Thursday, December 14, 2006

'Wacky Wednesday' used-to-be. Not Anymore.

RABU.

As known as hari yang paling bikin capek dalam seminggu (buat saya lho)
Why? Karena setiap Rabu, saya ninggalin rumah jam 06:30 pagi, dan baru bisa pulang (paling cepat) jam 10 malam. Perjalanan pulang-pergi ditempuh dengan naik-turun angkot dan ojek, masing-masing 1,5 jam (dan bagi elo semua penghuni Jakarta yang menjalani rutinitas serupa, pasti setuju banget bahwasanya kalo sampe elo menemukan satuuu aja penumpang angkot dengan aroma Kenzo eau de toilette, itu anugerah tak terhingga. Dan kalau elo menemukan tukang ojek yang menebarkan harum Bvlgari, itu mukjizat luar biasa. Kenapa gue bilang mukjizat? Karena kalo sampe ada tukang ojek yang bisa beli Bvlgari, ngapain juga dia jadi tukang ojek??)

Anyways, cukup ‘elo-gue’-nya. Balik ke topik awal, hari Rabu adalah hari yang super panjang buat gue… eh, saya. Dan tanggal 8 kemarin, enggak beda dari Rabu-Rabu lainnya. Saya menabahkan hati duduk manis di dalam angkot, sambil berdoa supaya terjadi keajaiban. Siapa tahu hari itu saya akan mendapat angkot yang supirnya tidak suka ngetem, bersedia jalan walau penumpangnya cuma satu, tidak perlu berhimpit-himpit ria, bisa duduk di sebelah penumpang dengan aroma Gatsby (saya cukup tahu diri untuk tidak mengharapkan Kenzo lagi), dan 1001 harapan muluk lainnya. Saya sedang merapatkan badan ke pintu angkot sambil menghela nafas dalam-dalam, ketika seorang wanita tua masuk dan duduk di depan saya. Usianya sekitar enampuluhan. Ia tidak membawa apa-apa - tangan rentanya hanya menggenggam dompet mungil berwarna merah. Saya memperhatikannya selama beberapa detik. Ketika melihat ke bawah, saya tertegun.

Ia memakai sandal jepit Swallow wana hijau pudar. Saya memakai Pianella.

Ia menggenggam dompet usang berlogo toko emas. Saya menyimpan uang dalam Hush Puppies.

Ia memakai blus yang amat sederhana, dan kerudung seadanya (bukan jilbab, hanya sebuah scarf tua yang diikat di bawah dagu). Saya mengenakan kemeja berlapis cardigan, dan menenteng handbag dengan Nokia seri 7 di dalamnya.

Wajahnya dipenuhi bintil, kerut, dan noda. Saya menghabiskan puluhan ribu demi sebotol facial wash.

Ia menarik dua lembar seribuan dari dalam dompet, meluruskan, serta melipatnya dengan hati-hati. Saya bahkan tidak tahu berapa persisnya jumlah seribuan dalam dompet saya.

Sorot matanya menyiratkan ketegaran, kekuatan, serta keihklasan menjalani hidup yang jelas-jelas tidak mudah. Saya mengeluh dan berberat hati menempuh perjalanan selama 1,5 jam dengan angkot.

Saya tergugu dalam hening.

Mendadak saya malu karena sudah begitu cengeng.
Mendadak saya risih dengan keluhan-keluhan saya sepanjang pagi.
Mendadak, 1,5 jam tidak lagi terasa hambar, dan naik angkot tidak lagi terasa berat.
Mendadak saya tahu makna rasa syukur yang sesungguhnya.

Rabu itu sama seperti Rabu-Rabu sebelumnya. Saya meninggalkan rumah jam 06: 30 pagi, dan baru kembali jam 22:30. Menempuh perjalanan dengan angkot dan ojek - tanpa harum Gatsby, apalagi Kenzo eau de toilette.

Tetapi ada satu yang berbeda.

Tubuh saya memang capek luar biasa, namun hati saya tidak lagi lelah.

Terima kasih, Nenek.

-Awal November 2006-

No comments: