Friday, July 13, 2007

Resolusi Tengah Tahun: Hidup Bergaya

“Istrinya Pak Fritz meninggal tadi malem.” Lapor seorang teman pada saya, kemarin pagi.

Saya mengurungkan niat mengambil bihun goreng dan balik menatapnya sambil melotot. Tidak mungkin.

Yuliati -istri dari teman saya Fritz Kandori- baru saja bertandang ke komunitas kami sehari sebelumnya, menjenguk putranya yang mengikuti Youth Camp di sana. Kemarin ia masih sehat. Sehar bugar, bahkan bisa mengobrol dengan lepasnya. Informasi itu pasti salah.



Berita itu ternyata benar. Yuli Kandori meninggal pukul 11:30 malam karena pembengkakan lambung. Yuli yang sehari sebelumnya mengobrol dengan kami. Yuli yang kemarin mendatangi komunitas kecil kami untuk menengok anak tercintanya. Yuli yang sama.

Saya menghabiskan bihun goreng dalam diam. Tidak tahu harus berpikir –atau berkomentar- apa. Pagi itu berlalu dalam hening, ketika saya dan teman-teman melanjutkan aktivitas sambil tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Beberapa jam kemudian, saat saya sudah asyik menekuni deretan angka di buku stok, saya mendengar seruan panik seorang rekan.

Berhubung saya mengenalnya sebagai spesies yang sering membesarkan masalah secara hiperbola, saya tidak begitu menaruh perhatian pada teriakannya. Selang beberapa detik, barulah saya engeh dengan apa yang terjadi.

Ruko tetangga, yang hanya berselang beberapa ruko dari kantor saya, sedang dilalap api.

Kebakaran.

Spontan saya lari meninggalkan cubicle saya, sambil tidak lupa membawa tas berisi segala macam benda keramat penunjang hidup *hihi*. Di luar sudah banyak orang berkerumun, menonton kebakaran sambil memacetkan jalan (dan membuat saya mikir, “Ya elahhh, please duehhhh…”).

Tidak lama kemudian, pemadam kebakaran datang. Semburan air yang pertama tidak cukup kuat untuk mencapai lantai 3, tempat api menjalar. Yang berhasil masuk melalui jendela hanya percikan air yang dalam sekejap membuat api berkobar makin hebat.



Perasaan saya? Campur aduk. Rasa cemas menyatu dengan adrenalin yang bergejolak tinggi. Cemas karena takut kantor saya ikut dilalap api. Bersemangat karena peristiwa ini termasuk langka (baca: jarang-jarang bisa menyaksikan kebakaran sedekat itu). Seluruh kantuk dan bosan yang melanda saya sejak menit pertama membuka buku stok langsung hilang.

Api berhasil dipadamkan. Salut untuk petugas pemadam, satpam dan penduduk sekitar yang bahu-membahu dengan sangat kompak (walau awalnya sempat berantem dan semprot-semprotan air. :D).

Setelah kembali ke kantor, saya merenung lama. Boro-boro mau melanjutkan kerjaan, konsentrasi aja susah. Rekan saya bersandar di kursi sambil menghela nafas. Kakinya gemetaran, bow.

“Hari ini kok kejadiannya begitu-begitu amat ya…” Komentarnya. “Pagi-pagi dikasih tahu Yuli meninggal, padahal baru kemarin ngobrol! Trus sekarang kebakaran…”

Saya terdiam. Mendadak, kenyataan itu menghantui saya.

Belum lagi ditambah SMS dari seorang kawan, yang mengabarkan suaminya mengalami kecelakaan motor - disertai imbuhan, “Untung laki gue selamat. Kalo nggak gue bisa gila kali…”

Saya tertegun membaca pesan pendek itu. Betapa kematian dapat menjadi begitu dekat. Tanpa pernah diduga, tanpa pernah disangka.

Saya tidak takut dengan kematian. Yang paling saya takutkan adalah mati tanpa sempat melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup.

Saya tidak takut meninggal. Yang saya takutkan adalah kehilangan nyawa sebelum sempat memberi kontribusi bagi dunia dengan sejumput nafas yang Ia percayakan ini.

Saya tidak ingin pergi tanpa sempat berbagi. Saya tidak ingin pergi sebelum sempat menghasilkan apapun.

Saya tidak sudi mati sebelum sempat memberi kontribusi pada tanah yang saya pijak, dunia yang saya diami, serta orang-orang tempat saya berbagi kehangatan dan belajar menyimak makna hidup.

Dua peristiwa besar yang terjadi berurutan kemarin tiba-tiba menyadarkan saya.

Seperti Jeng yang tulisannya selalu menginspirasi ini, kalau kontrak kerja saya di Bumi sudah habis nanti, saya ingin mati bergaya.

Kalau waktu saya sudah tiba, saya ingin bisa berkata dengan songong pada malaikat maut yang menjemput saya, “Bentar ya. Lagi sibuk nih, nanggung. 5 menit lagi deeeh.” *hehehe*

Karenanya, berdasarkan pemikiran tersebut dan bulan Juli yang baru saja dimulai (yayaya, sudah hampir lewat setengah bulan :D), saya memutuskan untuk membuat Resolusi Tengah Tahun.

(Percayalah, ini terobosan besar. Aslinya saya paling muales disuruh bikin begini-beginian, karena saya beranggapan, resolusi –yang biasanya dibuat pada awal tahun- diciptakan untuk dilanggar begitu memasuki bulan ketiga. Haha!)

Anyway, Resolusi Tengah Tahun saya yang pertama seumur-umur adalah: Hidup Bergaya.

Iya dong, untuk mencapai niat mulia mati bergaya itu, tentunya saya harus mulai dengan hidup bergaya dulu, kan?

(Iya, berani mati itu memang keren, tapi berani hidup jauh lebih keren lagi, karena tidak semua orang sanggup menghadapi realita dan tetap memilih bertahan.)

Lantas, hidup bergaya yang kayak gimana?

Beginilah, saudara-saudaraku, ‘hidup yang bergaya’ versi saya *tsahhh* :

Mengeksplorasi berbagai sisi kehidupan dan mengapresiasi setiap warnanya dengan bijak.
Menikmati setiap proses yang berlangsung dan tidak patah semangat menghadapi airmata dan rasa takut.
Memberi perhatian lebih pada bisikan nurani dan tidak mengabaikannya begitu saja.
Berani memilih, dan berani juga menanggung konsekuensi (dan resiko) dari setiap pilihan.
Belajar membuka mata, hati dan telinga untuk peka terhadap panggilan hati dan tidak berlambat-lambat memenuhinya.

Dan yang tidak kalah penting, mengisi setiap detiknya dengan penuh rasa syukur. :)

Paling tidak, saya percaya itu semua akan bisa membuat saya hidup penuh gaya, sebelum kontak kerja saya dengan dunia ini berakhir. *wink*

Bagaimana dengan kamu? Apa ‘hidup bergaya’ versimu?

(Eh bo, nanya gini kok saya jadi ingat pertanyaan esai waktu ulangan PMP zaman baheula, yang jawabannya bisa berlembar-lembar demi dapat nilai bagus. Hahaha.)

No comments: