. Dadamu tidak bidang. Kulitmu terang, bukan cokelat eksotis. Namun aku menyayangimu lebih dari yang kutahu. Lebih dari yang kumampu.

Sayang itu tidak lahir sekejap mata. Butuh berkali-kali pertemuan dan entah berapa puluh pertukaran pesan melalui jagat maya dan komunikasi selular sampai aku sadar, hatiku jatuh sudah. Cinta itu lahir tanpa permisi, seperti Tuhan yang kadang mengetuk pintu kita tanpa diminta.

Seharusnya kamu menjadikan dia percobaan belaka. Seharusnya kamu tidak jatuh cinta. Seharusnya kamu sadar dari dulu.”

Aku tahu itu lebih dari kuhafal perkalian matematika. Lebih jelas dari satu ditambah satu sama dengan dua. Aku tahu itu sejak kamu menyatakan bukan aku satu-satunya dalam hidupmu. Bahwa sudah belasan tahun kamu menjalani pilihan ini. Bahwa kamu tidak siap untuk terikat. Bahwa manusia tidak pernah berubah.

Aku membuat diriku percaya bahwa aku mampu mengendalikan cinta dan ia takkan muncul tanpa diundang. Kututup hatiku rapat-rapat dan kubuat pengingat yang kutengok belasan kali dalam sehari. Pengingat untuk selalu berpegangan. Agar aku tak perlu tergelincir.

Namun hati memang curang. Didesaknya aku ke tepi jurang dan aku tak pernah sama lagi. Kubiarkan diriku jatuh kendati kutahu akan terhempas hancur. Tidak ada jaring pengaman di sana dan aku tetap melompat. Aku menjadi orang yang berbeda. Egoku membengkak dan membuncah. Mendorongmu menjauh, membuatmu jengah.

Hingga sampailah kita ke titik ini.

Apa ini gara-gara seks?”

Pertanyaan itu menghantuiku seperti perempuan berambut panjang yang kadang muncul di sudut kamar, sebelum akhirnya aku menyerah.

Barangkali iya. Barangkali juga tidak. Apa gunanya mencari tahu? Setahuku cinta tidak butuh alasan. Manusialah yang bersusah payah merangkai formula untuk merumuskan cinta. Jatuh cinta karena begini. Jadi sayang karena begitu. Toh akhirnya kita menyerah pada kesederhanaan itu: Mencintai karena mencintai.

Ini bukan salah siapa-siapa. Aku berharap bisa bersamamu lebih lama, tapi semua memang sudah berubah.”

Aku tak bisa mencegahmu pergi. Dan aku tak ingin merengkuhmu kembali jika itu cuma akan menderamu.

Kamu layak untuk bahagia seperti aku juga ingin bahagia. Namun izinkan aku menyampaikan apa yang tak pernah tuntas diucapkan bibirku. Sekali saja.

Aku mencintai dadamu yang tidak bidang, bulu-bulu kasar di tubuhmu, tahi lalatmu. Aku mencintai caramu tertawa, tarikan sudut bibirmu, senyum lebarmu. Aku mencintai lipatan perutmu, pundakmu, lengan-lenganmu yang besar. Aku mencintai kening lebarmu, mata teduhmu, bibirmu. Aku mencintai caramu menatapku. Aku mencintai kecupanmu yang berkali-kali. Aku mencintai pelukanmu lebih dari aku mencintai hujan.

Aku mencintaimu lebih dari hamparan pasir hangat, merdu gelombang laut, semburat keemasan senja, dan lengkungan pelangi.

Aku mencintaimu lebih dari semua keindahan yang pernah kutemui.

Serumit dan sesederhana itulah aku menyayangimu.

-----

Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Monday, May 10, 2010

10 Things I Learn About Me

Saya tidak bisa menyenangkan semua orang, namun melihat orang lain terluka akibat perbuatan saya adalah sesuatu yang menyakitkan.

Menyakiti orang lain, apa pun alasannya, sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Dan pada akhirnya, diri sendirilah yang paling menderita.

Kebahagiaan bukan untuk dicari. Ia datang dan pergi dengan sendirinya.

Sekuat apa pun saya berusaha mempertahankan sesuatu, ia akan pergi jika sudah waktunya.

Saya bisa lari menjauhi apa pun di dunia, kecuali diri saya sendiri.

Penghakiman terbesar tidak datang dari orang lain, melainkan diri sendiri.

Kejujuran dan meminta maaf bukan sesuatu yang sulit, dan ia menyembuhkan.

Berdamai dengan diri sendiri jauh lebih penting ketimbang bersahabat dengan seisi dunia.

Saya rindu diri saya yang lama. Yang polos, bodoh dan tidak menghakimi dunia.

Ya, saya tersesat. Saya ingin pulang.

-----

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Sunday, May 9, 2010

Bunda

Satu setengah tahun berjuang melawan kanker, akhirnya Mama terpaksa menyerah. Namun, sebagaimana sifatnya yang tertutup dan tidak ingin menyusahkan orang, Mama menyimpan penderitaannya rapat-rapat, bahkan sampai detik terakhir.

Hari itu, untuk kesekian kalinya beliau dibawa ke rumah sakit karena komplikasi setelah menjalani kemoterapi. Ia pergi ditemani Ayah, Paman, dan Nenek. Saya tidak merasa perlu ikut mendampinginya. Saya, yang sudah terbiasa dengan kunjungan rutin ke rumah sakit lima hari dalam sebulan, menganggap hari itu sama seperti hari-hari lainnya.

Saya berdiri di depan pintu, melepas kepergian Mama sambil melambaikan tangan. Ia dengan daster panjang kesayangannya. Ia dengan kepala polos tanpa penutup, karena ia membenci wig dan topi yang membuat gerah. Ia dengan wajah mengernyit, tanpa satu pun keluhan terlontar.

Hari itu tanggal 14 Juli. Mama pergi ke rumah sakit tanpa saya di sisinya. Ia tidak pernah kembali lagi.

Saya merelakan kepergian Mama, karena saya lebih memilih kehilangan seorang ibu ketimbang melihatnya menderita dalam kesakitan. Namun, perlahan-lahan kehilangan itu menjelma menjadi lubang hitam. Saya merindukannya, dan kini saya tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Satu-satunya saat di mana kami dapat berjumpa lagi, barangkali nanti, ketika saya menyusulnya ke surga. Meski saya tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dalam saat-saat tertentu, ia terasa begitu dekat.

Seolah-olah Mama tidak pernah pergi dari sisi saya. Ia hadir dalam saat-saat terberat di mana saya merasa hidup tidak lagi ada gunanya dan saya ingin mati saja. Ia hadir dalam masa-masa paling mengecewakan di mana yang ingin saya lakukan hanya mengubur diri di bawah selimut dan menghindari dunia.

Seakan-akan Mama ada dan berbisik, “Tidak apa-apa, Nak. Semua akan baik-baik saja,” meski tangannya tak dapat menjangkau wajah saya yang berairmata.

Ia hadir dalam saat-saat penuh kebahagiaan di mana saya berkhayal dapat menghambur ke kamarnya dan menceritakan apa yang saya rasakan dengan penuh sukacita. Ia hadir dalam masa-masa penuh kegembiraan ketika saya berbangga hati atas pencapaian yang saya raih. Seakan-akan Mama ada, tepat di sisi saya, tersenyum lebar, dan berbisik, “That’s my girl.”

Betapa saya rindu mempersembahkan setiap kemenangan dan keberhasilan saya untuknya, dan saya tahu dia tahu.

Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya sadar: saya keliru.

Mama tidak pergi ke tempat asing bernama Surga di mana kami terpisah selamanya. Saya tidak perlu menanti sampai mati untuk berjumpa lagi dengannya. Saya tidak perlu menunggu sampai masa kontrak saya dengan dunia berakhir untuk bisa menemuinya.

Mama tidak pergi ke tempat lain. Ia pulang ke hati saya. Sebuah tempat di mana ia akan abadi dan tak terganti. Dan kami akan selalu bersama. Selamanya.


I know you’re listening, Mom. Welcome home.”

* * *

Once in a dream, I saw you telling me
That you’ve traveled in the dark
Just to find that little spot
How you’d settle for a light
In the vastness of the night
Then I saw some tears were coming from your eyes
As you said you’d found your paradise
And I began to ask you: why you have to cry?

And now, it’s so dreamlike I hear you telling me
It’s been such a perfect grace; it’s been such a perfect place
To be in my heart at last, and have angels singing you a song
And it’s time for me to say goodbye to those eyes
To let you go so sleeplike and hear you whisper: why we have to cry?

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have, where you wish to be
In this tiny spark of memory, mortality
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart

(Back to Heaven's Light - Dewi Lestari)


*Tulisan yang sama pernah dimuat di sini sebagai salah satu pemenang 'Rectoverso Moment' yang diadakan CosmopolitanFM bekerjasama dengan GoodFaith Production.

Wednesday, April 28, 2010

Pemandangan Sudut Jembatan

Hari ini, seperti hari-hari lain yang belakangan sering saya habiskan di pusat Jakarta, saya menaiki jembatan penyeberangan untuk mencapai kantor baru saya di bilangan Thamrin.

Hari ini, yang duduk di sudut jembatan itu adalah seorang ibu muda bersama bayi yang tertidur lelap tepat di sampingnya. Bayi yang usianya takkan lebih dari beberapa bulan. Tangan mungilnya masih tersembunyi dalam sarung putih. Pantatnya masih terbungkus popok. Bayi yang terlalu kecil untuk menghirup udara kehitaman Jakarta dan tersengat terik matahari.

Dalam ketergesaan, saya hanya melirik singkat kepada mereka dan terus berlalu. Namun pikiran saya memutar ulang pemandangan di sudut jembatan yang sama, yang saya temui sebelumnya.

Beberapa hari lalu, sudut itu diisi seorang ibu gemuk dengan rambut dicepol. Bocah di sampingnya barangkali berusia satu tahun. Ketika saya melintasi jembatan di siang hari, sang bocah sedang lelap tertidur. Ketika saya kembali sore harinya, bocah tersebut sedang bermain sambil tertawa-tawa. Sang ibu menggoda anaknya sambil tersenyum lebar. Tak urung saya ikut tersenyum menyaksikan pemandangan yang cuma sekilas itu. Mendadak, perjalanan pulang selama dua jam terasa lebih ringan.

Sudut jembatan itu juga pernah ditempati seorang kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral. Sorot matanya kosong, dan seperti kebanyakan orang yang melintasi jembatan itu dengan langkah-langkah cepat, saya pun berlalu begitu saja.

Hari ini, ketika pikiran saya sedang berpacu dengan jemari untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, sebuah kalimat muncul di layar komputer. Saya tidak kenal penulisnya. Kalimat tersebut diteruskan oleh seorang kawan dalam jaringan pertemanan yang saya ikuti.

They say go for your dreams, don't compromise for anything else. How do you know which one is the "dream" & which one is "anything else"?

Saya terdiam. Lama.



Mimpi-mimpi.

Saya selalu tahu apa yang saya inginkan. Ajukan pertanyaan itu kepada saya dan saya akan menjawabnya dengan sebuah daftar lengkap.

Semua orang bisa bermimpi. Mimpi itu tidak bayar, maka gantungkan cita-citamu setinggi langit. Bahkan anak Sekolah Dasar yang paling bodoh tahu itu. Namun apa yang saya lihat di sudut jembatan beberapa hari terakhir telah memberitahu saya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejar mimpi.

Kakek yang menggenggam wadah plastik bekas air mineral mungkin cuma bermimpi bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang malam ini.

Wanita gemuk dengan bocah berwajah sumringah itu barangkali bermimpi bisa menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai lulus SMU.

Beberapa jam sebelum menuliskan entri ini, saya melintasi jembatan yang sama untuk menaiki bus merah-kuning yang akan mengantarkan saya pulang ke rumah—tempat yang nyaman di mana saya bisa beristirahat di kamar yang sejuk usai membersihkan tubuh dengan air hangat.

Ibu muda dan bayinya masih ada di sana. Mereka tertidur pulas di atas selembar kardus. Saya menatap mereka dan bertanya dalam hati, adakah perempuan ini punya mimpi. Barangkali mimpinya sederhana saja: bisa terlelap di ranjang yang hangat dan punya tempat tinggal yang layak agar esok si mungil tak perlu menghirup udara kotor dan tersengat matahari.

Semua orang bisa bermimpi. Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengejarnya.



Hari ini, saya ingin berterimakasih pada seseorang yang tak saya kenal namanya. Atas sebuah pertanyaan yang mengusik hati dan mengingatkan saya akan sesuatu yang sudah lama saya lupakan.

Mimpi-mimpi saya. Saya sudah hidup di dalamnya.

Dan untuk itu, sepatutnya hari ini ditutup dengan ucapan syukur.

-----

Thursday, March 11, 2010

Surat untuk Ayah

Ayah tersayang,

Hari ini seorang teman bertanya, “Pernahkah kamu menyesali keputusanmu untuk pergi?”

Saya terdiam, dan ingatan tentangmu kembali berhamburan. Tentang kalian. Tentang kita.


Ayah tersayang,

Meninggalkan kalian adalah hal tersulit yang pernah saya lakukan. Dua tahun nyaris berlalu dan air mata ini belum juga habis. Namun jawaban atas pertanyaan itu adalah tidak; saya tidak menyesal.


Ayah tersayang,

Maafkan saya atas segala luka yang saya timbulkan. Maafkan saya karena tidak sanggup memenuhi janji untuk terus bersama sampai Tuhan memanggil salah satu dari kita. Maafkan saya karena harus menjadi orang pertama yang pergi, dan perpisahan itu bukan disebabkan oleh maut.

Maafkan saya karena tidak mampu memenuhi harapan-harapanmu. Maafkan saya karena telah mengecewakanmu begitu rupa. Maafkan saya atas segala air mata, kesedihan, dan rasa sakit yang timbul karena saya tidak bisa lagi menjadi seseorang yang dibanggakan.

Namun Ayah, saya tidak menyesal.

Dua tahun ini adalah tahun paling menakjubkan dalam hidup saya. Untuk pertama kalinya saya bisa mengambil keputusan tanpa bertanya kepada siapa pun. Untuk pertama kalinya saya bisa melakukan apa yang saya kehendaki tanpa menunggu persetujuan orang lain. Untuk pertama kalinya saya bisa pergi ke mana pun saya suka tanpa khawatir akan pendapat orang. Untuk pertama kalinya saya bisa bergaul dengan siapa saja tanpa memikirkan perbedaan yang harus dijembatani.

Untuk pertama kalinya saya benar-benar tahu apa itu bahagia.

Dan Ayah, saya jatuh cinta.

Jatuh cinta ternyata perasaan yang luar biasa. Perasaan yang membuat seseorang rela mendaki gunung demi terjun bebas dari bibir jurang, remuk-redam babak-belur, lalu berjuang mendaki lagi hanya untuk mengulangi hal yang sama setibanya di atas.

Saya jatuh cinta kepada hidup.

Untuk pertama kalinya pula, saya benar-benar bersyukur. Hati saya bernyanyi dengan sendirinya. Tanpa ia perlu disuruh. Tanpa perlu diingatkan untuk berterimakasih.


Ayah tersayang,

Hidup memang tidak mudah. Dan lebih dari sekali saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi seandainya saya tidak pernah memilih untuk pergi. Apa yang terjadi seandainya kita masih terus bersama.

Hidup barangkali akan jauh lebih mudah. Rasa aman tersedia duapuluhempat jam dikali tujuh hari. Kita akan duduk di meja yang sama setiap hari, di ruangan yang sama. Tapi saya akan membenci kalian. Saya akan membenci diri saya sendiri—seperti saya membencinya sedemikian rupa sebelum akhirnya saya memutuskan untuk pergi.

Hidup memang tidak mudah, dan berkali-kali saya membayangkan apa rasanya kembali berada dalam perlindunganmu, naungan kasihmu, belaian tanganmu. Namun kini saya belajar percaya. Sesuatu yang dulu tidak pernah bisa saya lakukan. Saya belajar mempercayai diri sendiri. Saya belajar mengandalkannya. Saya belajar menjadi jujur pada perasaan dan kebutuhan saya. Dan saya belajar mencintainya apa adanya. Ternyata, mencintai diri sendiri itu tidaklah buruk.


Ayah tersayang,

Di sini saya belajar

Bahwa setiap detik dan hirupan nafas adalah keajaiban.

Bahwa hidup bukanlah sesuatu yang bisa didikte berdasarkan buku panduan.

Bahwa cinta bukanlah sekumpulan teori yang menjamin hasil sama bagi mereka yang mengalaminya.

Bahwa perbedaan ada bukan untuk dihilangkan atau dibenci, melainkan dihargai dan diterima apa adanya—karena setiap manusia sama berharganya.

Dan bahwa Tuhan tidak seperti yang kita perbincangkan selama ini.

Saya belajar mengenal-Nya dengan cara yang sama sekali berbeda, namun kini Ia terasa jauh lebih nyata. Sangat dekat … dan ada.


Ayah tersayang,

Surat ini adalah apa yang tidak berani saya katakan selama dua tahun terakhir, karena pertemuan selalu membuat lidah saya kelu dan bibir saya terkunci. Maafkan saya karena hanya bisa menyampaikannya dengan cara ini. Mudah-mudahan Ayah tidak keberatan.


Ayah tersayang,

Saya baik-baik saja di sini. Saya bahagia.

Semoga itu cukup. :-)

-----

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Sunday, February 28, 2010

180 Menit

… tanpa koneksi internet, percakapan dengan siapa pun, atau banjir informasi yang tiada berhenti.

180 menit yang sunyi, kendati hiruk-pikuk di sekitar saya mengalahkan keramaian Pasar Minggu.

180 menit bersama secangkir kopi beraroma hazelnut, langit sore, dan koran edisi terbaru.

180 menit yang memberi tahu saya bahwa

Para barista di gerai kopi ini tampaknya sudah melewati seleksi tampang sebelum diterima bekerja.

Barista jangkung berkulit putih dan berambut spikey punya senyum yang melelehkan hati.

Petugas kebersihan berseragam kotak-kotak tak henti-hentinya mengelapi kaca yang sama.

Pengki yang digunakan petugas kebersihan berwarna merah muda.

Arloji lelaki berperut buncit di meja seberang berwarna coklat keemasan yang berkilau ditimpa sinar mentari.

Gadis-gadis pra-remaja yang datang dengan teman atau orangtua hampir semuanya mengenakan Crocs merah jambu dalam berbagai gradasi warna.

Sebagian besar pengunjung menenteng BlackBerry dengan cover beraneka warna. Ungu. Hijau. Kuning. Putih. Biru.

Pria dan wanita di meja sebelah tidak saling bicara sejak mereka duduk.

Masih ada dunia selain semesta maya sumber informasi yang berada dalam jangkauan kita duapuluhempat jam sehari.


Juga bahwa

Senja ini indah sekali, kendati langit tak cerah

Dan saya tak henti-hentinya tersenyum.


-----


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Monday, February 15, 2010

Sederhana

Kamu bagaikan gula-gula kapas
Manis, legit, memikat
Membuat ketagihan
Kendati kutahu kehadiranmu tak bertahan lama

Kamu seperti pasir
Datang dan sirna dibawa ombak
Lepas berhamburan
Jika terlalu erat digenggam

Kamu layaknya api
Membakar dan menghanguskan
Namun tetap saja aku mendekat kepadamu
Mencari hangat dan pijarmu

Kamu tak ubahnya rembulan
Hanya bisa dipandangi
Tak tergenggam,
Tak sanggup kumiliki.

Aku tak paham puisi-puisi rumit
Dan aku bukan penggemar Sapardi
Namun kamu membuatku mengerti isi hati pujangga
Dan mengapa mereka bisa mencipta larik seindah bunga.

Izinkan aku menyayangimu dengan sederhana
Entah kamu gula-gula kapas, pasir, api, atau rembulan
Karena dengan kamu dalam dekapku
Aku tak lagi peduli akan siapa dan mengapa

Maka, biarkan hatiku jatuh bebas
Entah ia terjun, menukik, berputar
Terjerembab, tersandung, terpelintir
Biru lebam, berdarah, atau berkilau

Biarkan rasa ini ada
Selama aku masih diizinkan menggenggam
Selama ia masih ingin berlabuh
Selama ia masih mampu mengalir

Dan izinkan aku menyayangimu dengan sederhana.

~ Februari 2010, untuk Hari Kasih Sayang. Terinspirasi oleh puisi ini. ~

-----


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

Tuesday, February 2, 2010

Ho'oponopono

Kurang-lebih satu tahun lalu, saya mengikuti sebuah retreat meditasi di mana instrukturnya adalah sahabat saya sendiri. Dalam sesi pembuka dari retreat yang berlangsung selama empat hari itu, ia mengajak seluruh peserta melakukan Ho’oponopono, sebuah teknik penyembuhan berbasis meditasi yang berasal dari Hawaii.

Ho’oponopono terdiri dari empat kalimat singkat “I’m sorry”, “Please forgive me”, “I love you”, dan “Thank you” yang diucapkan secara berurutan sambil menyadari masalah yang sedang dihadapi. Setiap peserta bebas mengucapkan apa pun yang menjadi ganjalan batinnya dan mengakhiri curhat singkat itu dengan empat kalimat tadi.

Bukan hal mudah bagi saya untuk melakukan teknik sederhana itu. Saya sedang menjalani proses penyembuhan dari perpisahan yang saya alami berbulan-bulan sebelumnya—perpisahan menyakitkan yang diiringi banyak air mata dan membuat saya menangis hampir setiap hari. Saya kecewa. Saya marah. Saya terluka. Saya menyalahkan. Dan kini saya harus mengucapkan “I’m sorry, please forgive me...”? Tidak bisa.

Saya bergumul selama sesi berlangsung. Beberapa minggu setelah retreat, dalam pertemuan pribadi dengan sahabat saya, saya berkata terus terang, “Saya tidak sanggup berkata 'I’m sorry' dan 'Please forgive me' dengan tulus karena apa yang terjadi bukan kesalahan saya. Sayalah yang terluka. Sayalah yang menjadi korban. Saya bahkan belum bisa memaafkannya, bagaimana mungkin saya harus minta maaf kepadanya?”

Sahabat saya menjawab dengan tenang, “Ho’oponopono tidak ada hubungannya dengan orang yang menyakiti kamu. Kamu tidak sedang meminta maaf kepadanya. Teknik ini baru akan berhasil ketika dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kita memiliki andil dalam setiap penderitaan kita.”

Saya menatapnya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin saya memiliki andil dalam penderitaan saya sendiri—atau dengan kata lain, saya turut bertanggungjawab atas penderitaan ini? Jelas-jelas bukan saya yang salah. Jelas-jelas saya disakiti. Jelas-jelas sayalah korbannya. Konsep itu sama sekali tidak masuk akal.

Butuh satu tahun bagi saya untuk bisa betul-betul memahami esensi dari pernyataan tersebut.

Butuh satu tahun bagi saya untuk bisa menyadari bahwa orang lain memang tidak bisa membuat saya menderita. Harapan dan ketakutan sayalah yang membuat saya menderita.

Untuk sadar bahwa orang lain bisa melakukan hal yang paling nista terhadap saya, namun saya bertanggungjawab atas setiap kemarahan, ketakutan, kekhawatiran, harapan, rasa tidak aman, dan banyak hal lain yang timbul dari batin saya sendiri.

Untuk sadar bahwa ketika saya menuntut orang lain untuk berubah menjadi seperti yang saya inginkan, tidak peduli label apa yang saya lekatkan di atasnya, itu bukanlah cinta.

Untuk sadar bahwa saya tidak pernah memiliki kendali atas hidup orang lain. Saya tidak bisa mengubah satu orang pun, dan akhirnya saya tersakiti bukan oleh tindakannya, melainkan oleh pengharapan saya sendiri.

Untuk sadar bahwa setiap pilihan mengandung resiko dan konsekuensi, namun saya tidak perlu mencicil keduanya lebih awal hanya karena saya hidup dalam harapan dan kekhawatiran.

Untuk memahami bahwa cinta memang tidak bersanding dengan harapan dan ketakutan. Ada perbedaan yang sangat besar di antara tiga hal tersebut, sekalipun saya teramat sering mencampurkan ketiganya dan menyebutnya cinta.

Untuk sadar bahwa cinta tidak pernah tumbuh dari masa lalu atau terkubur di masa depan. Ia hanya ada di sini dan sekarang.

Untuk sadar bahwa cinta tidak perlu dicangkangi. Seperti kita tak berusaha mewadahi awan atau mengandangi sinar mentari.


***

Hari ini, ketika saya menuliskan artikel ini, setitik air mata jatuh perlahan.

Untuk rasa syukur karena saya tak lagi perlu menyalahkan orang lain atas apa yang saya alami. Untuk hidup yang telah memberi begitu banyak keajaiban dengan caranya sendiri; yang telah mengizinkan saya untuk mengalaminya, bersentuhan dengannya, dan bertumbuh darinya.

Untuk mereka yang menangis karena suami yang berselingkuh, kekasih yang abusif, pacar yang semena-mena, sahabat yang mengkhianati kepercayaan, anak yang berlaku kurang ajar, orang tua yang tak pernah menunjukkan rasa sayang, dan banyak lagi.

Untuk harapan-harapan yang tak pernah mati dan kekhawatiran yang datang menghantui setiap malam. Bagaimana jika dia kembali berselingkuh. Bagaimana kalau dia sedang bersama wanita lain. Bagaimana kalau dia menyakiti saya lagi. Bagaimana jika dia ternyata belum berubah. Bagaimana jika saya dikhianati lagi. Dan sejuta ‘bagaimana’ lain.

Untuk kekecewaan yang hadir tatkala harapan tidak terpenuhi dan getir yang merampok batin ketika ketakutan benar-benar menjelma nyata.

Untuk mereka yang berjuang keras mencinta dan mempertahankan cinta.

Untuk setiap luka.

Untuk setiap pedih.

Untuk setiap harapan.

Dan ketakutan.


“I’m sorry.”
“Please forgive me.”
“I love you.”
“Thank you.”


Bukan tentang ‘apa’, ‘siapa’, atau ‘mengapa’. Tapi tentang kita.

-----

*Sebuah catatan yang diinspirasi oleh tulisan ini.

Tuesday, January 5, 2010

Saya dan (T)

Saya mulai bertanya tentang Tuhan ketika berusia duabelas tahun.

Pertanyaan pertama saya muncul di bangku SMP kelas satu. Saat itu, sekolah saya mewajibkan seluruh siswa menghadiri kebaktian yang diadakan setiap Minggu sore di aula. Khotbah yang disampaikan dalam kebaktian harus dirangkum menjadi catatan yang dibubuhi tanda tangan pengkhotbah, dan jumlah rangkuman tersebut turut menentukan nilai yang tertera pada mata pelajaran Agama di rapor. Bagi yang poinnya defisit, bisa dipastikan nilainya tekor dan mendapat bonus dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.

Saya, yang paling malas menghadiri kebaktian karena merasa hari Minggu adalah jatahnya libur, selalu mencari alasan untuk mangkir. Saya bahkan nekat berkali-kali memalsukan tanda tangan di buku saya (nggak pernah ketahuan, by the way :-D). Namun, sebandel-bandelnya anak, ada batasnya juga. Suatu hari—entah tergerak oleh apa—saya pergi ke sana.

Saya duduk diam sepanjang kebaktian. Pertama, karena tidak tahu lagu-lagu yang dinyanyikan. Kedua, tidak tahu harus berbuat apa. Ketiga, tidak paham isi khotbahnya. Tidak lama setelah naik ke mimbar, sang pengkhotbah meninggalkan kutipan ayat-ayatnya dan melontarkan lelucon mengenai pemeluk agama lain.

Mereka tidak sebaik kita. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kebenaran. Mereka bodoh dan patut dikasihani.

Jemaat tertawa.

Sore itu, saya meninggalkan aula dengan pertanyaan besar: apakah mereka tidak berpikir bahwa yang menghadiri kebaktian bukan hanya orang yang seagama? Apakah mereka tidak berpikir bahwa ada anak-anak yang datang hanya untuk mengumpulkan tanda tangan? Kenapa mereka harus menertawakan orang-orang yang berbeda keyakinan? Memangnya agama lain itu salah? Memangnya Tuhan pilih kasih? Katanya Tuhan tidak pandang bulu?

Saya ngambek dan mogok kebaktian selama berbulan-bulan. Saya berang terhadap ibadah Minggu dan segala tetek-bengeknya. Namun, di sisi lain, keingintahuan saya akan agama yang satu ini semakin memuncak.

Setiap akhir bulan, di Sabtu sore, seluruh siswa dikumpulkan di lapangan sekolah dan duduk berjejalan di bangku-bangku kayu yang dijejer membentuk setengah lingkaran untuk memperoleh siraman rohani selama dua jam. Biasanya, sebagian besar waktu tersebut saya habiskan untuk berkirim surat dengan teman kanan-kiri, ngobrol berbisik-bisik, atau menertawakan potongan rambut si pengkhotbah yang keriting nanggung. Seiring meningkatnya rasa penasaran, lambat laun saya mulai mendengarkan khotbah-khotbah itu dengan saksama. Saya lebih banyak diam, dan saya mulai rajin duduk di barisan depan bersama guru-guru dan sederet anak alim.

Dua bulan setelah ulangtahun saya yang ketigabelas, saya memutuskan untuk berpindah agama, sekaligus menjadi pemberontak pertama di keluarga besar saya. Orang tua saya tidak melarang, meski juga tidak rela.

Masa SMP dan SMU saya lewatkan dengan menjalani berbagai aktivitas rohani, mulai dari pertemuan doa, pertemuan pengerja, ibadah rutin, mengikuti berbagai seminar, sampai pelayanan gereja.

Dua bulan sebelum saya lulus dari SMU, saya mendatangi Ibu dan berkata bahwa saya tidak ingin melanjutkan kuliah. Saya akan mendaftar ke sekolah Alkitab, dan semuanya akan saya jalani dengan biaya sendiri.

Ibu saya diam sejenak, lalu menjawab tenang, “Mama tanya Papa dulu.”

Seperti yang sudah-sudah, mereka tidak melarang. Ibu sangat ingin melihat saya menjadi sarjana, namun beliau tidak memaksakan kehendaknya. Belakangan saya tahu, Ibu sering menangis diam-diam—menyesali anak sulungnya yang keras kepala. Ketika akhirnya saya ditahbiskan menjadi pendeta muda pada usia 18 tahun, beliau kembali menangis. Kali ini karena bangga melihat putrinya berbicara di belakang mimbar.

Dua setengah tahun saya habiskan dengan mempelajari Alkitab dan berkhotbah. Memasuki tahun ketiga pelayanan, saya berhenti berkhotbah dan hanya mempelajari Alkitab. Selama tahun-tahun itu pula, segala pertanyaan seperti lenyap begitu saja dari benak saya. Saya begitu bersemangat. Tidak ada ruang untuk pertanyaan. Tidak ada waktu untuk bertanya. Saya seperti kuda yang sedang berpacu di arena balap. Saya terus berlari. Secepat-cepatnya.

Hingga tibalah saat itu. Tahun 2007, tanpa penyebab spesifik, tanpa asal-muasal, tanpa permisi lebih dulu, sejumlah pertanyaan kembali berlompatan dan menggedor-gedor benak saya. Saya tidak tahu bagaimana bisa begitu. Barangkali saya mulai jenuh. Barangkali saya mulai kelelahan. Atau, barangkali, memang sudah waktunya.

Berbeda dengan sebelas tahun sebelumnya, kali ini pertanyaan itu tidak langsung muncul dalam bentuk kalimat tanya, melainkan rasa di hati.

Saya tak paham kenapa saya merasa ‘perih’ ketika menghadiri pemakaman orang tua seorang sahabat yang berbeda agama dengan anaknya, dan mendengar seorang pelayat bertanya, “Yang penting Papa sudah terima Tuhan, kan?”. Saya tak paham mengapa orang yang baik harus dijebloskan ke neraka hanya karena ia tidak menyembah Tuhan yang sama.

Saya tak paham kenapa surga hanya diciptakan untuk orang-orang yang seagama dengan saya, karena saya sangat yakin ada begitu banyak orang yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengenal Tuhan saya, dan itu bukan salah mereka. Bagaimana dengan mereka yang tinggal di tempat-tempat yang belum terjamah? Akankah mereka direbus di neraka hanya karena mereka tidak tahu Tuhan saya ada?

Saya tak paham kenapa saya merasa aneh ketika seorang kawan mengomentari teman-teman saya yang berbeda keyakinan dan berkata, “Ih, kok kamu mau sih gaul sama mereka?” dan ketika saya terdiam, ia meneruskan, “Kalau aku sih nggak bakal mau.”

Saya tak paham kenapa saya harus menginjili satu persatu anggota keluarga saya supaya kami bisa berkumpul di surga kelak. Ibu saya anak kelima dari sembilan bersaudara, dan saya mempunyai enambelas Oom dan Tante, lebih dari duapuluh sepupu, juga Nenek dan Kakek yang hampir semuanya berbeda agama dengan saya. Kebayang, dong? Selain itu, meski saya mempunyai pengalaman sebagai ‘tukang obat keliling’, saya tidak pernah berhasil mempertobatkan satu orang pun melalui penginjilan pribadi. Entah mengapa. Statistik saya sangat buruk dalam hal penginjilan one-on-one. Saya tak pernah tahu mengapa setiap kali saya hendak melakukannya lidah saya mendadak kelu.

Saya tak paham kenapa saya harus hidup dalam batasan baik-buruk, benar-salah, suci-dosa, dan hitam-putih, sementara dunia begitu penuh warna. Saya tak paham mengapa kami harus seragam, sementara perbedaan justru tampak begitu menarik dan memperkaya hidup. Saya tak paham kenapa saya harus selalu ‘baik-baik saja’ sementara hidup selalu punya banyak sisi dan rasa.

Saya tak paham kenapa saya disebut pemberontak karena memiliki banyak pertanyaan dan keingintahuan atas hal-hal yang dilarang agama. Bukan karena sengaja ingin membelot atau tak mau patuh, melainkan karena saya terus dikejar dengan berbagai ‘kenapa’. Kenapa nggak boleh? Kenapa harus? Kenapa jangan? Kenapa begitu? Dan banyak lagi. Saya tak paham kenapa saya dicap pembangkang, sementara yang saya inginkan hanya penjelasan yang masuk akal. Salahkah bertanya? Salahkah meminta alasan?

Saya tak paham kenapa saya dituntut untuk terus berubah, menjadi semakin seragam, semakin serupa dengan konsep ideal, dan semakin sempurna—meski kedengarannya memang menyenangkan. Saya tak paham, kenapa Dia yang dulu membuat saya jatuh cinta dengan penerimaan tak bersyarat kini menetapkan begitu banyak perintah, larangan dan aturan. Saya tak paham kenapa saya harus mengorbankan hidup saya untuk menyenangkan-Nya—tidakkah Dia ingin saya bahagia?

Saya tak paham kenapa saya tidak boleh bergaul terlalu akrab dengan mereka yang tidak seiman; kenapa saya harus senantiasa berhati-hati dalam bersikap agar ‘tidak ketularan’, dan kenapa saya harus terus berusaha ‘mengubahkan’ orang-orang di sekeliling saya menjadi sama seperti saya.

Saya tak paham, dan semakin bingung, ketika akhirnya saya sadar bahwa saya tidak pernah betul-betul ingin mempertobatkan satu orang pun, atau mempengaruhi siapa pun, kendati saya tumbuh dengan berbagai prinsip dan nilai yang (seharusnya) bisa mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Pun ketika otak saya berkata orang-orang yang saya cintai akan mendarat di neraka karena saya gagal ‘membawa mereka’ (dimana kesalahan itu akan menjadi tanggung jawab saya), saya tetap tidak ingin mengubah apa pun dari mereka.

Saya tak paham kenapa ada begitu banyak duka dan darah yang tumpah atas nama Tuhan yang identik dengan cinta, welas asih dan pengampunan.

Saya tak paham kenapa manusia saling menghakimi, mengecam dan menuding atas nama Tuhan, jika kasih-Nya tidak membedakan.

Saya semakin tidak paham ketika otak saya berkata “Kamu salah”, sedangkan hati saya membisikkan hal sebaliknya.

Tanda tanya yang sama akhirnya menghantarkan saya pada lebih banyak pertanyaan mengenai Tuhan dan hidup.

Tigabelas tahun berlalu sudah. Saya memutuskan untuk tidak lagi menjerat-Nya dalam sebuah kotak.

Inilah yang saya maksud ketika saya berkata, “Saya tidak perlu mengenal-Nya.” Bukan karena saya berhenti mencari, namun karena saya tidak ingin tanda tanya itu berubah menjadi titik. Saya tidak ingin air itu membeku keras dan kehilangan kemampuannya mengalir. Saya tidak ingin memerangkapnya dalam sebuah wadah tunggal.

Saya ingin melihat-Nya dimana-mana, karena itu saya tidak ingin memanggil-Nya dengan sebuah nama. Saya ingin menjumpai-Nya dalam berbagai rupa, karena itu saya mencopot label dari sosok berjubah putih yang bisa membelah laut dan berjalan di atas air. Saya ingin mengenali-Nya ketika bertemu dengan-Nya di jalan, karena itu saya menanggalkan berbagai predikat yang selama ini saya gantungkan pada-Nya. Pernyataan ini boleh jadi sulit diterima, bahkan absurd, namun begitulah adanya—setidaknya bagi saya pribadi.

Inilah sejumput perjalanan saya dengan Tuhan, yang sekaligus merupakan tulisan paling bongkar-isi-perut di blog ini. Sangat sedikit orang yang mengetahui kisah ini sebelumnya. Lalu, mengapa sekarang saya menuturkannya?

Karena seumur hidup saya, saya diajar bahwa tidaklah baik menjadi diri sendiri apa adanya.

Karena separuh hidup saya, saya diajar bahwa bertanya itu salah.

Karena beberapa dari Anda yang membaca tulisan ini mungkin memiliki pertanyaan yang sama, kebimbangan yang sama, pergumulan yang sama, dan saya ingin berkata: “It’s OK.”

:-)

Tulisan ini tidak dibuat untuk mendiskreditkan agama tertentu atau pihak mana pun, dan saya tidak sedang berupaya meneguhkan atau melucuti keyakinan siapa pun. Semua ini hanya bagian dari ilusi yang saya mainkan di atas panggung bernama Kehidupan, dimana saya menari dan menjalankan peran yang saya pilih, termasuk mempertanyakan Tuhan dan segala hal dalam hidup.

Pertunjukan belum usai, permainan belum tamat, dan perjalanan masih panjang. Perjalanan ini bukan tanpa rintangan, dan pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa jadi sangat melelahkan, namun, pada saat yang sama, saya berharap pencarian ini takkan pernah berakhir.

-----

Dan (T),
Tahukah Kamu,
Belum pernah seumur hidup
Aku jatuh cinta seperti ini.

Terima kasih.


-----