Sunday, May 9, 2010

Bunda

Satu setengah tahun berjuang melawan kanker, akhirnya Mama terpaksa menyerah. Namun, sebagaimana sifatnya yang tertutup dan tidak ingin menyusahkan orang, Mama menyimpan penderitaannya rapat-rapat, bahkan sampai detik terakhir.

Hari itu, untuk kesekian kalinya beliau dibawa ke rumah sakit karena komplikasi setelah menjalani kemoterapi. Ia pergi ditemani Ayah, Paman, dan Nenek. Saya tidak merasa perlu ikut mendampinginya. Saya, yang sudah terbiasa dengan kunjungan rutin ke rumah sakit lima hari dalam sebulan, menganggap hari itu sama seperti hari-hari lainnya.

Saya berdiri di depan pintu, melepas kepergian Mama sambil melambaikan tangan. Ia dengan daster panjang kesayangannya. Ia dengan kepala polos tanpa penutup, karena ia membenci wig dan topi yang membuat gerah. Ia dengan wajah mengernyit, tanpa satu pun keluhan terlontar.

Hari itu tanggal 14 Juli. Mama pergi ke rumah sakit tanpa saya di sisinya. Ia tidak pernah kembali lagi.

Saya merelakan kepergian Mama, karena saya lebih memilih kehilangan seorang ibu ketimbang melihatnya menderita dalam kesakitan. Namun, perlahan-lahan kehilangan itu menjelma menjadi lubang hitam. Saya merindukannya, dan kini saya tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Satu-satunya saat di mana kami dapat berjumpa lagi, barangkali nanti, ketika saya menyusulnya ke surga. Meski saya tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dalam saat-saat tertentu, ia terasa begitu dekat.

Seolah-olah Mama tidak pernah pergi dari sisi saya. Ia hadir dalam saat-saat terberat di mana saya merasa hidup tidak lagi ada gunanya dan saya ingin mati saja. Ia hadir dalam masa-masa paling mengecewakan di mana yang ingin saya lakukan hanya mengubur diri di bawah selimut dan menghindari dunia.

Seakan-akan Mama ada dan berbisik, “Tidak apa-apa, Nak. Semua akan baik-baik saja,” meski tangannya tak dapat menjangkau wajah saya yang berairmata.

Ia hadir dalam saat-saat penuh kebahagiaan di mana saya berkhayal dapat menghambur ke kamarnya dan menceritakan apa yang saya rasakan dengan penuh sukacita. Ia hadir dalam masa-masa penuh kegembiraan ketika saya berbangga hati atas pencapaian yang saya raih. Seakan-akan Mama ada, tepat di sisi saya, tersenyum lebar, dan berbisik, “That’s my girl.”

Betapa saya rindu mempersembahkan setiap kemenangan dan keberhasilan saya untuknya, dan saya tahu dia tahu.

Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya sadar: saya keliru.

Mama tidak pergi ke tempat asing bernama Surga di mana kami terpisah selamanya. Saya tidak perlu menanti sampai mati untuk berjumpa lagi dengannya. Saya tidak perlu menunggu sampai masa kontrak saya dengan dunia berakhir untuk bisa menemuinya.

Mama tidak pergi ke tempat lain. Ia pulang ke hati saya. Sebuah tempat di mana ia akan abadi dan tak terganti. Dan kami akan selalu bersama. Selamanya.


I know you’re listening, Mom. Welcome home.”

* * *

Once in a dream, I saw you telling me
That you’ve traveled in the dark
Just to find that little spot
How you’d settle for a light
In the vastness of the night
Then I saw some tears were coming from your eyes
As you said you’d found your paradise
And I began to ask you: why you have to cry?

And now, it’s so dreamlike I hear you telling me
It’s been such a perfect grace; it’s been such a perfect place
To be in my heart at last, and have angels singing you a song
And it’s time for me to say goodbye to those eyes
To let you go so sleeplike and hear you whisper: why we have to cry?

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have, where you wish to be
In this tiny spark of memory, mortality
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart

(Back to Heaven's Light - Dewi Lestari)


*Tulisan yang sama pernah dimuat di sini sebagai salah satu pemenang 'Rectoverso Moment' yang diadakan CosmopolitanFM bekerjasama dengan GoodFaith Production.

5 comments:

dela said...

wow..tearful.
this reminds me to my grandma. she is not my mother, but she was the one who took care of me when i was kid. i was out of town when she passed away, she's not getting sick, it happened suddenly. and I still feel sorry for it. until now.
but, thank for making me believe that she's still in my heart. :)

Perempuan Langit said...

bunda....
selalu mampu memberikan arti dalam langkah anaknya...
thanks udah berbagi mbak...
Kisah mbak membuat aku kembali sadar betapa berartinya Bunda

sansan said...

kadang aku hanya menangis sambil menulis blogku sendiri.baru kali ini aku meneteskan air mata ketika membaca blog orang lain, cerita yang begitu menyentuh dengan mengemasan tulisan yg begitu menarik,. senang sekali bisa menemukan blog km,. semoga bisa berkenalan dan sharing tntg blogging..
:)

vaniavanzai said...

ada sebuah lagu jepang yang dinyanyikan seamo berjudul mother yang menggambarkan tentang mama.. dalam lagu itu penyanyi mengatakan bahwa mama selalu bawel sama anak-anaknya.. tiap hari bangunin pagi-pagi, padahal setiap dibangunin gue slelau ngumpet dibalik selimut lalu mengumpat dan tidur lagi, namun mama setiap hari selalu melakukan hal yang sama.. saat mendengar lagu itu gue cuma tersenyum haru karena lagu itu benar2 menggambarkan kenyataan tentang ibu dalam kalimat ringan.. namun membaca tulisan jennyjusuf, hatiku ikut merasakan duka yang dialami.. mama, apapun yang dilakukannya semua pasti untuk kebaikan kita.. tetap semangat kak jennyjusuf, karena dimanapun mama berada, mama akan mendoakan untuk keberhasilan anak-anaknya :)

Ratna Andriani said...

jd inget lagu anak2 yg simpel tapi bermakna bgt... "kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.. hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia..." kasih sayang mama buat ka jeny ga kan berenti walo nafas mama di dunia udh brenti.. keep making her smile and proud of you.. jia yoo :)