Monday, October 27, 2008

Belajar dari Teletubbies

Satu senyuman. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Pernah dengar bahwa pelukan adalah nutrisi bagi jiwa?

Belum pernah?

Sekarang saya bilang lagi: pelukan adalah nutrisi jiwa.

Iya, benar.

Tidak percaya? Coba saja.

Kamu pikir, apa sebabnya Tinky-Winky, Dipsy, Lala, dan Poo selalu tersenyum?

Karena meski terhalang perut gendut dan kepala sebesar baskom, mereka tak pernah alpa berpelukan.

Karena perbedaan warna tak membuat mereka absen menyayangi.

Karena ukuran tak menghalangi mereka untuk berbagi cinta, meski ditontoni orang sejagat raya.

Pelukan adalah nutrisi jiwa. Suplemen hati yang tak perlu dibeli di toko obat.

Tidak percaya?

Kamu pikir, apa sebabnya Teletubbies tak pernah menangis?

Ah, sekarang kamu bilang saya konyol. Teletubbies hanya tokoh fiksi anak-anak.

Tapi, toh mereka tersenyum.

:-)

Jadi, ayo, ayo, belajar dari Teletubbies.

Satu senyuman setiap hari. Satu sentuhan. Satu pelukan.

Cairkan penat di hati. Semaikan cinta. Dan rayakan kehidupan.

7 comments:

Andri Journal said...

Bukan masalah sentuhan atau pelukan yg membuat Poo dkk tersenyum mbak..Tp karena mereka memakai topeng yg kesannya selalu tersenyum.

Pelajarannya adalah,mesti hati kita menangis,kita harus tetap tersenyum..biar bisa berpelukaaaan.. :D

Vendy said...

dari sisi ilmiah sendiri pun membenarkan, kalau pelukan bisa menjadi obat yang paling manjur.

monggo dilink :D

Jenny Jusuf said...

Andri: :-)

Vendy: Ember. Gue sampe riset kecil2an gituh saking tertariknya ;-D

Johan Tampubolon said...

Saya lupa kapan, namun, saat itu, saat penghitung komentar masih menunjukkan jumlah kosong, saya berkeinginan untuk menari bersama aksara dan berbagi sekeping-kecil rasa.
Namun, entah kenapa tangan saya berhenti di tombol publish dan menghapus semua kata-kata yang sudah diketik. Saat itu saya merasa kata-kata saya hambar dan kurang bermakna. Karena saya terlalu memaksakan diri ingin berkomentar. Karena itu saya mundur sejenak, dan mulai menjentik lagi hari ini.

Senyum dan pelukan teletubbies? Dualitas!
Satu sisi saya merasakan pantulan depresi sekelompok anak-anak yang terkurung dalam utopia sempit-menghimpit. Sesak yang disengaja.

Namun, sisi lain, -yang hadir bersamaan, tanpa ada sekat waktu yang membedakan seperti dalam kasus favouritism mengijinkan saya tersenyum dan menyadari sentuhan benang merah sinkronisitas lagi.
Fokus pelajaran adalah mata dan reseptor dan bukan media tampak-nya.
Hidup kita adalah bagaimana kita mengajaknya bermimpi. Mimpikan mimpi buruk yang kelam dan itulah yang seterusnya kita lihat, sebanyak apapun kesempatan tersenyum lewat, semuanya akan kita lihat pahit; konspirasi (walaupun tingkat akar-rumput); sinis; dan label-label lainnya.
Ajak ia bermimpi indah dan semuanya termaklumi; masuk dalam batas kewajaran; menyinggung sebab-akibat; dan merupakan bagian dari jalur panjang benang merah sinkronisitas.

Namun, terkadang, kebahagiaan bukan berarti tertawa sepanjang hari.. (Kita masih hidup di bumi, ingat?). Kebahagiaan tidak selamanya terekspresikan.

Tangis, kekecewaan, senyum, dan tawa-ria merupakan bagian dari pelajaran hidup, yang kurikulumnya bukan kita yang menentukan.
Dan menyadarinya, termasuk salah satu kompetensi dasar ;D ahahaha..

--Btw, risetnya udah gimana??--
--(another)Btw, it's nice here. Even though i don't have blog link yet in my blog, i guess you should be in my bookmark, wajib-kunjung dalam perjalanan blog-walking.. haha.. Salam kenal, sista..--

Jenny Jusuf said...

le ciel est gris:
"Hidup kita adalah bagaimana kita mengajaknya bermimpi."

Bagi saya, hidup adalah mimpi itu sendiri. Dan saya memilih untuk menjalaninya se-riil mungkin, dengan tetap mengingat bahwa saya sedang bermimpi. :-)

Anonymous said...

gue lupa ada satu situs gerakan memeluk strangers gituh... hehehe mustinya gue googling dulu sebelom nulis komen ini yah.

Kizsee Kiseki said...

wah ..
post-nya keren banget !!
sukses buat mbak jenny ..
lam kenal yya mbak ..
[eh, prasaan da kenalan pas dimilis mbak arie ..]
hhe,