Saturday, August 30, 2008

Wajah Malaikat

Jam setengah sebelas malam, saya membuka pintu kos-kosan dengan hati-hati, takut membangunkan teman-teman yang pasti sudah terbang ke negeri antah berantah dengan pesawat kapuk masing-masing, karena lampu di ruang tamu sudah gelap.

Begitu membuka kamar, saya langsung disambut aroma pengap. Kamar saya memang lembab karena letaknya berselang dua kamar dari pintu kos-kosan, satu-satunya akses keluar-masuk udara segar. Tapi itu belum seberapa dibanding perut yang kerucukan minta diisi. Saya tidak sempat membeli nasi goreng di tukang mie tek-tek yang mangkal di pinggir jalan seperti biasa, karena selama perjalanan pulang tadi saya tertidur dengan suksesnya di mobil sahabat saya.

*Hei, kamu. Terima kasih banyak untuk tebengan gratisnya tiap Rabu malam… jangan bosen-bosen, ya. Hihihi.*

Setelah menyalakan kipas dan membuka pintu lebar-lebar demi lancarnya sirkulasi udara, saya menggeratak kulkas.

Ah, itu dia! YAY!

Masih tersisa setengah loyang kue pisang milik seorang teman yang bermarkas di lantai dua. Saya senyum-senyum girang dan mencomot dua potong. Dia pasti tak keberatan kue pisangnya ‘dipinjam’, meski saya tak yakin harus mengembalikannya pakai apa. ;-)

Sambil makan, pikiran saya lagi-lagi mengembara. Akhir-akhir ini ia memang tak sudi diam untuk waktu lama, kecuali ketika saya sedang berada di Kelas Hening (oh, itu sih bukan diam tepatnya, tapi istirahat).

Dan adegan-adegan itu kembali berhamburan menyerbu otak saya bagaikan film yang bergerak lambat. Adegan ketika untuk kedua kalinya saya berhadap-hadapan berdua dengan seorang partner yang tak terlalu saya kenal.

Kali ini, masing-masing dari kami akan menjalankan dua ‘peran’ secara bergiliran dalam durasi tiga puluh menit. Kami akan bergantian menjadi pendengar dan komunikator. Jatah setiap putaran adalah lima menit, yang artinya kami akan menjadi pendengar sebanyak tiga kali, begitu pula komunikator.

Ketika menjadi komunikator, tugas kami adalah menyibak keheningan untuk memberikan jawaban atas instruksi yang disampaikan oleh pasangan kami - menggunakan ‘pertanyaan’ tersebut sebagai pancingan untuk menyibak kesejatian diri. Ketika menjadi pendengar, tugas kami adalah mengomunikasikan apa yang ingin diketahui tentang diri pasangan kami dalam sebuah instruksi yang terdiri dari kalimat pendek, menyediakan telinga untuk mendengar, dan ‘hadir’ di sana untuknya. Sekadar hadir sepenuhnya, mendengarkan seutuhnya. Tanpa menjatuhkan penilaian, tanpa mencetuskan solusi, tanpa bersentuhan, bahkan tanpa bicara sama sekali (dimana untuk yang satu ini saya berulangkali mengingatkan diri sendiri untuk sejenak melupakan kodrat sebagai spesies ciptaan Tuhan yang paling cerewet).

Dan putaran pun dimulai.

Lagi-lagi keindahan itu merebak, dimulai sejak menit pertama saya dan pasangan saya bertatap-tatapan dan bertukar senyum. Sepercik jengah hadir di antara kami. Saya hanya bisa tertawa nervous selama lima detik pertama, namun rasa itu hilang dalam sekejap ketika pandangan kami kembali beradu.

*WARNING: Entri ini akan banyak mengandung kata ‘indah’, ‘sempurna’, ‘hati’, ‘jiwa’. Maaf atas repetisi ini, karena saya tidak berhasil menemukan kata yang lebih pas. Tolong bersabar. ;-)*

Beritahu saya siapa diri Anda,” pasangan saya berkata, pelan dan sungguh-sungguh. Kalimat yang sama akan dijadikan ‘pancingan’ selama setengah jam ke depan, dan ini adalah giliran saya untuk menjawab.

Seharusnya saya memusatkan perhatian untuk menjawab kalimat itu, tapi saya hanya termangu sambil berusaha mencerna apa yang sedang saya rasakan. Sungguh janggal, karena ini terjadi dalam menit pertama, yang sejujurnya, sangat berada di luar perkiraan.

Saya memejamkan mata, menenggelamkan diri dalam hening, namun hati saya terus beriak. Indah sekali bisa duduk berhadapan, tanpa perlu benar-benar mengenal sosok di depan saya, bisa mendengar “Beritahu saya siapa diri Anda” yang bukan basa-basi, bisa belajar membuka diri seutuhnya tanpa pretensi ...dan diterima apa adanya.

Namun, momen yang paling indah adalah ketika kami berganti peran; saya sebagai pendengar, dan pasangan saya komunikatornya. Saya menyampaikan instruksi yang sama, kemudian sepenuh hati menunggu jawaban - hanya menanti tanpa tahu apa yang saya harapkan.

Pasangan saya membuka mata dan mulai berucap. Suaranya sangat pelan sampai saya harus mencondongkan tubuh demi menangkap kata-katanya. Lagi-lagi saya bergetar oleh keindahan yang merasuk tanpa ampun saat tatapan kami beradu. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kesempurnaan yang tak terselami akal. Tak peduli apapun isinya. Seolah yang mampu dipancarkan oleh pasangan saya hanya kesempurnaan semata, dan tak kurang dari itu.

Saya hanya bisa terpaku. Ternyata semua orang sama sempurnanya. Dan kita berjuang mati-matian mencari apa itu sempurna, karena kita menyangka dengan kehidupan yang sempurna kita bisa bahagia.

Sekian menit mendengarkannya bertutur, pikiran saya kembali lolos.

Seumur hidup, sejak mengenal lingkungan sosial dan pergaulan, entah sudah berapa kali saya duduk bersama seseorang dan bercakap-cakap, mulai dari bersenda gurau tak tentu arah, mengobrol ringan, sampai curhat panjang-lebar. Saya selalu meresponi setiap orang dengan cara yang sama: sepanjang ia bercerita, pikiran ini tak henti-hentinya bekerja mengevaluasi, merumuskan penilaian, merangkai pemecahan masalah, dan setelah orang yang bersangkutan selesai bicara, dalam sekian detik saya langsung bisa menawarkan solusi terbaik yang (saya anggap) bisa menolongnya keluar dari masalah tersebut. Apabila ia bercerita tentang dirinya sendiri, pikiran saya langsung bekerja membuat profiling dan menyimpan semua data yang dibutuhkan dalam bank memori.

Tak pernah saya sekadar duduk di sana, hadir, menyediakan telinga dan hati apa adanya, untuk menerima segala sesuatu yang dikatakan orang lain, sepenuhnya, seutuh-utuhnya, tanpa berusaha membuat penilaian apapun, merumuskan apapun, merangkai apapun. Baru saya sadar, tak pernah sebelumnya saya betul-betul ‘ada’ untuk lawan bicara saya.

Ya, hanya hadir. Menatap sepenuh hati. Berfokus. Menunggu. Memperhatikan. Mendengarkan. Tanpa pengharapan. Tanpa menilai. Tanpa reaksi. Tanpa evaluasi. Menerima seutuhnya.

Sebuah perasaan yang sulit dilukiskan kembali singgah ketika mendadak saya sadar, apapun yang dikatakan oleh partner saya, entah dia mengaku baru saja membunuh orang atau melakukan kejahatan terbesar di dunia, saya tak akan peduli.

Sungguh, saya tak akan peduli. Saya terlalu terpukau oleh keindahan yang hadir ketika jiwa kami saling menyibak lapisan demi lapisan keberadaan masing-masing. Saya diliputi haru ketika saya sadar diri ini mampu menerima orang lain apa adanya.

Saya tahu rasanya tidak diterima apa adanya, ketika lingkungan dan pergaulan menuntut saya untuk ‘menjadi bukan Jenny’ demi memenuhi konsep ideal dan ekspektasi orang lain. Saya tahu rasanya berusaha mati-matian hanya demi bisa diterima. Dan tanpa sadar saya menerapkan pola yang sama kepada orang lain.

Tak jarang saya memiliki pengharapan yang begitu tinggi dan muluk atas seseorang, dan menjadi kecewa ketika pengharapan itu tak menjadi kenyataan. Tak jarang saya menyimpan citra tentang orang lain dan berharap citra itu akan abadi selamanya, lalu kecewa bukan buatan ketika mendapati bahwa orang yang saya temui telah berubah. Tak jarang saya menyimpan konflik batin atas sebuah situasi yang terjadi bertahun-tahun silam. Menjadikannya masalah hanya karena saya tak menyukai situasinya. Menjadikan diri saya sendiri tempat sampah atas segala kemarahan dan kepahitan yang tidak berujung.

Saya menatap pasangan saya lekat-lekat. Mendadak mata saya basah.

Kamu cantik sekali hari ini. Betapa ingin saya melafalkan itu.

Saya tidak sedang bergurau, dan ini bukan pertanda penyimpangan preferensi seksual. Saya hanya melihat keindahan itu sebagaimana adanya, seperti yang tertangkap oleh indera saya: kesempurnaan dalam diri.

Saya sangat tergoda untuk bertanya apakah pasangan saya telah menjalani laser surgery, facelift atau apapun yang membuatnya tampak jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Saya ingin menemukan rahasia yang membuat wajahnya berbinar-binar. Barangkali saya bisa mencobanya belasan tahun dari sekarang, jika saya telah resmi dinobatkan sebagai tante-tante berumur kepala empat. Saya sungguh ingin tahu produk anti-aging apa yang mampu memusnahkan kerut dan penuaan hanya dalam tujuh hari, karena ketika kami berjumpa minggu lalu, ia tak sebercahaya ini.

Dan mata saya terus membasah, meski tak ada setitik air pun yang mengalir. Selama sekian menit, di ruangan yang berisik oleh suara-suara lain, deru kendaraan dan pengeras suara dari mall di seberang, mendadak Bumi berhenti berputar. Waktu berhenti. Atau apapun itu. Yang ada hanya saya dan dia.

Dan bibir saya terus mengembang. Tak bisa berhenti tersenyum.

Ya Tuhan, indahnya. Indahnya sekadar hadir dan ada. Indahnya berada di sana, bahkan untuk seseorang yang tak saya kenal. Indahnya meminjamkan telinga untuk mendengarkan tanpa perlu terdistraksi oleh suara-suara pikiran sendiri. Indahnya menyadari bahwa selama sekian menit, saya tak lagi hidup untuk diri saya sendiri. Tak ada lagi ‘Jenny’ ketika saya membuka hati untuk menyimak sosok di depan saya tanpa pretensi, tanpa evaluasi.

Mendadak, saya merasakan cinta yang luar biasa. Terhadap momen ini. Terhadap diri saya sendiri. Terhadap partner saya. Saya ingin melompat dan memeluknya. Tanpa sebuah alasan spesifik. Tanpa perlu banyak cakap. Saya hanya ingin merengkuhnya seerat yang saya bisa. Mengungkapkan ‘aku sayang kamu’ tanpa banyak kata.

Terima kasih, Tuhan.

Hanya itu yang dapat dibisikkan batin saya, ketika lagi-lagi pikiran saya terlepas selama beberapa detik. Baru saya menyadari, betapa hausnya saya akan pengalaman-pengalaman otentik seperti yang direguk jiwa saya dua minggu terakhir.

Terima kasih karena saya mampu menangis menghadapi seseorang yang tak saya kenal. Bukan karena iba mendengar curhatnya. Bukan karena jengkel, sebal atau marah; melainkan karena menyelami keindahan yang tak terperi. Bahwa jiwa ini mampu menyambut seseorang apa adanya, seutuhnya, setulusnya. Bahwa saya sanggup mengungkap keberadaan saya tanpa takut dinilai, dikritik, dihakimi. Dalam kesunyian, kami tahu bahwa kami telah diterima. Oleh pasangan kami. Oleh diri kami sendiri.

Bel tanda pergantian peran berbunyi.

Kami saling membungkuk dengan tangan terkatup di dada. Sepenuh hati saya melafalkan dua kata itu: Te-ri-ma ka-sih.

Pasangan saya mengulangi instruksi yang sama, “Beritahu saya siapa diri Anda.”

Saya memejamkan mata, menyibak hening untuk mendengarkan suara yang muncul dari dalam sana. Ah, ya, saya tahu apa yang akan saya ungkapkan. Sebuah sisi yang jarang terverbalkan dan kini muncul dengan leluasa.

Perlahan saya membuka mata ...dan terhenyak.

Mendadak, susunan penjelasan tentang ‘siapa saya’ menjadi blur. Mendadak, deretan kata yang terangkai di benak ini tak mampu lagi membentuk sebuah kalimat utuh. Mendadak, saya merasa tak ingin berkata-kata. Mendadak, yang ingin saya lakukan hanya duduk diam, menghabiskan lima menit ke depan menatapi sosok di depan saya, tatkala indera penglihatan ini menemukan surganya dan jiwa saya kembali terpukau menyambut keindahan yang tak terukur logika.

Wajah di depan saya adalah wajah seorang malaikat.

Wednesday, August 27, 2008

Lelah

Hai, kamu yang di sana.

Iya, ini untuk kamu.

Maaf karena harus seperti ini. Saya sudah kehabisan energi dan upaya untuk mengomunikasikan ini denganmu. Jadi, jangan salahkan kalau saya menggunakan cara ini demi ‘berbicara’ kepadamu. Saya tak peduli, bahkan jika kamu tak pernah membaca tulisan ini – yang penting saya sudah menyampaikannya, meski ini jalan terakhir yang ingin saya tempuh.

Kenapa saya memilih cara ini? Karena saya masih ingin hidup waras. Saya belum ingin kehilangan akal sehat, alias jadi gila.

Maafkan saya.

Saya lelah. Hidup dalam pengharapanmu, hidup dalam mimpi-mimpimu. Setelah sekian lama, baru saya sadar, saya memiliki impian saya sendiri. Yang ingin saya kejar. Yang ingin saya raih. Saya sudah terlampau penat hidup dalam ekspektasi dan impian orang lain, meski orang itu kamu – yang sangat saya sayangi, dan pernah sangat saya puja.

Sama seperti kamu, saya juga memiliki impian yang ingin saya capai. Saya ingin menjalani kehidupan yang penuh gelora, dan saya rela terbakar di dalamnya. Saya tak lagi peduli apakah saya akan aman di luar sana, apakah saya akan bahagia, apakah saya akan berhasil, atau jatuh terpuruk – seperti argumenmu selama ini. Saya hanya ingin hidup, dan saya akan menjalani keputusan ini lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya.

Mimpi-mimpi ini harus tumbuh. Terlalu lama saya menyimpannya sendiri. Terlalu lama saya membiarkannya tertimbun, terabaikan. Mimpi-mimpi ini layak dibiarkan bertunas, secara alamiah, sebagaimana mestinya. Dan sebagaimana kehidupan terus bergulir, hati ini harus terus mengalir, karena ia cair. Ia tak dapat dibekap dalam sebuah wadah sempit. Kecuali kamu ingin saya mati perlahan-lahan di dalamnya. Dan percayalah, saya masih ingin hidup.

Saya tak meminta banyak. Tolong biarkan saya ‘hidup’. Hanya itu.

Hidup seutuhnya. Terbang bebas bagaikan burung, meski saya tak punya sayap. Saya percaya, saya mampu melayang tinggi tanpa sayap.

Tolong biarkan saya menjadi diri sendiri. Jika menerima saya apa adanya terlalu sukar bagimu, maka saya tak meminta untuk diterima. Lepaskan saya. Biarkan saya terbang. Karena saya bukan milikmu. Saya bukan milik siapapun.

Jangan cegah saya dengan cara apapun, dengan dalil apapun, dengan alasan apapun. Biarkan saya menemukan keutuhan diri saya yang sejati. Biarkan saya bersua dengan separuh jiwa saya yang telah lama terkungkung.

Tolong biarkan saya hidup.

Itu saja.


Salam penuh cinta,


- JJ -

Friday, August 22, 2008

Hening

Ketika jiwamu bak gelombang yang terpecah dan terhempas

Sampai riak beningnya hilang menyisakan keruh yang bergolak

Kembalilah pada hening

Di sana akan kautemukan pancuran jernih yang bukan fatamorgana


Ketika akalmu tertindas kalut

Sampai tak ada ruang untuk logika dan rasio

Kembalilah pada hening

Akan kautemukan jawaban dalam sunyi yang merebak


Ketika hatimu pilu sampai sesak dadamu

Tercekik kerongkonganmu dan tersekat lidahmu

Kembalilah pada hening

Dimana jiwamu sanggup bersuara tanpa batas


Ketika gundah jiwamu

Sampai menangis tak mampu tertawa tak sanggup

Dan senyum enggan mampir bahkan sekadar mengisi celah di antara detik

Kembalilah pada hening

Dan akan kau temukan sejumput damai dalam sunyi tak bertepi


Ketika matamu menjadi nanar dan wajahmu putih

Bukan karena disergap penyakit

Melainkan tercekam galau dan terhimpit nyeri

Kembalilah pada hening

Dan akan kau temukan kesembuhan yang menghapus segala luka


Ketika gelisah kalbumu dan tak kunjung habis pencarianmu

Sampai akalmu lelah bertanya dan jiwamu meranggas

Tersuruk dalam penat tanpa ujung

Melampaui batas daya hingga dirimu tak lebih dari sekeping kaca rapuh

Temukan jawabanmu dalam hening


Jangan takut sendirian dalam hening

Karena justru di sanalah kau akan bertemu separuh jiwamu

Yang telah lama menanti untuk muncul dan menyatu

Sehingga engkau menjadi utuh, sebagaimana adanya

Dan akhirnya engkau akan sanggup

Sepenuh hati berkata kepada Hidup dan Cinta: “Selamat Datang.”

Monday, August 18, 2008

Momen Ajaib di Kelas Hening

Pukul 20:15. Sebuah cafè di bilangan Jakarta Selatan. Jarum detik yang terus bergulir.

Lampu dipadamkan. Setiap peserta berdiri berhadapan, dengan pasangan masing-masing yang tak saling mengenal satu sama lain. Termasuk saya, yang baru mengetahui nama pasangan saya semenit yang lalu. Asing dan canggung terhadap satu sama lain.

Ketika kami diminta saling menatap, yang saya lakukan hanya tersenyum rikuh. Aneh rasanya berhadap-hadapan dengan seseorang yang tidak dikenal, dan saya samasekali tidak tahu apa yang saya harapkan dari momen-momen semacam ini, apalagi membayangkan apa yang akan terjadi. Amatiran kelas berat.

Separuh benak saya mengembara ke tanggung jawab (baca: konsekuensi) yang menanti saya setelah ‘kegilaan’ malam ini usai. Kegilaan yang menggerakkan kaki saya untuk pergi menjemput sesuatu yang bahkan tak saya ketahui dengan pasti. Satu hal yang saya harapkan, seperti yang sudah-sudah, mudah-mudahan kegilaan ini akan membawa manfaat – setidaknya untuk saya pribadi.

Lalu, datanglah momen itu. Sambil terus berhadapan, saya dan pasangan saya melakukan gerakan yang diinstruksikan oleh pengajar. Menarik nafas, menghembuskannya dengan bersuara, membagi gelombang energi kepada satu sama lain. Tanpa ekspektasi apa pun, tanpa berkata-kata sedikit pun, hanya sekadar merasakan, mengamati, membagi dan menerima.

Hanya dalam hitungan detik, saya merasakan kenyamanan dan kelegaan yang sulit dideskripsikan. Tiba-tiba, saya merasa begitu menyatu dengan jagat raya dan seluruh isinya. Seakan-akan alam semesta dan jiwa saya sedang beresonansi dengan sebuah cara yang sangat indah sekaligus tak tertampung akal (tulisan ini hanya sebentuk upaya saya untuk menjabarkan apa yang saya rasakan, yang tentunya masih jauh dari mencukupi).

Saya membuka mata, dan terperanjat melihat sosok di depan saya. Matanya terpejam, namun wajahnya seakan bersinar dengan sebentuk damai yang susah diterangkan dengan bahasa verbal.

Saya terpukau. Barangkali, dari sekian pengalaman yang saya temukan selama beberapa kali mengikuti ‘kelas hening’ ini, inilah pengalaman yang paling meninggalkan bekas, karena saya tak hanya mengalaminya seorang diri – saya membaginya dengan orang lain. Memberi dan menerima dalam setiap helaan dan hembusan nafas.

Selama proses menghayati, mengamati, memberi dan menerima itu berlangsung, tak henti-hentinya saya terpukau. Kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan apa yang saya rasakan ketika jiwa saya mereguk ‘pencerahan’ itu dengan rakus. Seperti musafir yang tersesat di Sahara, hampir mati kehausan, lalu menemukan mata air yang bukan fatamorgana.

Instruktur memberi isyarat untuk berhenti. Lampu dinyalakan. Saya dan pasangan saya kembali bertatap-tatapan, lalu pecahlah gelak tawa kami. Menit-menit berikutnya kami habiskan dengan bertukar cerita, apa saja yang kami alami dalam momen hening tadi, ketika kami saling membagi dan menerima, mengungkap apa yang kami rasakan tentang satu sama lain.

Sepasang manik di wajah pasangan saya berbinar-binar, dan kedamaian itu terus menghangatkan hati saya dengan cara yang tak saya pahami. Baru kali inilah saya membuka hati sejujurnya, setulusnya, dengan seseorang yang baru saya kenal... dan menemukan cinta di sana. Bahkan menuliskan pengalaman ini menjadi sesuatu yang menantang, karena tak pernah sebelumnya saya mencoba menjabarkan peristiwa seotentik ini melalui kalimat-kalimat baku.

Kendati amat sulit diceritakan dengan bahasa tekstual, rasanya tak berlebihan jika saya berkata momen sederhana itu telah menjelma menjadi sebuah pengalaman yang amat menakjubkan untuk saya. Ketika saya menatap seseorang yang tidak saya kenal dan menemukan kesempurnaan di sana. Ketika tangan-tangan kami saling terulur tanpa bersentuhan –memberi dan menerima apa adanya, tanpa secuil pun ekspektasi—dan saya menemukan separuh jiwa saya dalam diri si empunya tangan. Ketika saya membuka mata dan menemukan kedamaian yang tak mungkin dijabarkan dengan kosakata tingkat tinggi. Ketika saya memandang sosok di depan saya yang namanya baru saya ketahui beberapa menit lalu, dan secara ajaib mendapati refleksi diri saya di sana.

It was such a profound and magical moment.

Barangkali kalimat itulah yang paling pas untuk menggambarkan pengalaman sekian menit saya. Dan kalimat yang sama terus bergaung ketika saya membungkukkan tubuh dengan tangan terdekap di depan dada, menghaturkan terima kasih kepada sosok di depan saya. Jiwa saya menaikkan syukur atas sebentuk nikmat tak terduga yang saya temukan dalam keheningan.

Ketika masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan kami ke lantai dasar, saya masih termangu dan tercengang-cengang seperti anak kecil yang baru dibangunkan dari tidur panjang.

Dalam perjalanan pulang bersama dua sahabat saya, di tengah percakapan dan tawa yang saling terlontar, separuh pikiran saya terus mengembara, tak mau diam. Mempertanyakan sesuatu yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak ini: mungkinkah konflik, prasangka, amarah, kebencian dan segala friksi yang kita alami sebagai individu yang saling terkait satu sama lain dalam hubungan personal (entah pasangan, sahabat, anak, orangtua, dan sebagainya) dapat diminimalkan, seandainya kita bersedia meluangkan waktu dan melapangkan hati untuk duduk berhadapan, berdua, saling menatap, tanpa ekspektasi dan pencitraan apapun, demi melihat sosok yang berada di hadapan kita apa adanya? Menemukan kesempurnaan dan pantulan diri kita di sana tanpa perlu menjatuhkan penilaian apa pun? Menyingkirkan lapis demi lapis citra demi menyibak kesejatian di hadapan kita?

Mendadak, saya teringat pada kawan-kawan, para sahabat, keluarga dan orang-orang yang saya cintai. Mereka yang dengannya saya membagi hidup. Mereka yang pernah (dan sedang) bersilangan jalan dengan saya. Mereka yang telah mengisi relung-relung hati saya. Mereka yang senantiasa menjadi penerang jiwa kala hidup ini memasuki fase kelamnya. Mereka yang telah menjadi guru sekaligus teman dalam sekolah raksasa bernama Kehidupan ini.

Bila biasanya saya mengenang hal-hal baik dan lebih suka memelihara memori indah, kali ini saya membiarkan ingatan saya tergali lebih dalam; kepada friksi yang pernah timbul (dan tidak terselesaikan, karena seringkali kami memilih untuk mengesampingkan friksi lantaran merasa tak nyaman mengungkapnya terang-terangan), konflik terpendam yang belum tuntas, kesalahpahaman yang disebabkan oleh harapan yang tak terpenuhi, kekecewaan karena pencitraan yang tak sesuai dengan realitas, penghakiman yang kadang terasa begitu absurd, ego yang saling beradu, dan banyak lagi.

Malam ini, sepenuh hati saya berdoa. Semoga kesempatan itu bisa datang lagi – bagi saya dan mereka yang pernah (dan sedang) bersilangan jalan dengan saya di setapak panjang ini.

Semoga akan tiba momen dimana saya dapat duduk bersama orang-orang yang saya cintai, berhadap-hadapan berdua, menatap ke dalam mata mereka, dan menemukan separuh jiwa saya di sana. Mendapati kesempurnaan tanpa perlu berusaha jadi sempurna. Merayakan kehidupan seutuhnya dengan orang-orang yang telah mengisi hidup saya. Mereguk keindahan ketika hati kami bersua tanpa perlu bersentuhan. Menghayati kedamaian yang menyeruak ketika hati ini mampu menerima setiap orang apa adanya, dengan sepenuh cinta, tanpa pretensi, tanpa ekspektasi, tanpa sebentuk citra.

Ya, apa adanya.



*Ngemeng-ngemeng, kalimat pembuka entri ini kok mirip novel-novel keluaran ‘penerbit pabrik’ itu ya? Hihihi.

Sunday, August 10, 2008

Tentang Mengurusi Orang Lain

“Kamu harus ngomong sama mereka, Jen. Supaya mereka berubah. Udah lama saya coba bicara, tapi mereka masih tetap sama. Sekarang giliran kamu.”

Itu yang diucapkan seorang kawan kepada saya belum lama ini, ketika kami terlibat percakapan santai sambil melahap pastel, ditemani sebotol air mineral.

‘Mereka’ yang dimaksud oleh kawan saya adalah dua oknum *halah* berinisial M dan T, teman kami berdua.

Saya bengong, sesaat tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, reaksi pertama saya adalah geli, karena topik itu tidak cocok untuk dibahas dalam obrolan ringan, apalagi diucapkan dengan nada sangat serius. Saya menutupi tawa sebisanya demi tidak menyinggung si lawan bicara.

Mengubah orang? Saya?

Yaelaaah bok, salah orang kaleee.

M dan T yang disebutkan lawan bicara saya adalah salah dua dari teman-teman terbaik saya, yang selalu membuat saya merasa nyaman dan bisa menjadi diri sendiri setiap kali berkumpul dengan mereka – entah sekadar ngobrol kesana-kemari, berbincang serius, atau bercanda gila-gilaan sambil ketawa ngakak yang membuat kami merasa jadi kuntilanak dadakan.

Dengan kata lain… saya setali tiga uang dengan mereka. ;-D

“Mereka perlu berubah, Jen. Hidupnya masih kayak gitu itu...” sambung lawan bicara saya, sementara saya pura-pura mendengarkan sambil terus mengunyah pastel.

Mau ngubah apaan, Neng? Situ siape? Ingin sekali saya mencetuskan itu, yang lagi-lagi saya tahan demi terjaganya perdamaian dunia.

Saya hanya tersenyum. Dan terus menjaga senyuman itu selama beberapa saat, sampai lawan bicara saya beranjak pergi.

Pesan nyentrik itu saya terima lebih dari dua kali, oleh orang yang sama. Dan setiap saat pula saya tergoda untuk nyeletuk, “Bo, elo salah orang banget kalo nyuruh gue khotbah supaya mereka bisa berubah. Lha gue sama aja kayak mereka.”

;-D

Tapi, kejadian itu lantas membuat saya berpikir.

Memangnya penting, ya, mengubah orang lain untuk menjadi seperti yang kita mau kita anggap baik? Penting, mengubah orang untuk hidup berdasarkan konsep ideal kita?

Bukannya kebenaran itu relatif ya, dan apa yang cocok buat seseorang, belum tentu cocok untuk yang lain? Dan apa kabarnya kepribadian serta karakter manusia yang beragam dan ‘sudah dari sononya’ (lepas dari usaha orang yang bersangkutan untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu)?

Lalu, saya mencoba mengingat-ingat, apa saja yang pernah dilakukan M dan T selama kami berteman -kelakuan, tindak-tanduk, sikap, dan sebagainya- yang sampai membuat kawan saya begitu ‘bernafsu’ mengubah mereka?

Menurut pengamatan saya, tidak ada yang salah dengan mereka berdua. Mereka adalah perempuan-perempuan masa kini yang tengah sibuk meniti karir dan menjalani kehidupan lengkap dengan berbagai rutinitas dan segala warnanya, sama seperti saya dan kebanyakan dari kita. Perempuan baik-baik dan normal seratus persen, samasekali tidak ada yang salah.

Lalu, kenapa kawan saya sangat ‘ngotot’ ingin mengubah mereka?

Ternyata penyebabnya sederhana saja: menurut kawan saya yang bijaksana-arif-baik-budi-lagi-rajin-menabung, M dan T kurang santun dalam berbicara, sering melontarkan kalimat-kalimat bernada nyelekit, bercanda melampaui batas, dan memiliki ‘ketidakberesan’ dalam beberapa aspek hidup.

Mendadak, saya merasa geli. Dan lebih geli lagi ketika kami berempat (saya, kawan saya, M, dan T) benar-benar ngumpul bareng, ngobrol kesana-kemari sambil bersenda gurau.

Kenapa geli? Karena di sepanjang percakapan (yang seharusnya santai dan menyenangkan) itu, kawan saya tidak henti-hentinya berusaha mengoreksi kalimat-kalimat yang dilontarkan dengan ringan oleh M dan T, juga saya sendiri. Candaan yang sebetulnya sangat lumrah dan biasa; seperti mengomentari kebiasaan satu sama lain, tertawa-tawa sambil bertukar cerita tentang kejadian-kejadian konyol di kantor, tayangan infotainmen, sampai berita kriminal yang nggak jelas juntrungannya, dan banyak lagi.

“T mulutnya yaaa, bercandanya gitu.” (Ketika T menceritakan kelakuan kocak teman sekantornya)

“Haduh haduh, M, ngomong apa ituuu?” (Ketika M curhat tentang aktivitas di tempat kerjanya, entah apa saya lupa)

“Jenny ya, menyesatkan orang.” (Ini ketika saya sedang bercanda sambil cekikikan, topiknya lupa, tapi berani sumpah nggak ada kaitannya dengan usaha menyesatkan keyakinan atau menanamkan racun di pikiran orang).

Sepeninggalnya, saya, M dan T saling bertukar pandang, lalu geleng-geleng kepala dan tertawa kecut. Sebal, jengkel sekaligus geli.

Tidak sulit ditebak, percakapan langsung berbelok ke betapa antik, nyentrik dan ‘aneh’nya kelakuan kawan kami yang satu itu.

Atas nama kejujuran, saya mengaku bahwa saya samasekali tidak membela kawan saya. Saya bahkan ikut tersenyum ketika muncul berbagai celaan atas sikapnya yang dipandang berlebihan dan ‘tidak pada tempatnya’. Bukan karena saya tersinggung oleh teguran di atas, namun karena saya merasa kekesalan kami cukup beralasan: sikap merasa diri paling benar dan menganggap orang lain salah (serta harus berubah) itu memang menyebalkan.

Koreksi. SANGAT menyebalkan.

Deuuuh, hari giniiii... *gaabispikir*

Anyway, peristiwa kecil itu jadi mengingatkan saya pada sebuah kasus yang saya temui di blog pribadi seorang artis yang baru-baru ini mengklarifikasi berita perceraiannya. Bukan, bukan masalah perceraiannya yang menarik perhatian saya, melainkan komentar dari para pembaca blog tersebut yang jumlahnya ratusan.

Ada yang mendukung, ada yang netral-netral saja, ada yang tidak setuju, menyebutnya arogan dan egois, mempertanyakan hubungannya dengan Tuhan, membantah alasan yang dikemukakan si selebriti dengan dalil A-B-C, menentang perspektifnya, dan cukup banyak yang ‘berkhotbah’ kesana-kemari tentang Cinta, Tuhan, Hubungan dan Perpisahan dengan tulisan yang puanjang dan bisa jadi satu entri sendiri.

Lucunya, artis yang bersangkutan tampaknya tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat orang maupun pemberitaan media yang menggembar-gemborkan perceraiannya secara hiperbola (menurut saya sih berlebihan, nggak tahu ya untuk orang lain). Yang menjadikan kasus ini menarik untuk disimak (lagi-lagi untuk saya pribadi) justru para pengunjung blog yang sibuk berkomentar ini-itu, berpanjang-panjang memprotes keputusan dari seseorang yang belum tentu mereka kenal, di blog pribadi yang samasekali bukan milik mereka.

Membaca komentar-komentar tersebut menjadi sebuah ‘hiburan’ tersendiri untuk saya. Dagelan yang membuahkan senyum kecut, karena ternyata hare gene masih banyak orang yang ‘nekat’ memaksakan persepsi, pendapat dan keyakinan kepada orang lain, bahkan yang tidak dikenal secara pribadi.

Meski komentar-komentar yang masuk dimoderasi, si empunya blog tampaknya cukup berbesar hati mempublikasikan semua pendapat dan ‘khotbah’ yang terang-terangan menyudutkan dirinya, dan sejujurnya, saya malah salut akan hal itu.

Kalau saya jadi dia, mungkin saya akan menutup comment box selamanya. Toh blog itu adalah milik saya pribadi, wadah personal yang bebas diisi apa saja sesuka saya, dengan apa yang saya anggap penting dan layak muat (syukur kalau orang lain kecipratan manfaat, kalau tidak ya sudah). Toh, saya yang bercerai. Saya yang paling tahu kondisi rumah tangga saya, saya yang paling mengerti masalah di dalamnya, saya yang berjuang mati-matian mempertahankan pernikahan dan akhirnya harus menyerah – tentunya karena alasan yang sangat signifikan... dan para komentator bijaksana ini samasekali tidak mengenal saya secara pribadi untuk bisa mengetahui dengan objektif duduk perkara sebenarnya. Who are you to judge?

Itu kalau saya jadi dia. *wink*

Lalu, ada lagi kasus yang lumayan bikin ‘bengong’, yakni ketika sahabat saya memutuskan untuk keluar dari sebuah komunitas beberapa tahun silam karena ia diterima bekerja di luar pulau. Ketika ia mengambil keputusan itu (yang notabene murni karena pekerjaan, bukan karena konflik atau apapun yang negatif), semua orang beramai-ramai menghakimi dan menjauhinya. Bahkan ada yang tega berkata, “Bakal jadi apa kamu kalau keluar dari sini?”

Hal ini sempat membuat sahabat saya stres, tapi (untungnya) ia sadar bahwa hidup harus terus berlanjut dan ia tetap konsisten di jalur yang dipilihnya. Sekitar 3 tahun kemudian, ketika ia berhasil ‘membuktikan diri’ dengan meraih jabatan manajer di kantornya, barulah orang-orang di komunitas lamanya ‘mengakui’ pencapaian sahabat saya dengan kalimat, “Yah... mungkin memang jatahnya dia di situ, mungkin memang tempatnya.”

HALAH.

Bo, kenapa nggak dari dulu ngomong gituuuu? Kenapa tidak sejak awal kalimat itu diucapkan, sehingga tidak perlu membuat sahabat saya ‘berdarahdarah’ dan stres berat? Begitu sulitkah mempercayai seseorang untuk mengambil sebuah keputusan pribadi (yang by the way, tidak merugikan orang lain samasekali) dan sekadar mendukungnya tanpa menjatuhkan penghakiman?

Atau contoh kasus lain, dimana seorang teman (sebut saja namanya E) dikucilkan oleh lingkungannya karena memilih untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang di lingkungan tersebut. Selama mereka berpacaran, berkali-kali saya melihat E stres karena berbagai perlakuan yang memojokkannya, sampai berat badannya menyusut dan wajah gantengnya *ehem* jadi tampak lebih tua. Pada hari pernikahan E, tidak ada satu pun sahabat dari komunitasnya yang hadir.

Drama.

Hidup ini memang panggung drama. Penulis favorit sekaligus guru saya pernah berkata, “Dalam perjalanan ini, kita punya peran-peran untuk dimainkan. Di sinilah pentingnya kesadaran, keelingan. Lakon apa pun yang kita pilih, lakukan dengan sepenuh-penuhnya hati. Jalankan dengan kesadaran sebisa-bisanya.”

Di pentas raksasa ini, setiap orang berusaha memainkan lakon masing-masing dengan sebaik mungkin. Dan itu bukan hal yang gampang. Lalu, jika memainkan peran sendiri pun tidak mudah, mengapa harus berpusing-pusing mengurusi peran orang lain? Mengapa harus ribet dengan dialog, pembawaan dan lakon orang lain, sementara mengurus lakon sendiri saja belum tentu becus?

Atau, barangkali, kita melakukannya demi secercah kepastian yang seakan-akan mengonfirmasi ‘keabsahan’ dari apa yang kita pegang dan yakini selama ini? Jangan-jangan kita sibuk menilai, berkomentar, mengkritik, dan berkhotbah mengatasnamakan kebaikan orang yang bersangkutan, namun sesungguhnya apa yang kita perbuat tak lebih dari upaya meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang kita genggam masih layak dipertahankan dan dijaga erat – bahwa kita masih benar? Dan untuk apa semua itu? Supaya kita bisa merasa lebih nyaman untuk menghadapi realitas? Agar kita mampu lebih tabah menjalani lakon kita sendiri?

Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan kebenaran sejati? Dan siapakah yang sedang berbicara di balik setiap komentar dan penilaian yang kita jatuhkan pada lakon yang diperankan orang lain di pentas ini? Kejujuran murni dari hati yang senantiasa terbuka lebar, atau ego yang berlomba memenangkan diri?

Saya bukan pengkhotbah dan tak ingin menjadi guru bagi siapapun, namun sebagai seorang teman, izinkan saya mengajak kita semua meluangkan waktu untuk sesaat merenung. Sejenak, dalam keheningan, mari menengok ke dalam diri sendiri untuk bercermin pada sosok paling jujur yang kita temui di sana, dan cobalah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas serealistis mungkin.

Bila kita tak dapat menjawabnya dengan sempurna, mungkin ini saatnya memalingkan perhatian dari hal-hal yang bukan urusan kita dan mulai mengurusi diri masing-masing. Memainkan lakon kita sebaik-baiknya, dengan kesadaran dan sepenuh hati, sambil terus membuka mata batin. Mencari kebenaran sejati yang otentik dan tidak menjejalkan kebenaran personal yang kita miliki ke dalam wadah yang samasekali bukan milik kita.

Ya, ini juga berlaku untuk saya. :-)


*Terinspirasi dari entri ini dan percakapan jelang tengah malam dengan ibu yang sama, difasilitasi oleh promo-telepon-gratis dari sebuah provider seluler yang mati tiap 3 menit sekali. ;-D

Thursday, August 7, 2008

Janggal

Ada sesuatu yang janggal saat aku melihatmu malam ini. Bukan sesuatu yang tak menyenangkan, hanya sedikit janggal yang memercikkan berbagai rasa di hatiku.

Janggal itu singgah ketika aku melihat ke dalam matamu dan menemukan nyaman di sana, padahal kita baru dua kali bertemu. Dan pertemuan pertama kita, dimana aku menjumpaimu dengan wajah kusut, bau matahari dan rambut berminyak adalah sesuatu yang tak bisa kubanggakan.

Janggal itu muncul ketika aku mendengarmu bicara dan menemukan kehangatan yang telah lama kucari. Hangat yang kurindukan walau aku tak pernah kehilangan selimut rajut merah muda yang selalu menemaniku tiap malam. Mungkin bukan tubuhku yang mendamba hangat itu. Mungkin jiwaku.

Janggal itu terasa ketika mendengarmu tertawa dan menyimak perkataanmu, seolah aku bisa ikut menyelami setiap kata yang kau ucapkan dan menghayati setiap gelak yang meluncur dari mulutmu. Barangkali di situlah aku menyadari, telah lama aku membutuhkannya.

Janggal itu hadir ketika aku mendapati diriku bisa ikut tergelak bersamamu. Melontarkan apa yang tak mampu terverbalkan kepada orang lain, terbahak geli tanpa beban, mencabut sumbat-sumbat hati yang telah lama menyumpal jiwa.

Malam ini, jiwaku bersuara lagi ketika mendengar kata-katamu.

Malam ini, jiwaku tersenyum menyibak tawamu yang bening.

Malam ini, jiwaku menyambut separuh diriku, ketika kita bersua sekaligus berjalan sendiri-sendiri dalam hening.

Malam ini, kutemukan lagi secercah nyaman dan hangat yang didamba hati dan ragaku, ketika kusadar aku tak perlu menjadi orang lain untuk bisa bersamamu.

Terima kasih.



*Hei, kalian. Iya, kalian berdua, thanks for being an inspiration. ;-)

Saturday, August 2, 2008

Kalau Saya Mati Besok

Kamis siang, ketika sedang terkantuk-kantuk di meja sambil berulangkali melirik jam (berharap cepat-cepat lunch break *deuuuh*), handphone rekan sekantor saya berbunyi. Saya tidak memperhatikan isi pembicaraannya, sampai ia menutup telepon dan ‘mengumumkan’ pada seisi ruangan, bahwa sepupu dari teman kami resmi dinyatakan sebagai salah satu korban pembunuhan Ryan, yang sedang heboh diberitakan dimana-mana.

Berita itu sempat membuat heboh sejenak, sebelum semua orang kembali melanjutkan aktivitas masing-masing. Mendadak kepala saya nyut-nyutan. Sebagian karena udara dingin AC, sebagian lagi karena menyadari betapa ‘dekat’nya saya dengan peristiwa pembunuhan yang sedang ramai dibahas orang se-Indonesia Raya.

Gimana ya, kalau saya mati besok?

Tiba-tiba pertanyaan itu menginterupsi dengan tidak sopan. Halah.

Ah, pikiran nggak guna, tepis saya, lalu kembali melanjutkan aktivitas yang tertunda sambil terus melirik jam berharap cepat-cepat lunch break. Dodolnya, pertanyaan itu jadi terus berlintasan di otak saya.

Respons pertama saya adalah sebaris doa yang mungkin agak konyol: Tuhan, kalau saya mati besok, dengan cara apa pun, dimana pun, terserah. Tapi tolong jangan dikubur di septic tank!

*Serius, saya beneran berdoa seperti itu.*

Pemikiran kedua: seandainya saya mati besok, seandainya ini hari terakhir saya menghirup udara dunia... apa yang sudah saya lakukan dengan hidup ini?

Mendadak saya teringat dengan sebuah ‘ikrar’ yang pernah saya buat di awal tahun, tepatnya akhir Januari lalu, ketika saya menginjak 24 tahun.

Mengingat 2008 adalah tahun terakhir dimana saya masih bisa mengaku berumur 20-an awal *Hai, Dol ;-D*, saya ingin menjadikan tahun ini bermakna dan mengisinya dengan sejumlah pencapaian. Misalnya, menerbitkan novel (dimana sebelum itu terjadi, tentunya saya harus berhasil MENYELESAIKANNYA dulu. Hehehe). Atau menjadi pekerja sosial di daerah rawan konflik atau pasca-bencana. Atau traveling keliling Indonesia (khususnya Ubud, Papua dan Indonesia bagian Timur – ada yang bersedia membiayai perjalanan saya? Ha! ;-D).

Pokoknya, segala sesuatu yang bisa membuat saya berkata pada diri sendiri: “Nah, gue bisa mengakhiri 20-an awal gue dengan sebuah pencapaian.”

Pencapaian itu penting, Jendral.

Saya selalu berpikir seperti itu. Mungkin karena memang sudah dari sononya manusia memiliki hasrat untuk terus maju dan menghasilkan sesuatu di sepanjang hidupnya. Entah mengejar impian, melakukan sesuatu yang berguna bagi sesama, mengerjakan hal-hal yang dicintai (minimal sesuai preferensi lah, bukannya menjadi buruh kantor yang bekerja nine to five demi mengejar setoran thok – meskipun tentu saja itu bukan sesuatu yang salah), dan banyak lagi.

Saya masih ingat, sehari jelang ulangtahun ke-24, saya duduk di lantai kamar, merenung. Betapa inginnya saya ‘meraih’ sesuatu dalam hidup ini. Betapa inginnya saya mencapai sesuatu, setidaknya sebelum saya resmi dinobatkan sebagai perempuan berumur seperempat abad. Betapa inginnya saya mematri sebentuk rasa puas (atau bangga) di hati ini atas pencapaian apapun yang berhasil saya wujudkan.

Saya adalah seorang pemimpi, sekaligus pengejar mimpi. Betapa inginnya saya melihat mimpi-mimpi yang selama ini saya peluk erat-erat terwujud di depan mata.

Namun, entah kenapa, mendengar berita tewasnya sepupu teman saya dengan begitu menyedihkan mendadak membuat saya berpikir ulang tentang hal-hal yang selama ini saya jadikan ‘prioritas utama’ dalam hidup – yang saya kejar mati-matian dengan segala daya upaya.

-----

Semalam, teman kos saya yang sudah 3 minggu menghilang dari peredaran akhirnya pulang. Beberapa minggu ini ia ditugaskan untuk menunggui asrama sekolah dimana ia mengajar sebagai guru agama.

Penghuni asrama tersebut bukan murid ‘sembarangan’. Mereka adalah anak-anak dengan tingkat kecerdasan yang bisa bikin minder dan tercatat sebagai anggota Brilliant Class, semacam kelas akselerasi yang kurikulumnya berbeda dengan kelas-kelas biasa di sekolah yang sama.

Anak-anak ini mendapat perlakuan istimewa demi mendukung lancarnya kegiatan belajar mereka, seperti kamar tidur pribadi dengan meja belajar dan AC, laptop dengan fasilitas internet, makanan bergizi tiga kali sehari, asisten rumah tangga, plus ditunggui seorang Ibu Asrama yang siap ‘mengurus’ mereka dan menampung curhat 24 jam (plus menjadi sasaran unek-unek orang tua setiap kali ada murid yang ‘bermasalah’).

Kenapa harus sampai segitunya? Karena anak-anak ini dipersiapkan untuk menjadi juara dalam berbagai turnamen dan olimpiade, di dalam dan di luar negeri. Aset berharga, istilahnya. Dari pagi sampai sore mereka mempelajari pelajaran yang sama (kebayang nggak, belajar Fisika dari jam 7 sampai jam 3?) dan baru tidur di atas jam 12 malam. Kadang, ketika dibangunkan pagi-pagi, mereka ngelindur sambil mengucapkan rumus-rumus Fisika (ini beneran). Ketika pulang ke rumah masing-masing pada akhir pekan, mereka menenteng setumpuk buku untuk mengerjakan tugas dan laporan.

Akhirnya, semua kegiatan ini membuat mereka ‘terisolir’ dari pergaulan di sekolah. Ruang kelas yang terpisah beberapa lantai dari teman-teman seangkatan, klasifikasi berdasarkan tingkat kecerdasan (Brilliant Class, Regular Class) dan label ‘anak jenius’ yang menempel pada murid-murid ini telah memisahkan mereka dari pergaulan dan membuat mereka menjadi ‘kelompok eksklusif’ yang sulit didekati anak-anak lain. Ketatnya peraturan, terhimpitnya ruang gerak karena kurikulum dan jam belajar, serta minimnya interaksi dengan orang lain lambat laun ‘mencetak’ mereka menjadi sosok yang egosentris. Atau, setidaknya itulah yang diceritakan teman saya – hasil pengamatannya menunggui anak-anak itu selama 3 minggu.

“Mereka anak-anak jenius. Pinter banget, nilai-nilai selalu sempurna, minimal 9, tapi mereka nggak tahu apa itu ‘hidup’ yang sebenarnya. Kadang, kasihan banget lihat mereka seperti itu,” kata teman saya.

Mendengar itu, saya dan seorang teman yang menganut prinsip ‘life-is-beautiful-enjoy-it-while-you-can’ berpandang-pandangan dengan muka aneh.

Bo, nggak tahu ya untuk orang lain, tapi buat kami, cerita-cerita barusan sungguh ‘menakutkan’.

Mungkin saja anak-anak itu menikmati apa yang mereka jalani dan mencintai segala aktivitas mereka. Saya tidak tahu. Yang jelas, masih menurut teman saya, mereka berusaha mati-matian untuk mencetak prestasi. Saking kerasnya belajar, tidak jarang anak-anak itu baru bisa tidur pukul 2 pagi, dan bangun pukul 5 pagi. Mungkin saja itu memang membuat mereka bahagia, dan saya sungguh-sungguh berharap begitu. :-)

Namun, semua itu jadi membuat saya berpikir - mereview sejenak apa saja yang sudah saya lalui selama beberapa tahun terakhir.

Betapa saya berusaha keras mengejar impian. Betapa saya berupaya untuk meraih apa yang disebut pencapaian. Betapa saya rela begadang sampai pagi dan berkutat di depan komputer sampai lupa makan-lupa minum dan masuk angin... semuanya demi meraih apa yang saya cita-citakan. Dan semua itu tidak salah. Semua yang telah saya lalui membentuk saya jadi sosok yang ulet, tidak mudah menyerah dan tahan banting (pernah dengar bahwa penulis adalah profesi yang paling banyak mengalami penolakan dan kegagalan? *wink*).

Tidak ada yang saya sesali. Saya mensyukuri setiap momen yang saya lalui dalam perjalanan ini. Namun, 2 peristiwa yang saya temui kemarin membuat saya berpikir ulang; berapa banyak keindahan dalam hal-hal sederhana yang saya lewati setiap hari, setiap detik, ketika saya berpacu dalam lintasan panjang ini? Berapa sering saya melewatkan kesempatan berharga untuk menghayati kehidupan seutuh-utuhnya? Berapa kali, dalam ketergesaan dan keinginan menggebu untuk mencapai impian, saya melupakan hal-hal kecil yang berarti seperti indahnya langit senja, segarnya aroma tanah, nikmatnya menarik nafas, sejuknya air putih, merdunya tawa kanak-kanak, dan banyak lagi?

Dan seandainya... seandainya saya mati besok, akankah pencapaian yang telah berhasil saya tumpuk selama masa kehidupan ini mempunyai cukup makna – untuk diri saya sendiri, dan orang-orang yang saya tinggalkan?

Akankah saya menengok ke belakang dan berharap seandainya ada lebih banyak matahari senja yang saya nikmati, tawa kanak-kanak yang singgah di indera pendengaran ini, air putih segar yang bisa direguk sepuas hati, dan tarikan nafas panjang yang melegakan?

Akankah saya menilik perjalanan yang telah usai ini dan berharap seandainya saya lebih sering memverbalkan cinta pada orang-orang yang saya sayangi, mengucapkan terima kasih kepada lebih banyak orang, lebih sering menyapa ‘Selamat pagi’ atau ‘Selamat malam’, dan lebih banyak tertawa lepas bersama mereka yang saya kasihi dan menerima saya apa adanya?

Akankah semua itu menjadi kenangan yang lebih berharga untuk saya rengkuh, ketimbang setumpuk pencapaian dan prestasi yang mati-matian saya kejar?

Entahlah.

Mendadak, saya tak terlalu ingin lagi tergesa-gesa membuka laptop untuk secepatnya menyelesaikan draft novel. Mendadak, yang saya inginkan hanya menghirup nafas dalam-dalam, menghembuskannya kembali, dan menghayati setiap detiknya sepenuh hati...

Berjalan kaki lebih lambat sambil menikmati udara segar pagi, mendengarkan anak tetangga menangis dan gemercik air dari keran, merasakan dinginnya air yang mengguyur tubuh saat mandi, membeli gorengan di warung untuk sarapan, mengulurkan dua lembar seribuan kepada anak penjaga warung yang selalu tersenyum, menonton kucing berkejaran, bercanda dengan anak-anak kecil, mengucapkan ‘Selamat pagi’ pada tetangga kiri-kanan, menunggu angkot di pinggir jalan sambil memperhatikan keramaian pasar, meneguk air putih segar sepuasnya... tiba-tiba semua terasa begitu berarti.

Mendadak, untuk sebuah alasan yang tak saya ketahui pasti, saya tidak terlalu peduli lagi pada ikrar yang saya ucapkan di awal tahun, ketika saya bertekad akan menjadikan 2008 penuh pencapaian sehingga ‘tahun terakhir bisa menyebut diri berumur 20-an awal’ ini bisa saya lewati dengan rasa puas dan bangga.

Hari ini, awal bulan ke-8 di tahun 2008, kepuasan itu saya temukan pada udara segar pagi, air putih, aroma tanah basah, langit senja, tertawa sesuka hati, dan saling menyapa.

Hari ini, kebahagiaan itu mampu saya maknai dengan menjadi diri sendiri apa adanya, dan menghirup nafas dalam-dalam untuk menghayati sekali lagi anugerah terbesar dari Sang Pencipta: sebentuk rahmat bernama Kehidupan, yang menjadikan setiap detik begitu berharga untuk dijalani dengan ucapan syukur.

Dan itu cukup bagi saya.