Friday, February 22, 2008

Tentang Dave

Namanya Dave. Umurnya 2 tahun, tapi badannya yang mungil sempat membuat saya mengira bahwa dia baru berusia setahun lebih.

Dia tidak menjawab ketika saya menanyakan namanya. Dia hanya menyambut uluran tangan saya sambil tersipu-sipu. Kuku-kukunya mencakar telapak saya saat dia mengepalkan jemari dalam genggaman saya.

Saya mengajaknya bermain. Dave lari menjauh dan bersembunyi di belakang kereta bayi. Tapi saya tahu, dia tidak takut. Cuma malu. Kepalanya berulang kali menyembul dari balik kereta, mengintip saya dengan raut penasaran.

Saya mengambil wadah mainan dan menumpahkan aneka binatang plastik di atas karpet. Harimau, buaya, beruang, singa (belakangan baru nyadar, kok semuanya binatang buas ya? Hehehe). Saya mulai bermain sendirian. Mengadu harimau dengan beruang. Menjejerkan buaya, singa dan beruang dalam 1 barisan. Memasangkan masing-masing binatang sesuai dengan jenisnya.

Dave keluar dari balik kereta bayi. Dia berlari kecil dan duduk di samping saya. Detik berikutnya kami sudah asyik bermain. Lalu saya mulai membuat wajah-wajah lucu. Dave tersenyum, menggemaskan. Saya menggodanya. Dia lari menjauh, lalu kembali mendekati saya. Begitu terus.

Saya menjadi akrab dengan bocah berambut hitam tebal itu. Dia tidak menolak saya gendong, bahkan sesekali dia menghampiri saya dan minta dipangku. Setiap kali kami berpapasan, dia selalu tersenyum.

Dave mengikuti langkah-langkah saya, mengejar saya dengan kaki-kaki mungilnya, tertawa gembira ketika saya mencandainya, dan mendekati saya untuk disayang. Namun yang paling menyentuh adalah ketika saya berjongkok dan mengembangkan tangan ke arahnya. Dave berlari dan menyurukkan tubuhnya ke dalam pelukan saya, lalu bersandar dengan nyaman di sana.

Terus seperti itu, berulang-ulang. Dave mengikuti saya, dan saya menggodanya sampai kami berlari-larian. Ketika saya berjongkok sambil mengembangkan tangan, dia akan berlari secepat kedua kakinya dapat membawanya dan menghempaskan diri dalam rengkuhan saya.

Mata beningnya menatap saya lekat-lekat. Rasanya saya tak ingin melepaskan tubuh mungil itu. Bahkan tidak ketika Mama-Papanya mendekat hendak mengajaknya pulang. Sepasang mata bening yang selalu bersinar itu telah mengajari saya. Mengingatkan saya arti bahagia.

Senyum lebar Dave membuat saya tak rela melepasnya pulang. Senyum yang menampilkan geligi putih bersih itu telah mengingatkan saya akan makna bersyukur, yang begitu sering saya lupakan. Mengingatkan saya untuk berterima kasih –tanpa perlu melalui bahasa verbal— kepada Sang Pencipta atas setiap nikmat yang disodorkan kehidupan, meski hidup itu sendiri seringkali tak sesempurna yang didambakan.

Lengan-lengan mungil yang memeluk tubuh saya telah mengajari saya arti cinta. Mengingatkan saya untuk senantiasa mencintai tanpa syarat, dan mempercayai tanpa prasangka.

Langkah-langkah kecil Dave telah mengajari saya untuk memandang hidup dengan optimis. Bahwa hidup harus selalu dijalani dengan positif. Bahwa tidak peduli kesulitan apapun yang menjelang, semua pasti bisa diatasi dengan mata yang terus tertuju ke depan. Bahwa selama kita masih bisa terus berharap, langkah-langkah kita tak perlu mati.

Dia tak mungkin mengerti. Dave masih terlalu kecil untuk memahami bahwa dia telah mengajarkan saya begitu banyak hal hanya dalam beberapa jam. Mungkin dia akan melupakan saya sehari setelah pertemuan kami. Mungkin kami tak akan berjumpa lagi setelah ini.

Apapun itu, saya bersyukur sudah bertemu dengannya – bocah kecil yang telah mengajari saya lebih banyak dari yang dia sadari.

Namanya Dave. Umurnya 2 tahun. Dia sama cerianya dengan anak-anak lain sebayanya. Ketika dia merosot turun dari gendongan dan menjejak bumi dengan tapak-tapak mungil bersalut senyum ceria, tak akan ada yang menduga bahwa dia tuli sejak lahir.

Saturday, February 16, 2008

Membeli Senyuman

Benda yang paling disukai Alex –putra sahabat saya yang berumur 2,5 tahun- adalah buku. Bukan mainan, bukan teddy bear, bukan bola warna-warni yang bisa bernyanyi kalau dipantulkan, bukan balon gas yang bisa membubung tinggi, juga bukan tenda kecil yang dibelikan uncle-nya sebagai hadiah Natal.

Ingin memberi hadiah untuk Alex? Ingin mencuri hatinya? Ingin membawakan oleh-oleh?

Gampang. Buku lah jawabannya. Nggak perlu yang mahal. Wong buku fotokopian yang minim gambar aja dia suka.

*Tentang gimana ceritanya Alex bisa menyukai fotokopian yang hitam-putih dan nggak jelas gambarnya itu, saya juga heran.*

Cara paling mudah untuk mendiamkan Alex saat sedang rewel? Ajak saja dia membaca. Jangan lupa tambahkan mimik wajah lucu. Dia akan terbahak-bahak sampai lupa pada rengekannya.

Cara paling mudah menidurkan Alex? Berikan sebuah buku. Dia akan memeluknya sampai tertidur (walau kadang-kadang tetap harus digendong atau dikelonin juga sih, hehehe).

Saya sangat suka memberikan hadiah buku untuk Alex. Pertama, saya paling kagok dalam pilih-memilih kado. Biasanya, jelang hari ulang tahun sahabat-sahabat saya, saya akan mengirimi mereka SMS berisi pertanyaan: Elo mau kado apa? Selanjutnya barulah saya bergerilya mencari benda yang disebutkan.

Pernah, saking bingungnya, saya memberi hadiah ulang tahun berupa voucher handphone kepada seorang sahabat yang sedang berada di luar kota. Sangat biasa dan tidak berkesan, tapi yang ada di otak saya waktu itu hanya: yang penting kepake dan berguna.

Karena Alex sangat suka buku, pilihan saya dalam mencari hadiah jadi sangat terarah. Nggak perlu susah-susah mikir beli apa, saya tinggal mampir ke Gramedia, langsung menuju rak yang khusus men-display buku anak-anak, memilih-milih sebentar (pakai feeling), bawa ke kasir, dan beres.

Alasan kedua saya hobi membelikan si kecil ini buku (sampai saya dijuluki supplier oleh ibunya Alex), karena... yah, buku adalah sarana belajar yang paling efektif dari masa ke masa, toh? Membeli buku itu artinya berinvestasi. Yea, yea... klise syekaleee. Tapi bener, kan? *wink*

Hampir seminggu ini Alex rewel karena penyakit musiman pancaroba (eh, sekarang masih pancaroba nggak sih, hitungannya?): radang tenggorokan dan pilek. Booo... kasihan banget. Anak-anak kecil adalah makhluk yang sangat menderita kalau sedang sakit. Mata berkaca-kaca (meski tidak menangis) dan tidak sebening biasanya, sorotnya redup, hidung terus mengeluarkan ingus sampai lecet karena keseringan diseka, suara bindeng, badan lemas.

Alhasil, beberapa hari ini Alex jadi sangat cranky. Lebih-lebih karena sepupunya dari Jawa Tengah (yang sedang berkunjung ke Jakarta dan memiliki hubungan love-hate dengan bocah ini hingga sering banget berantem) tidak habis-habisnya melakukan hal-hal yang memicu emosi jiwa. Yah... namanya juga anak-anak. Sebenarnya tindakan menjengkelkan itu bisa dimaklumi, tapi tidak bagi Alex yang sedang nggak enak body dan jadi super-sensitif.

Puncaknya adalah 2 hari lalu. Alex terus merengek. Tubuhnya panas, wajahnya sayu dan tidak henti-hentinya rewel. Batuk-pileknya semakin menjadi-jadi. Karena dia anak yang aktif, dia tidak betah diam di kamar. Tapi untuk bermain seperti biasa juga tidak mungkin.

Sore itu, saya masuk ke rumah Alex dan menemukannya sedang terbaring lemas di sofa, dipakaikan baju tidur oleh Ncus-nya sambil terus merengek. Matanya basah dan sembab karena kebanyakan menangis. Ingus berlelehan dari hidungnya dan dia terus terbatuk.

Saya meraba keningnya. Hangat.

Tangisan Alex semakin keras ketika si Ncus membedaki tubuhnya. Tapi dia tidak meraung atau menjerit -- sepertinya sudah kehabisan tenaga.

Saya mengeluarkan sebuah buku dari balik punggung. Buku bersampul merah yang masih dibungkus plastik dan berjudul ‘Spot Goes to School’. Saya menggoyang-goyangkan buku itu di depan wajahnya.

Benar saja. Sepasang mata bulatnya segera terfokus pada cover yang eye-catching. Dalam hitungan detik, tangisnya pupus.

Saya menyerahkan buku itu ke dalam genggaman tangan-tangan mungilnya.

“Dibukanya besok pagi aja, ya. Sekarang Alex bobo dulu,” pesan saya. Dia mengangguk sambil memeluk buku barunya erat-erat.

Ncus sudah selesai memakaikan baju. Si kecil Alex kini siap tidur, ditemani buku yang masih bau toko.

Ia bersandar dengan tenang di bahu Ncus, mata sembabnya berbinar-binar memperhatikan buku baru dalam genggaman. Itulah binar pertama yang saya lihat sejak menyambangi rumahnya pagi itu.

Bibir mungilnya membuka, menampilkan sederet gigi susu yang belum sempurna.

Alex tersenyum.

Saya sudah terbiasa memberi Alex buku, sampai dijuluki ‘supplier’ oleh ibunya. Saya sudah sangat terbiasa menyambangi toko buku, langsung menuju rak yang memajang buku anak-anak, memilih-milih sebentar, dan membawanya ke kasir. Saya selalu suka mencium harum buku baru dan menyerahkannya ke pelukan Alex.

Hari ini berbeda.

Saya tidak mengeluarkan uang untuk membeli buku. Saya membeli sebuah senyuman.

Dan di tas saya masih tersimpan sebuah buku berjudul ‘Zara the Elephant’.

Monday, February 11, 2008

Pengungsi ;-)

(+) “Bo, elo salah sebut..”
(-) “Apanya?”
(+) “Itu.. ‘Gong Xi’ itu mestinya dibaca ‘Kung Si’, bukannya ‘Kiong Hi’.”
(-) “Ha? Masa sih?”
(+) “Serius. Katanya itu yang betul.”
(-) “Ohh…”
(+) “…”
(-) “Kita emang bener-bener pengungsi, ya?”
(+) “…”

Yup, Imlek tahun ini, saya dan sepupu betul-betul menjadi pengungsi – secara pelafalan aksara Cina maupun harafiah ;-D

Sejak Jum’at lalu saya belum pulang ke rumah, karena banjir setinggi pinggang (sekarang air sudah mulai surut, tapi saya dan keluarga masih mengungsi). Tapi itu masih belum apa-apa –or at least I think so—karena kami masih sempat menyelamatkan barang-barang berharga ke lantai dua. Rumah sepupu saya yang berlantai satu digenangi air setinggi dada dan hampir semua barang berharganya tidak bisa diselamatkan.

Moral of the story?

Nggak ada.

Saya cuma mau titip pesan untuk bapak berkumis baplang yang pernah menggembar-gemborkan janji akan ‘Jakarta yang lebih baik’: Bangsa kita memang kuat, Pak, dan soal ketahanan mental boleh lah diadu dengan bangsa-bangsa lain yang tidak pernah ngerasain banjir setinggi dada sampai kehilangan rumah dan barang berharga, tapi mbok yaaa ooo...

Dan satu lagi, Pak, konon nih yaaa, katanya bakal segera dibangun pusat perbelanjaan (lagi) di salah satu area resapan air di Jakarta Utara. Apa betul?

Mudah-mudahan itu cuma rumor ya, Pak :-) Tapi kalau sampai kejadian, sepertinya Perda yang mewajibkan SETIAP rumah di daerah rawan banjir Ibukota memiliki MINIMAL SATU PERAHU KARET sungguh layak dipertimbangkan... :-)

Saturday, February 2, 2008

Reno dan Bella

“Stop di sini, Pak.”

Taksi berwarna biru metalik yang kunaiki berhenti di depan rumah besar bercat putih. Bangunan yang sangat familiar dan kurindukan selama setahun terakhir.

Pak Marno bergegas membukakan pintu pagar untukku. Senyum gembira merekah di wajahnya. “Non Delia. Pulang, Non?” sapanya ramah.

“Iya, Pak.” Aku balas tersenyum dan membiarkan koper-koperku diambil alih oleh tukang kebun berwajah sumringah itu.

Aku meraih handel pintu utama dan baru akan membukanya, ketika telingaku menangkap suara-suara asing di balik pintu.

… itu?

Aku menoleh, baru hendak mengajukan pertanyaan kepada Pak Marno ketika pintu membuka, menampakkan seraut wajah yang sangat kurindukan.

Mama tersenyum lebar dan mengembangkan kedua tangannya. Aku memeluk Mama erat-erat sementara beliau mengusap kepalaku penuh sayang. Akhirnya aku bisa mencium aroma tubuh Mama lagi. Aroma yang harum dan selalu ngangenin.

Tapi Mama tidak sendirian menyambutku. Di belakangnya ada satu …tidak, dua sosok yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku mengerutkan kening. Mama bergeser. Sosok-sosok itu melangkah maju dan menatapku dengan ekspresi polos dan penuh semangat. Mata mereka membulat, seakan-akan mempelajariku dengan seksama. Aku balas menatap mereka, bergantian.

“Kenalin, Del. Ini Reno. Umurnya 3 tahun,” Mama mengusap kepala salah satu dari mereka. “Yang ini Bella. Dia baru 2 tahun.”

Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Papa muncul dan langsung memelukku erat-erat. “Welcome home, Sayang…” ia menjauhkanku sedikit agar bisa mengamati wajahku, “wah, putri Papa udah gede!”

Aku nyengir. “Delia udah 23, Pa.”

Aku menangkap kerling jenaka di wajah Papa dan tertawa. Kerlingan usil itu berarti: ‘You-will-always-be-my-little-girl’.

Reno menyeruak di antara aku dan Papa. Senyumku segera menghilang. Mama-Papa berhutang penjelasan padaku.

Melihat perubahan pada wajahku, Papa segera berkata, “Tentunya kamu sudah kenalan dengan Reno dan Bella. Mulai sekarang mereka bagian dari keluarga kita, Delia.”

“Sejak kapan?” aku tidak bermaksud begitu, namun suara yang keluar dari tenggorokanku terdengar dingin.

“Sejak Oma Rheine meninggal bulan lalu.” Papa menjawab seraya menatapku penuh arti.

Oma Rheine adalah wanita tua yang tinggal tidak jauh dari rumahku, hanya berselang beberapa blok dari sini. Wanita tua yang sedih dan merana, menurutku, karena menantu dan anak satu-satunya tewas dalam kecelakaan setahun lalu. Belum termasuk penyakit diabetesnya yang perlu mendapat perawatan serius dan kondisi keuangannya yang tidak menentu. Untuk alasan yang tidak kuketahui, Papa menyayangi Oma Rheine seperti ibu kandungnya sendiri dan sering sekali menjenguk wanita itu, sekedar untuk bercakap-cakap atau memberi bantuan materi kepadanya.

Aku menghela nafas. Papa menyayangi Oma Rheine. Kasihan padanya. OK. Tapi, masa sih sampai segitunya?

“Reno dan Bella tidak punya siapa-siapa lagi, Del.” Aku mengenali ketegasan yang tersimpan di balik intonasi lembut itu. Aku memandang Papa. Tarikan di wajahnya tidak memberiku pilihan selain menerima kedua monster cilik itu.

Great.

Well, mungkin aku berlebihan, menyebut Reno dan Bella monster. Aku bahkan belum kenal mereka. Tapi bukan salahku kalau sejak awal aku membenci mereka. Papa dan Mama harusnya tahu kalau aku tidak akan menyukai keputusan itu.

Pikiranku buyar ketika Papa mendaratkan ciuman di keningku dan membelai rambutku dengan sayang. Dia selalu tahu bagaimana membuatku luluh. Kurasa dalam hal itu Papa memang benar: I will always be his little girl.

Aku tersenyum dan memeluknya. Mata Papa bersinar-sinar di balik kacamatanya kala ia merangkulku menuju ruang makan. “Sekarang kamu harus cerita. How’s Chicago? Om Rianto sama Tante Sarah? Semua baik-baik?”

* * *

Now I officially hate those little monsters.

Liburan yang seharusnya indah rusak total gara-gara dua monster itu: Reno dan Bella.

Tadinya aku membayangkan hari-hari yang tenang, nonton DVD seharian sambil ngemil segala makanan di kulkas, bangun siang, bersantai di rumah, dan sebagainya.

Santai apanya!

Setiap pagi, waktu aku masih lelap, Reno akan membuat keributan di depan kamar sampai aku terbangun dan membukakan pintu. Setelah itu dia akan melenggang masuk dengan santai seolah-olah kamar ini miliknya. Kalau aku nekat tidak membuka pintu, dia akan terus ribut. Di dalam kamar Reno hanya mondar-mandir sambil mengambili barang-barang yang tergeletak di lantai (dia tidak bisa menjangkau barang-barang di atas meja rias karena terlalu tinggi baginya – syukurlah!) seperti slippers atau sisir yang terjatuh, dan memainkannya dengan berisik. Damn.

Pernah aku lupa mengunci pintu kamar, dan terbangun jam 5 pagi dengan slippers di samping bantal. Reno mengambilnya, menjatuhkannya di sebelah kepalaku dan menarik bed cover sampai aku nyaris menjerit. Aku sudah siap meneriakinya karena jengkel, tapi Mama buru-buru mencegah, “Reno nggak bermaksud mengganggu kamu, Del. Dia hanya ingin main sama kamu. Salah sendiri kamu tidur nggak ngunci-ngunci pintu.”

Yeah right. Now I’m the bad guy. Aku menarik bed cover sampai menutupi kepala, uring-uringan. Mama dan Papa membuat keputusan sepihak dengan mengambil Reno dan Bella tanpa memberitahuku sama sekali, dan sekarang mereka mengharapkan aku berbaik-baik pada kedua makhluk itu, padahal mereka tahu aku sangat benci…

…ah, sudahlah. Percuma.

* * *

Aku menaikkan kaki ke atas sofa dan sedang bersiap menggigit sandwich ketika Bella menghampiriku dan menatapku dengan matanya yang bulat besar, menampilkan ekspresi minta dikasihani. Dasar perayu!

Aku mengunyah sarapanku dengan cuek, tidak mempedulikannya. Bella terus menatapku tanpa bergerak sama sekali. Matanya tidak lepas dari sandwich di tanganku. Dasar rakus. Padahal dia sudah sarapan!

Aku membawa piringku ke dapur. Bella membuntutiku, tapi aku menutup pintu keras-keras tepat di depan wajahnya. Sukurin!

Sorenya, kejadian yang sama terulang lagi. Aku baru membuka lapisan alumunium pembungkus cokelat –bahkan belum sempat menggigitnya—ketika Bella muncul di depanku, lagi-lagi dengan ekspresi minta-mintanya.

Please deh.

“Nggak ada cokelat buat kamu,” ucapku ketus. “Pergi sana, main aja sama Reno!” aku membuat gerakan mengusir dengan tanganku, tapi Bella diam saja.

Aku menggigit cokelat. Bella mendekatiku. Matanya tak lepas dari cokelat di genggamanku.

“Eh, bandel! Disuruh pergi malah ngedeket. Sana!” aku memelototinya.

Kalau sebelumnya aku berpikir bahwa Reno-lah yang paling nakal di antara mereka berdua, maka Bella adalah biangnya keras kepala. Dia sama sekali tidak bergeming mendengar omelanku.

Aku berjalan ke dispenser, mengambil segelas air. Bella mengikutiku kemana pun aku melangkah, seperti bayang-bayang. Aku menghempaskan diri ke sofa. Bella mematung, tapi dalam sekejap dia sudah berada di sebelahku.

That’s it. Enough is enough.

Aku berdiri, sudah siap memukul dan melontarkan sumpah serapah ketika pandangan kami bertemu. Kali ini bukan cokelat. Bella memandangiku dengan kedua matanya yang besar.

Ia menatapiku tanpa berkedip, dengan ekspresi polos yang selalu ditampilkannya sejak hari pertama kami bertemu. Raut yang tidak pernah berubah: lugu dan minta dikasihani.

Aku melempar cokelat ke atas meja, menunggu reaksinya. Bella hanya memandang cokelat itu sekilas, lalu kembali menatapiku. Aku diam mematung. Mendadak sebersit rasa tidak tega melintas di hatiku. Bagaimana pun, seperti kata Papa, dia sebatang kara sekarang. Mungkin aku harus lebih lunak kepadanya.

“Sudahlah.” kataku ketus. “Tapi kamu tetap nggak boleh makan cokelat. Makan yang lain aja, OK?”

Dengan patuh Bella berjalan mengikutiku ke kulkas.

* * *

“Hei! Sejak kapan elo deket sama Reno dan Bella?”

Aku tidak mengacuhkan komentar usil Fey –adik semata wayangku-- yang melintas di ruang tamu dengan kaus penuh keringat. Aku menoleh sekilas, lalu kembali berfokus pada talkshow di TV. Reno dan Bella duduk di sampingku, ikut mencerna acara tersebut dengan raut sok serius.

“Tumben, Mbak. Biasanya kan elo paling anti sa…”

“Shut up,” aku melempar bantal sofa ke arah Fey. “Mendingan lo mandi. Baunya sampe ke sini, tuh.”

“Don’t change the subject,” goda Fey si mulut jahil. “Sejak kapan lo jadi Nona Penyayang gini?”

“People change.” Aku bergumam, setengah terkejut karena jawaban yang kaluar dari bibirku.

People change?

Maybe yes. Aku tidak bisa menahan diri untuk melirik Reno dan Bella yang memandangi layar TV tanpa berkedip. Senyumku mengembang perlahan.

Entah bagaimana awalnya, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba aku tidak terlalu merasa keberatan lagi dengan kehadiran dua pengganggu itu. Malah sebenarnya, aku agak senang mereka ada di sini, seperti sekarang. Aku senang ketika mereka mendekatiku, untuk meminta makananku atau sekedar minta disayang. Aku senang ketika mereka menatapku dengan wajah polos yang menggemaskan. Aku senang ketika mereka masuk ke kamarku setiap pagi dan mengajakku bermain. Aku bahkan tidak ragu membelai mereka dengan sayang. Aku… jatuh hati.

Ya, aku jatuh hati. Pada mereka yang kubenci. Padahal aku baru pulang 4 hari.

“Ati-ati, Mbak,” lagi-lagi Fey muncul dengan gaya selebornya yang khas ketika aku asyik mengelus kepala Bella, “ntar kalo udah balik ke Chicago lo bisa kangen berat sama mereka.”

Aku tidak menjawab. Sepertinya sih iya. Aku pasti akan kangen. Tapi itu kan masih lama. Masih ada 3 minggu sebelum aku kembali ke sana.

“Delia, Fey, ayo makan dulu!” Mama berseru. “Makanannya udah siap! Ayo, nanti keburu dingin nggak enak, lho!”

Aku dan Fey saling bertukar pandang, menggeleng-geleng heran. Mama selalu lupa bahwa anak-anaknya tidak berumur 7 tahun lagi.

Aku bangkit dari sofa dan berjalan ke ruang makan. Fey menduluiku, setengah berlari. Aku menoleh ke arah Reno dan Bella yang masih asyik di depan TV.

“Reno, Bella, sini!” seruku sambil terus berjalan.

Dua anjing golden retriever melompat turun dari sofa dan mengibaskan ekor dengan gembira. Sinar matahari yang menerobos dari jendela menciptakan siluet indah saat Reno dan Bella mengikutiku dengan lincah sambil berebut menjilatiku.