Friday, September 26, 2008

Sahabat Hati

Apa pendapatmu tentang orang-orang yang tak pernah kau jumpai samasekali, namun begitu matamu bertemu dengan paras mereka, jiwamu melonjak dan kau tahu entah di kehidupan mana, kalian pernah bersua dan hati kalian menyatu?

Apa pendapatmu tentang orang-orang yang dengannya engkau menjadi hangat, dan saat mendengar tawa dan suara mereka, engkau menemukan jalan pulang ke rumah?

Apa pendapatmu tentang mereka yang mampu membuatmu merasa nyaman, bukan oleh indahnya kata-kata maupun eloknya tingkah laku, melainkan tindakan sesederhana bertatap dalam hening dan bercakap ringan tanpa isi, namun jiwamu beriak menyambut gelombang yang ditangkap indera dengarmu?

Apa pendapatmu tentang mereka, yang entah dengan cara bagaimana, telah menciptakan percikan di hatimu sejak pertama bertemu, walau engkau berjumpa mereka dalam kondisi terburuk dimana jiwamu nyaris patah dan yang tersisa dari tampak luarmu hanya sebentuk kekacauan?

Apa pendapatmu tentang semua hal yang disebut jalinan jiwa, reaksi kimiawi, dan hati yang melebur harmonis, yang kau dapati ketika pandangan kalian bersua?

Apa pendapatmu tentang mereka yang sanggup merebut hatimu tanpa perlu berupaya, karena jiwa kalian telah mendahului menjemput dan memagut?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kau tatap matanya, kau dengar suaranya, kau cermati lakunya, kau simak gelaknya, dan seketika menumbuhkan cinta di hatimu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang selalu berhasil menabur sejuk di jiwamu, bahkan ketika engkau kerontang dan meranggas?

Apa pendapatmu tentang mereka yang dapat selalu kau percayai, bahkan ketika kau mengungkap rahasia-rahasia tergelap yang tak pernah berani kau bagi kepada dunia?

Apa pendapatmu tentang mereka yang tak ragu mengembangkan tangan untuk menyambutmu dalam pelukan tanpa banyak bertanya, karena mereka tak memerlukan penjelasan untuk bisa memahamimu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kau tahu akan selalu menyimpan cinta bagimu, dan tak pernah alpa menyediakan sebuah ruangan di hati khusus untukmu?

Apa pendapatmu tentang mereka yang tak membutuhkan kalimat-kalimat curhat untuk bisa memahami dan menerimamu tanpa syarat serta senantiasa siap mendukungmu, apapun jalan yang kau pilih?

Apa pendapatmu tentang mereka yang kehadirannya sanggup memunculkan permata dalam dirimu? Mereka cukup ada, tanpa banyak usaha, dan kau terpukau mendapati jiwamu mampu memancarkan cahaya lebih dari yang kau tahu.

Apa pendapatmu tentang mereka yang selalu membuatmu tersenyum damai tatkala mengingat wajah atau sekadar mendengar nama mereka disebut?

Mungkin… sahabat hati.

:-)


*Dipersembahkan untuk sahabat-sahabat tersayang, pelita yang selalu menerangi lubuk terdalam jiwa. Terima kasih telah menjadi mutiara pembingkai hati. Kalian tahu, kalian akan abadi. Dalam jiwa saya.

Tuesday, September 23, 2008

Kamar Hati

Hei, kamu. Iya, kamu.

Kamar ini untukmu, semoga kamu suka.

Ini kuncinya. Simpan baik-baik, ya.

Kamu boleh datang kapan saja. Tak perlu mengetuk, tak perlu pakai izin. Kamu tinggal memutar kenopnya, lalu masuk.

Belum sempat mandi? Jangan khawatir, aku pinjamkan handuk dan pakaian bersih. Lembut dan nyaman seperti piyama tua kesayangan.

Lapar? Jangan takut, kuambilkan nasi dan lauk kesukaanmu. Plus secangkir kopi susu. Racikan sendiri, dijamin lezat.

Tak enak badan? Air putih hangat dan obat selalu tersedia. Ada vitamin dan madu kalau mau. Kamu pasti enakan setelah meminumnya.

Lelah? Ingin tidur? Seprainya baru saja dicuci, harum wangi. Selimutnya hangat, tidurmu pasti nyenyak. Dan kamu akan bangun dengan tubuh segar.

Lalu, kita bisa ngobrol. Ceritakan apa saja sesuka hati. Bercengkerama sepuasnya. Lupakan waktu, karena waktu tak ada artinya lagi di sini.

Kamu boleh bilang apa pun yang kamu mau. Pundakku senantiasa ada. Lenganku tak pernah terkunci. Telingaku selalu sedia dipinjam.

Bebanmu tak perlu tinggal lama. Air matamu takkan membuatku pergi, karena aku di sini untukmu. Takkan beranjak kecuali jika kamu menginginkan.

Maka, istirahatlah. Banyak-banyak. Tak perlu lekas bangun. Nikmati hadiah ini, detik ini. Karena kemarin sudah lenyap dan esok belum datang, dan saat ini cuma hadir sekali.

Selalu ada “Selamat Datang” untukmu. Di sini, di ruangan ini.

Kamar ini milikmu. Kamu boleh datang kapan saja.

Pintunya tak pernah terkunci, dan aku tak punya serepnya. :-)


*Hadiah kecil untuk Ayah dan adik tersayang, entitas mungil yang selalu memanggil jiwa saya untuk pulang ke rumah. Saya persembahkan kamar hati ini untuk kalian. Selalu. Selamanya.

**Inspired byBack to Heaven’s Light’ karya Dewi 'Dee' Lestari. Tak pernah membosankan untuk didengar berulang-ulang. :-)


Gambar dipinjam dari Gettyimages.com.

Sunday, September 14, 2008

RECTOVERSO - Sentuh Hati dari Dua Sisi

Sebagai penikmat buku dan musik sejati -yang ditandai dengan menumpuknya bacaan di lemari dan ratusan lagu di playlist- membaca dan mendengarkan musik adalah bagian dari keseharian saya. Meja di kamar kos dan rak di rumah saya tak pernah sepi dari buku. Earphone nyaris tak pernah absen dari telinga, baik ketika sedang berjalan sendirian di mall, duduk santai di angkot, berdiri dalam antrian panjang di bank, atau saat harus berhadapan dengan aktivitas paling menyebalkan sedunia: menunggu. Bagi saya, kedua hal itu adalah rutinitas tetap yang tanpanya hidup akan seribu kali lebih membosankan.

Ketika pertama kali mendengarkan Rectoverso, sejujurnya saya tak tahu apa yang harus saya harapkan. Meski telah lama menjadi pengagum tulisan-tulisan Dewi ‘Dee’ Lestari, saya nyaris tak pernah menyimak versi non-tekstual dari karya-karya penulis yang satu ini. Setelah melahap habis sebelas cerita pendek dalam bukunya, saya mendengarkan lagu-lagunya tanpa ekspektasi apa pun.

Dan terjadilah ‘keajaiban’ itu. Bermula dari satu-dua lagu yang meninggalkan kesan mendalam dan saya putar lebih dari sekali, kecanduan saya terhadap makhluk hibrida ini pun dimulai.

Karya yang hadir secara terpisah dan awalnya saya nikmati sendiri-sendiri ini mulai menunjukkan pertaliannya, bagaikan paket combo yang saling melengkapi dan membentuk kesatuan utuh. Dewi Lestari telah meracik dan menyuguhkan sajian ini dengan amat terampil. Perlahan, aktivitas mendengarkan saya yang mulanya hanya terbatas pada ‘menyimak’ bertransformasi menjadi ‘menghayati’, dan akhirnya ‘melebur’.

Rectoverso berulangkali membuat saya jatuh cinta. Menangis. Tertawa. Merenung. Terdiam dalam hening. Terhanyut di dalamnya hingga kata-kata kehilangan makna.

Sebelas kisah di dalamnya tak membosankan untuk dibaca berulang-ulang, dan sebelas lagunya telah sukses menjadikan saya pecandu dalam beberapa hari saja. Merasa hidup tak lengkap jika tak menyetelnya begitu bangun tidur dan mendengarkannya hingga mata siap menutup.

Mungkin ilustrasi yang cukup pas untuk menggambarkan sensasi yang muncul dari pengalaman membaca dan mendengarkan Rectoverso adalah bagai menaiki rollercoaster yang bergerak lambat. Merasakan energi dan adrenalin terstimulasi, terpompa dan termanifestasi dalam berbagai wujud. Terus bergerak naik-turun tanpa perlu membangkitkan bulu roma. Atau seperti mengonsumsi narkoba dalam jumlah sedikit namun rutin. Rasa yang diberikannya membuat hati terus menagih untuk menikmati lebih dan lebih lagi.

Jika Supernova adalah virus, maka Rectoverso bagi saya adalah zat adiktif. Candu bagi jiwa. Racun yang tak butuh penawar. Suplemen hati yang bebas dikonsumsi sepuasnya tanpa khawatir overdosis.

Jujur, ini adalah review paling berkesan yang pernah saya tulis, karena belum pernah sebelumnya saya menikmati sebuah karya dengan begitu mendalam dan mengapresiasinya sedemikian rupa. Urgensi untuk menuliskan ini hampir tak tertahankan dan saya tak peduli jika harus menjelma jadi makhluk nokturnal demi mengurainya.

Kali berikut saya bertemu penulisnya, saya akan bertanya ramuan rahasia apa yang ia pakai. Barangkali saya bisa mencobanya, agar naskah-naskah saya bisa keluar dari rahim inkubasinya dan menghirup udara dunia. Barangkali ia akan rela membagi satu-dua resep yang bisa saya uji coba. Barangkali kejeniusan yang sama bisa sedikit menular pada saya, meski saya ragu akan pernah menghasilkan sesuatu sebrilian ini.

Barangkali saya akan berkata kepadanya, dunia butuh lebih banyak orang sepertinya. Yang mampu menciptakan keindahan sekaligus menyuarakan desau jiwa sama baiknya.

Selamat, Mbak Dee. Sayang saya hanya punya empat jempol. :-)

Friday, September 12, 2008

Merindu Dirinya

Malam ini, usai membaca ini, menelusuri tulisan-tulisan di sini, lalu pindah ke arsip lama ini, mendadak teringat pada seseorang.

Yang senyumnya selalu ngangenin. Yang nasehat-nasehatnya tak pernah membosankan, meski diulang puluhan kali dengan titik-koma sama. Yang suaranya menenangkan. Yang telepon-teleponnya selalu dinanti, walau hanya sekadar bilang, “Lagi ngapain? Jangan makan mie instan terus!”

Malam ini, membongkar hard disk tanpa tujuan, baru saya sadar, saya tak punya fotonya. Sebuah pun. Foto adik, saudara, sahabat, kawan, tetangga, semua ada. Dalam jumlah ratusan. Kecuali dia.

Malam ini, membaca ini, menelusuri tulisan-tulisan di sini, lalu pindah ke arsip lama ini, baru saya sadar.

Saya kangen dia. S a n g a t.

Rambut acakacakannya. Telapak tangannya yang kasar tapi selalu hangat. Kaus belel yang ituitu lagi, meski sudah berkalikali diprotes. Kacamata baca yang gagangnya miring sebelah. Jeans kusam yang bernasib sama dengan kaus-kaus belelnya.

Senyumnya. Binar matanya.

Hanya untuknya, saya ingin selalu punya waktu. Untuk bilang saya sayang dia.

Untuk bilang, sampai kapan pun, apa pun yang terjadi, dia tetap pujaan hati nomor wahid. Jawara yang tak ada bandingannya.

Untuk memberitahu, selalu tersedia sebuah kamar di hati khusus untuknya, tanpa kunci, dan dia boleh datang kapan saja.

I love you, Pa.

Friday, September 5, 2008

VAJRA, Sang Permata Jiwa

Kalau menulis adalah sebuah perjalanan, maka menyelesaikan sebuah buku dan memprosesnya hingga siap diterbitkan bagi saya bagaikan sebuah kehamilan. Ditandai dengan emosi yang berubah-ubah, dari senang-panik-khawatir, deg-degan jaya... sampai akhirnya berserah dan menanti dengan pasrah. Hingga karya tersebut resmi diluncurkan, lengkap dengan nomor ISBN, yang membuat saya merasa layak menyebut diri sebagai ‘published author’ dan ‘emak’ sekaligus: hamil, melahirkan, punya anak.

Dan inilah dia, si Cantik* kebanggaan saya:


Judul: VAJRA - Diamond in Every Heart
Penulis: Jenny Jusuf
Penerbit: Sheila (ANDI Publisher)
Tebal: 144 halaman

Jenny bercerita tentang berbagai macam rasa dalam kehidupan, plus segala latarnya: masa lalu, sekarang – bahkan masa depan. Seorang penulis yang menjanjikan!”
(
Sitta Karina, novelis dan kontributor majalah ‘CosmoGIRL!’)

Kumpulan cerpen ini berhasil merangkum seluruh permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang manis sampai pahit dalam rangkaian bahasa sederhana, tapi jangan salah, moral dari setiap ceritanya bikin semua pembaca mikir lama.”
(
Okke ‘Sepatumerah’, novelis)

It speaks deeper than just stories. Sederhana, ringkas, enak dibaca... melalui kumpulan cerpen ini Jenny membantu kita untuk merefleksi diri.
(Audrey Clarissa, presiden ‘International Pharmaceutical Students’ Federation’ [IPSF] 2006-2007)

-----

Tidak ada sinopsis yang saya sertakan, karena buku ini bukan sebuah novel, melainkan kumpulan cerita pendek yang saya tulis sejak tahun 2005. Satu di antaranya pernah diterbitkan oleh majalah Cerita Kita, prasasti sekaligus bukti pertama yang meyakinkan saya bahwa mimpi memang bisa bertunas.

Kisah-kisah dalam buku ini tak jauh dari topik universal yang selalu digemari: cinta, keluarga, persahabatan. Dalam setiap cerita saya mencoba menyelipkan pesan -mutiara yang berhasil saya kumpulkan di setapak panjang bernama Kehidupan- yang saya rangkul sepenuh hati, dan saya tuturkan dalam bingkai fiksi. Bukan untuk menggurui, melainkan untuk berbagi.

Kini, dalam perjalanan menjemput kelahirannya ke dunia, saya menemukan dua butir mutiara lagi. Yang pertama sangat sederhana dan sudah sering didengar, namun gemanya senantiasa merdu di hati: impian sungguh bisa menjadi kenyataan.

Mutiara kedua adalah kalimat indah yang saya temukan dalam sebuah buku: “Ada kalanya mimpi-mimpi hadir seluas samudera, sehingga kita bisa berenang di dalamnya.”

Samudera? Saya tak pernah berpikir sampai ke situ. Indah sekali. Ternyata selama ini saya telah mengarungi samudera tanpa pernah menyadarinya.

:-)

Mari, mari.

Lepaskan tambatan. Luncurkan perahu. Kembangkan layar. Ciumi aroma laut. Dengarkan suara ombak. Pandangi birunya air. Jatuh cintalah kepadanya.

Selamat mengarungi mimpi. Kalau kita bertemu nanti, panggil saya, ya. Singgah ke perahu saya untuk bercakap sejenak sambil minum teh. Kita bertukar cerita. :-)


*Nggak usah protes. Wajar atuh setiap emak merasa anaknya yang paling keren sedunia ;-D