Salah satu aktivitas favorit saya di kos-kosan tercinta adalah naik ke lantai dua selepas tengah malam, menghabiskan waktu di sana, sekadar menikmati keheningan dan udara sejuk. Kadang ditemani suara kipas dari kamar tetangga yang berdengung seperti nyamuk, atau gemersik daun yang diterpa angin.
Saya selalu suka menumpukan siku di pagar teras, hanya diam, tanpa melakukan apa-apa. Berserah pada irama alam. Merasakan udara malam membelai wajah, leher, dan lengan, yang terkadang berhembus keras, membuat kedinginan sampai ke dalam-dalam.
Biasanya, saya akan memejamkan mata. Membiarkan angin menerpa sekujur badan, terus-menerus. Saat-saat seperti ini selalu saya lewatkan tanpa banyak berpikir, karena inilah waktu dimana saya membiarkan otak beristirahat dan berdiam – menikmati kesunyian yang panjang. Anehnya, saat tubuh menggigil inilah, saya merasa begitu dekat dengan Sang Pencipta. Ia hadir, dan sangat nyata. Lebih nyata dari dengung baling-baling kipas. Lebih nyata dari daun-daun yang bergoyang ribut. Lebih nyata dari alam realitas dimana kedua kaki saya berpijak.
Hembusan angin yang menerpa tubuh selalu membuat saya merasa dipeluk. Hangat, meski ia dingin. Nyaman, meski ia menggigit sampai ke tulang. Semua adalah isyarat alam yang tak pernah alpa mengingatkan bahwa Ia ada.
Beberapa minggu lalu, ketika sedang menjalankan ritual nongkrong di loteng, bunyi guruh dari kejauhan mengejutkan saya. Saya mendongak, mencari-cari. Tidak berapa lama, muncul kerlip kecil di bentangan hitam langit. Rupanya sebuah pesawat.
Menyaksikannya bergerak jauh di atas, entah bagaimana mengingatkan saya pada bintang jatuh. Yang konon bisa mengabulkan permohonan apabila diucapkan tepat sebelum ia membentur bumi.
Bisakah saya berpura-pura, menganggap pesawat itu bintang jatuh, dan menyebutkan sebuah permohonan? Kali-kali saja bisa. Barangkali akan dianggap sama sah oleh Sang Penguasa Semesta. Poin lain yang patut diperhitungkan, tidak seperti bintang jatuh yang berkelebat cepat, pesawat terbang bergerak lambat, sehingga kita punya cukup waktu untuk memilih impian terbaik yang ingin diwujudkan.
Sambil mengamati cahaya yang terus bergerak, pikiran saya berkejaran dengan waktu.
Permohonan apa? Apa yang paling saya inginkan? Apa yang ingin saya minta? Cepat, cepat, sebentar lagi ia menghilang di balik atap.
Pemikiran pertama segera singgah di benak: saya ingin bahagia.
Saya tersenyum. Sepintas.
Tentu saja. Siapa yang tidak mau bahagia?
Saya menggigit bibir, antara menahan dingin akibat angin yang tiba-tiba bertiup kencang, dan menimbang-nimbang (calon) permohonan, yang tiba-tiba terasa tidak pas.
Benarkah itu yang paling saya inginkan saat ini? Bahagia?
Bunyi guruh semakin samar. Sebentar lagi kerlip lampu itu akan hilang ditelan atap rumah tetangga dan pucuk-pucuk daun.
Saya masih mendongak, keras kepala menumpukan harapan atas pesawat terbang entah tujuan mana, dari maskapai mana, dan apa namanya; menyamakannya dengan bintang jatuh yang barangkali cuma lelucon alam paling menggelikan abad ini.
Senyum saya kembali terkembang. Kali ini sebabnya jelas.
Permohonan itu tak rumit. Sederhana saja.
Saya ingin hidup. Seutuhnya.
*****
Hal pertama yang terlintas di benak ketika saya menoleh ke belakang untuk menelusuri apa yang telah saya lalui dan alami selama setahun terakhir, dapat diwakili oleh satu kata: perpisahan.
Pertengahan tahun ini saya lalui nyaris dengan menghabiskan setumpuk tisu setiap hari. Perpisahan tidak pernah menjadi hal yang lazim dalam kamus saya, dan kini saya dipaksa berhadapan dengan sesuatu yang paling saya hindari.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk diakhiri dengan perpisahan. Ada banyak luka yang mengiringi bulan-bulan terakhir kebersamaan kami, sebelum kami betul-betul berpisah. Kata orang, kebanyakan hal yang kita takuti tidak pernah betul-betul menjadi kenyataan. Namun, saya berhadapan dengan ketakutan yang akhirnya memang menjadi kenyataan.
Saya masih ingat percakapan tigapuluh detik yang kami lakukan –salah satu percakapan terpanjang via telepon dalam enam bulan terakhir— dimana setelah tombol ‘end’ ditekan, saya duduk di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Saat itu, saya merasa rela memberikan apa saja yang saya miliki –literally, everything—untuk bisa bersamanya lagi. Saya tidak peduli dengan masa depan. Saya tidak peduli dengan sejuta kesempatan yang terbentang di hadapan. Saya tidak peduli dengan orang-orang baru yang bisa saya temui. Saya tidak peduli dengan kehidupan yang bisa saya jelang selama hayat masih dikandung badan. Apa pun... asalkan bisa kembali bersama. Sayangnya, waktu untuk berpisah memang sudah tiba. Dan segala upaya saya untuk mengulurnya menjadi percuma.
Saya ingat, beberapa minggu sebelum perpisahan itu benar-benar terjadi, mendadak saya menangis sesenggukan tanpa tahu sebabnya. Apa, dan kenapa. Saya hanya duduk dan airmata terus mengalir. Pikiran saya berkata, “Kenapa? Ada apa?” dan menyerukan beratus pertanyaan lain. Hati saya, sebaliknya, berbisik lirih: “Ini saatnya.” Kendati saya berulang kali menangguhkan keputusan dan mengabaikan suara kecil itu, saya tahu, hati saya tahu.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Ada masa-masa dimana saya begitu putus asa dan ingin menghilang dari dunia. Ada waktu-waktu dimana saya ingin mengubur diri di bawah selimut dan tidak bangun lagi. Ada saat-saat dimana saya hanya bisa duduk meringkuk, memeluk lutut sementara airmata tidak berhenti bergulir. Menyedihkan, tapi itulah yang terjadi. Dan, ya, ada masa-masa dimana saya begitu ingin berteriak keras-keras, menggugat-Nya atas segala hal yang tidak bisa saya terima.
Namun, lambat laun, saya tersadar. Bukan perpisahan yang tidak bisa saya terima, melainkan kenyataan bahwa inilah yang menjadi porsi saya dalam hidup. Inilah jatah yang digariskan untuk saya. Inilah pil pahit yang menjadi bagian saya, dan di atas segalanya, sayalah yang harus menelannya. Saya, yang mengagungkan kesatuan dan mendewakan ikatan janji, kini menghadapi kenyataan dimana waktu untuk berpisah telah tiba. Dan sekuat apa pun saya memberontak –satu setengah tahun hidup dalam penyangkalan bukan hal yang mudah— selama apa pun saya mencoba bertahan, toh waktu juga yang akhirnya menentukan tanggal dan hari perpisahan itu. Sekeras apa pun saya mencoba menawar.
Saya bahkan tidak tahu kapan persisnya titik penyadaran itu tiba. Yang saya tahu hanya, saya berusaha untuk tetap bertahan, hari demi hari, dengan segala kekuatan yang ada. Dengan semangat yang tinggal sisa-sisa. Dengan harapan yang cuma sekelumit, karena saya tidak lagi tahu apa yang harus saya genggam. Saya hanya mencoba melangkah, setapak demi setapak. Tanpa tahu apa yang akan saya temui di depan.
Kini, berbulan-bulan setelahnya, saya memberanikan diri untuk menengok ke belakang, dan tercengang mendapati luka itu berangsur sembuh. Bekasnya tentu saja masih ada, dan tidak sedap untuk dipandang, namun ia berangsur sembuh. Dan saya larut dalam haru ketika menyadari bahwa semua proses yang saya lalui –segala rasa yang mengiringi saya dalam perjalanan ini: pahit, manis, kegagalan, keberhasilan, kekecewaan, kebanggaan, kesedihan, kebahagiaan, tawa, dan tangis— telah membuahkan begitu banyak pelajaran berharga yang membawa saya ke tempat dimana saya berada sekarang. Di sini. Di masa ini.
Tahun 2008 adalah semester ke-24 saya di Universitas Kehidupan. Di semester ini, saya belajar banyak. Saya belajar berpisah. Saya belajar menerima. Saya belajar memaafkan. Saya belajar melepaskan. Saya belajar beradaptasi dengan perubahan. Saya belajar berproses. Saya belajar mengalir. Dan saya belajar hidup.
Hari ini, ketika melakukan kilas balik tahun 2008, rasanya tidak berlebihan kalau saya berkata, kesan yang paling membekas bagi saya bukan lagi seberapa besar pencapaian yang saya raih maupun prestasi yang saya ukir. Bukan berapa banyak hal yang bisa saya kumpulkan, genggam erat, dan labeli ‘Kesuksesan’. Bukan juga berapa hubungan yang berhasil saya pertahankan, berapa orang yang sanggup saya senangkan, berapa orang yang menjadi sahabat saya, dan sebagainya.
Hari ini, yang paling berarti bagi saya bukan apa yang saya dapatkan, melainkan apa yang saya lepaskan. Karena dari apa yang saya lepaskan itulah, saya belajar hidup.
:-)
Sebelum menjelang hari baru di detik-detik terakhir penghujung tahun, ijinkan saya berdoa bagi kita semua, dan seluruh makhluk di muka bumi. Kiranya kebahagiaan menjelma menjadi bunga yang tertabur di sepanjang jalan ketika kita sama-sama melangkah dalam lingkaran tak berujung ini. Kiranya kebahagiaan bukan hanya menjadi milik segelintir orang, melainkan setiap makhluk, karena, mengutip perkataan seorang sastrawan, tidak ada yang tidak ingin bahagia.
Kendati begitu, karena hidup yang senantiasa berubah ini selalu terdiri dari dua sisi, dan sekeras apa pun kita berupaya mengkristalkan kebahagiaan tak pelak kita tetap akan menjumpai sisi sebaliknya, doa saya yang terakhir adalah: semoga kita akan selalu hidup. Seutuhnya.
Untuk kalian semua yang telah menyertai saya dalam perjalanan ini, terutama kepada Sang Pemberi Hidup yang tak pernah meluputkan tangan-Nya dan senantiasa hadir, saya ucapkan terima kasih dari hati yang terdalam. Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih telah ada.
10 comments:
karena hidup itu indah,aku menangis sepuas puasnya .. (kutipan sajak Sapardi Djoko Damono)
Life's like the piano, the white keys represent happiness,and the blacks show sadness.. but as u go thru life's journey,remember the black keys make music too
eh ya bo,
24 semester brarti 12 taun dong... secara satu semester enam bulan...
hihih..
gw jg thn 2008 mngnal perpisahan!sakit y..tp skrg dah baekan kan???
hehe!
Akhir thn 2008 ini, utk yg kesekian kalinya aku berpisah...mdh2an in perpisahan terakhirku..stlah berkali-kali kau menusukku.....
hm,, terima kasih bisa jadi kado spesial ya mbak?
eniwey,, met taun baru juga yag mbak,,
maulizious.multiply.com
for me, you are real ;)
mrpsycho: ah, ya.. ilustrasi tentang piano itu dulu gw suka banget, tapi trus kelupaan. Thank you for sharing!
okke: dumdidumdidum.. syalalalalaaa... *males ngedit*
dhesha: udah dooong ;-)
anonymous: 'kau'? :-)
ranna: bisa banget, asal tulus ;-) happy new year!
vendy: itu nomer hape naooon, ga bisa di-SMS?
salam kenal
saya suka tulisannya
semoga tahun ini hidup semakin utuh dan kebahagiaan itu hadir untuk semuanya
aahh..
terkadang kita melepaskan dan meninggalkan dibelakang, sebetulnya untuk mengangkut sesuatu yang lebih besar didepan.
iya ga, Jenceu..?
zinng :-D
Semester ke-24 di Universitas Kehidupan? Umurmu 12 tahun? hehehe.
terkasang saya merasa bersyukur bisa melewati masa-masa gelap tanpa lentera namun masih saja berusaha untuk keluar mencari cahaya 'nyata'.
semakin usia tertambah ternyata saya sadar, raga saya makin tua, tapi pikiran masih saja muda belia nyaris balita -kekanak kanakan...
tapi saya sadar, saya tidak akan pernah jadi utuh, akan selamanya mencari hinga nanti ajal menanti. saat gelar Alm sudah mendesak untuk tampil dalam batu prasasti.
tanpa rasa sakit, saya tidak akan tahu rasa sehat. tanpa luka, saya tidak akan pernah tahu rasanya bahagia. semakin sering jatuh, semakin saya yakin-saya tidak akan mudah rapuh.
salam kenal
agrita
Post a Comment