Tuesday, July 3, 2007

Cara Mencinta

“Sembilan bulan saya membawa dia di perut ini, Nak. Saya melahirkan dia. Saya sangat tahu dia.” Mata perempuan setengah baya itu membasah saat bibirnya berucap dengan gemetar, menahan tangis. “Saya sangat kenal anak saya… tapi sekarang dia berubah menjadi orang asing.”

Saya mengulurkan tangan untuk menyentuh jemarinya, mencoba menyalurkan kekuatan yang tidak seberapa bila dibanding kesedihannya.

“Sikapnya berubah drastis. Terhadap kami orang tuanya, terhadap adik-adiknya. Kami kehilangan dia…”

“Dulu adik-adiknya sangat betah ngobrol dan bercanda dengannya. Dia teman diskusi yang menyenangkan untuk Ayahnya. Dan dia selalu menjadi kebanggaan saya. Tapi sekarang... semua berubah. Dia menarik diri dari kami, keluarganya. Kami sering sekali bertengkar. Kami bertengkar hampir setiap hari.” Kerut-kerut di sekitar matanya semakin jelas terlihat ketika pelupuk itu membasah lagi. “Semua gara-gara perempuan itu. Dia berubah sejak ada perempuan itu.”

Saya memberanikan diri mengusap punggung tua itu, memberi dukungan.

“Saya sangat benci perempuan itu, Nak. Seandainya mereka tidak pernah ketemu. Seandainya anak saya tidak pernah berkenalan dengan perempuan nggak beres itu…”

Saya mengangguk. “Ibu sudah punya calon lain untuknya.”

Ia membenarkan. “Tapi kalau pun nggak jadi dengan calon Ibu itu, nggak apa-apa juga, Nak. Yang penting jangan sama perempuan yang satu itu. Ibu nggak rela kalau sama dia.”

“Kenapa?”

“Perempuan nggak bener. Ibu nggak suka sama dia. Masa depan anak Ibu pasti hancur kalau nikah sama dia. Sekarang aja udah nggak beres gitu hidupnya…”

Saya menatap sepasang mata itu lekat-lekat. Yang ada di sana adalah pancaran cinta seorang Ibu, sekaligus kesedihan yang mendalam.

“Ibu cuma pengen yang terbaik buat dia, Nak. Ibu nggak rela kalau dia sampai nikah dengan pacarnya, perempuan itu…”

“Tapi Bu…” Saya menjawab hati-hati, sehalus mungkin agar tidak semakin menyakiti perasaannya, ”Kalau memang tekadnya sudah bulat, mungkin akan lebih baik jika Ibu membiarkannya menjalani keputusan itu, dengan segala konsekuensinya. Mungkin akan lebih baik kalau Ibu menerimanya, berbesar hati…”

“Pokoknya Ibu nggak rela.” Kalimat itu memotong ucapan saya dengan tandas, sukses membuat saya terdiam karena kaget. “Saya Ibunya, dan apapun yang terjadi, saya nggak akan merelakan anak saya nikah dengan perempuan itu.”

Saya tidak berkata-kata lagi.

Ia masih menangis. Masih mencurahkan isi hatinya dalam perbincangan panjang yang saya sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. Mata itu masih terus membasah. Lagi dan lagi. Dan saya terus duduk di sana, mengusap punggungnya dan menggenggam jemarinya, mencoba menyalurkan kekuatan yang tidak seberapa.

Seandainya saya bisa mengutarakannya.

Bahwa ada banyak cara untuk mencintai, dan melepaskan adalah salah satunya.

Tapi entahlah. Bagaimanapun, saya bukan seorang Ibu. :)


Dipersembahkan untuk seorang Ibu yang sangat mencintai putra tunggalnya.
Semoga bahagia senantiasa. :)