Sunday, December 17, 2006

Sejenak Memandang...


Gramedia, 15 November 2006

Saya sedang asyik melihat pigura cantik berbentuk kubus di toko buku itu, ketika tawa nyaring menerobos telinga saya. Impuls, saya mengalihkan perhatian, penasaran akan sumber suara yang tak jauh dari punggung saya.

Di situ mereka berdiri. Seorang ayah dengan anak balitanya, di tengah lorong rak alat tulis. Sang ayah mengayun putranya sambil bercanda lepas, menikmati momen itu sepenuhnya. Tawanya merekah dengan cinta yang hanya seorang ayah yang punya.

Wajah si bocah tak terlihat karena kami saling membelakangi. Namun, gelak sang ayah yang murni bahagia dan binar matanya –yang tak peduli tatapan orang-orang yang melintas di lorong yang sama- seketika menghangatkan hati saya.
Si bocah aman dalam lengan-lengan kuat, menikmati setiap ayunan dan keceriaan tulus yang terpancar dari wajah ayahnya.

Semua berlangsung hanya dalam hitungan detik.
Mungkin kedengarannya berlebihan, namun bagi saya, waktu seolah berhenti sejenak untuk tersenyum kepada mereka. Mereka yang dengan gembira berdiri di tengah lorong, tak kuatir akan pandangan aneh orang-orang yang lalu lalang. Mereka bahagia. Mereka memiliki waktu. Dan dunia.

Panggilan Ayah membuat saya beranjak dengan enggan. Sambil melangkah, saya menoleh, ingin mengabadikan momen tersebut dalam memori saya, sekaligus melihat wajah bocah yang kini telah menyandarkan kepala dengan nyaman di pundak sang ayah.

Pandangan kami bertemu.

Bocah itu menderita Down Syndrome.


Untuk 'daddy' Steven, makasih ya buat fotonya yang sangat touching. Alex, semoga cepat besar dan bisa bilang 'Auntie' :)

2 comments:

Anonymous said...

" Sang ayah mengayun putranya sambil bercanda lepas, menikmati momen itu sepenuhnya. Tawanya merekah dengan cinta yang hanya seorang ayah yang punya."

-----
percaya atau tidak, kadang susah lho untuk bisa menikmati ‘momen’ itu sepenuhnya.



“Pandangan kami bertemu.

Bocah itu menderita Down Syndrome.”

ini juga suatu hal yang saya takutin, terutama waktu anak kedua (karena sudah lebih ngerti).
Down syndrome sudah bisa di deteksi dengan USG sewaktu kandungan berumur ... kalo ngga salah 7 bulan, diukur bagian apa dari tulang belakang (atau apa deh)
Waktu itu saya serius mikirin kemungkinan ini. Bukan karena pesimis, tapi karena saya lebih suka untuk hope for the best but prepare for the worst.
Seandainya positif terdeteksi gejala Down Syndrome, saya tanya ke dokter kandungan, berapa persen pasti akan terkena Down syndrome ? Dia bilang hampir 100%
Lalu apa pilihannya ? Cuma 2, diteruskan atau tidak diteruskan
Artinya, kandungan diteruskan sampai lahir atau di abort.
Dulu, saya selalu pikir saya ini cukup tough untuk pilih ‘abort’ daripada melihat anak menderita seumur hidup (alasan yang tidak jujur, alasan sebenarnya sih lebih egois)
Tapi ternyata ketika berhadapan dengan kemungkinan (while waiting the month to come, I was shitting bricks !!) nyata, saya tidak bisa.
Seperti yang saya bilang ke dokter, dua alternatif itu akibatnya seumur hidup, yang pertama seumur hidup mengurus anak yang down syndrome, yang satunya seumur hidup merasa bersalah karena ‘abort’ .
Waktu itu saya mikir panjang pendek, dan seperti biasa ketika kepepet, saya berusaha tahu apa jawaban Gereja.
Well, saya sih sudah tahu jelas apa pandangan Gereja soal aborsi : verboten !
Jujur saja, meskipun saya Katolik, bukan berarti saya akan selalu menuruti apa yang dikatakan Gereja.
Tuhan memberi saya otak untuk berpikir kan ?
Untungnya dalam hal ini saya sependapat dengan Gereja bahwa life is sacred.
Tidak, saya tidak akan aborsi (tepatnya menyarankan istri untuk aborsi) jika ternyata bayi di kandungan positif Down syndrome.
Saya tahu akibatnya, dan anehnya, saya justru lega sekali setelah saya membuat keputusan itu.

Puji Tuhan , anak kedua saya lahir dengan normal.
-rudy - fw190@cbn.net.id

Jenny Jusuf said...

Kadang-kadang yang menentukan kita bakal 'nyesal semumur hidup' atau nggak adalah keputusan kita sendiri, right? :)

Tetangganya sepupu saya, punya sepasang anak kembar yang lucuuuuu banget. Dulu waktu USG dan ketahuan kembar, mereka nyaris diaborsi karena kondisi keuangan keluarga ybs nggak memungkinkan untuk menghidupi 2 orang anak lagi. Utk makan sehari2 aja susah.

Tapi atas saran seorang tetangga yang lain, akhirnya mereka mengurungkan niat itu.

Beberapa waktu lalu si Ibu cerita ke sepupu saya, "Untung saya gak jadi aborsi waktu itu, Bu... saya bersyukur banget saya punya 2 anak yang cantik2 ini."

:)