Wednesday, August 22, 2007

Never Quit. Never Give Up.

Pria berusia awal empatpuluhan itu berdiri dengan wajah berseri-seri. Rambutnya yang tersisir rapi dan pembawaannya yang sangat khas anak muda sempat membuat saya terkecoh saat menafsirkan umurnya.

Ia sangat santai. Bibirnya hampir tidak pernah berhenti tersenyum, dan setiap kali ia tertawa matanya membentuk garis lengkung yang jenaka. Ia sangat ramah pada siapa saja, termasuk saya yang baru pertama kali dikenalnya. Humor-humornya selalu segar dan tidak pernah membosankan. Jujur, ketika pertama kali mengobrol dengannya, saya pikir ia bukanlah tipe pria yang bisa diajak berdiskusi serius dalam waktu lama.

“Saya mengenal satu keluarga,” Ia memulai ceritanya siang hari itu. Saya mengalihkan pandangan dari buku yang sedang saya pegang dan menatapnya, tapi sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan ucapannya.

“Keluarga ini memiliki seorang anak laki-laki.” Ia meneruskan. “Ketika bocah itu berumur 4 tahun, mereka menyadari bahwa ia cacat.”

Saya diam, mendengarkan. Sebagian perhatian saya masih terfokus pada buku yang sedang saya baca sebelum ia memulai konversasi itu.

“Anak laki-laki itu tidak bisa mendengar,“ lanjutnya, “Juga tidak bisa bicara. Yang bisa ia lakukan hanya lari kesana kemari sambil berteriak, seperti ini.” Ia mencontohkan dengan meniru jeritan yang menyakitkan telinga. Saya tertawa sambil mengernyitkan dahi. Sumpah, jeritan itu sangat tidak enak didengar.

“Ia juga menderita dyslexia,” sambungnya. Saya mengangguk. Saya pernah mendengar tentang penyakit itu (eh, penyakit atau bukan, ya? Pokoknya semacam kelainan yang menyebabkan si penderita kesulitan merangkai huruf; tidak bisa membaca, apalagi menulis). “Tidak ada sekolah yang mau menerimanya. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan pada seorang anak yang bisu-tuli, tidak bisa membaca, dan selalu lari sambil berteriak.”

Kali ini saya membisu. Novel di tangan saya terlupakan.

“Suami-istri itu membawa anak mereka ke berbagai dokter. Tapi dokter angkat tangan dan menyuruh mereka membawanya pulang. Semua dokter mengatakan, tidak ada yang bisa dilakukan terhadap anak itu. Ia tidak akan sembuh.”

Sampai di sini saya berpikir, betapa teganya orang-orang yang mengucapkan kalimat seperti itu terhadap orangtua yang sedih dan putus asa. Dasar nggak punya perasaan. Tapi, ternyata saya salah.

“Sesampainya di rumah, sang istri berkata pada suaminya, ‘Dokter bisa menyerah, tapi kita tidak akan menyerah.’”

“Bayangkan, punya anak seperti itu…” ia meneruskan. Lagi-lagi saya hanya diam. “Bayangkan perasaan mereka - punya anak yang tidak bisa bicara, tidak bisa mendengar, tidak bisa membaca, dan selalu berlarian sambil menjerit-jerit. Tapi mereka menolak untuk menyerah.” Mata laki-laki itu kembali berbinar.

“Mereka berdoa setiap hari. Mereka membacakan ayat-ayat Firman untuk putra mereka; tidak peduli ia mendengarnya atau tidak. ‘Kamu adalah seorang juara’, mereka berkata, ‘Kamu akan disembuhkan.’ Mereka terus melakukan itu, setiap hari. Lagi dan lagi. Terus seperti itu.”

“Setelah beberapa waktu, tidak ada perubahan apapun. Tapi mereka tetap menolak untuk menyerah. Kepada setiap orang yang menanyakan keadaan si bocah, mereka selalu menjawab, ‘Ia sudah membaik. Memang belum terlalu kelihatan, tapi sudah lebih baik.’ Selalu seperti itu, hari demi hari, 4 tahun lamanya.”

“Ketika anak laki-laki itu berumur 8 tahun, orangtuanya kembali memasukkannya ke sekolah…” sampai sini, ia memotong kalimatnya. Matanya bersinar jenaka. Saya tidak. Saya menunggu kalimat berikutnya dengan tidak sabar sambil ngomel-ngomel dalam hati atas kelakuannya yang sengaja membuat saya penasaran.

“Sejak saat itu, setiap tahun ia memenangkan penghargaan. Ia mendapat nilai tertinggi dalam setiap ujian di sekolah. Ia bahkan mengajar di kelas-kelas motivasional, memberi dukungan pada orang-orang yang mengalami kegagalan. Kalimat andalannya adalah: ‘Jangan pernah menyerah.’ Dan itu yang selalu ia ucapkan -- sampai hari ini, ketika ia berusia 15 tahun: Jangan pernah berhenti. Jangan menyerah.’

Senyumnya merekah lebar. Sejak awal saya sudah menebak, pasti cerita ini berakhir bahagia. Tapi, melihat ekspresinya yang begitu hidup, tiba-tiba saya merasa hangat.

“Orangtua anak itu membawanya kembali pada ahli terapi yang pernah menolaknya. Ahli terapi itu keluar dengan bingung dan mencetus, ‘Ini bukan anakmu!’
Si ayah balik bertanya, ‘Memangnya kenapa?’
Ahli terapi itu menjawab, ‘Anakmu, yang kamu bawa dulu itu, tidak bisa bicara. Anak ini tidak mau berhenti bicara!’”

Kami terbahak-bahak. Wajah teman baru saya berbinar-binar dan sedikit memerah. Keningnya berkilap oleh keringat. Setelah puas tertawa, ia berhenti. Tatapannya berubah intens, sementara saya menunggu dengan penasaran, apalagi yang akan dia ceritakan?

Rautnya berubah teduh. Wajahnya masih berbinar, namun kehangatan kini mendominasi ekspresi riangnya.

Saya menunggu.

Senyumnya kembali merekah.

Saya tidak akan melupakan sinar di matanya, saat dengan lembut ia berkata, “Anak laki-laki itu adalah putra saya.”
To Brother Francis -a devoted father and beloved friend- thank you so much for sharing this wonderful story. May God richly bless you and your family!

9 comments:

Anonymous said...

Hai...

Thanks banget atas postingannya... Bagus banget dan jadi inspirasi untuk aku juga :)

Setelah membaca ini, aku jadi pengen sekali ketemu dan sharing dengan teman yang menceritakan kisah ini sama kamu :)

Never Give Up!

Eh... Salam kenal juga :)

Vin

eternity ruthia said...

thanx for sharing us this story :)

Anonymous said...

Vin: Orangnya udah balik ke S'pore, nanti ya kalo ke sini lagi dikasih tau :)

Eternity: Sami-sami :)

Dody Kudji Lede said...

wow... cerita yang hebat.
setidaknya mengajarkan kepada saya yang gampang putus asa ini.
Thanks.

Anonymous said...

Doohan: Hai Doohan! Tadi siang saya juga baru berkunjung ke blog-mu :)

Saya juga masih belajar kok, dan senang sekali bisa ketemu dengan orang yang punya pengalaman luar biasa seperti beliau.

Be titip salam untuk nona sepatumerah.. salam juga untuk Kakak pung teman-teman di GMKI. Tuhan berkati! :)

*ikut2an berlogat timor :)*

Anonymous said...

Saya pernah ketemu seorang ibu, dan ada masalah dengan anaknya. Sekilas, memang ada yang 'beda' pada anaknya.. apalagi dibanding dengan teman temannya.
Ibu ibu lain di sekolah itu semua tahu ada yang 'beda' pada si anak, guru guru nya pun tahu.
Masalahnya, si ibu masih berharap anaknya hanya terlambat perkembangannya, bukan jauh tertinggal ... dan saking kuatnya harapan dia, dia mulai percaya akan hal itu...
Sampai suatu hari guru di sekolah itu bilang, sepertinya si anak butuh sekolah di tempat yang khusus ..
Saya ngga kebayang gimana patah hati si ibu ..
sejak hari itu, mereka berdua tidak pernah kelihatan lagi..


rudy

Dody Kudji Lede said...

thanks ya mbak dah berkunjung ke blog ku. sering-sering yach...

JengMayNot said...

Dyslexia bukan penyakit, tapi gangguan syaraf yang menyebabkan anak tidak bisa merangkai sequence dengan benar.

Kayaknya memang nggak bisa sembuh.. tapi... dokter itu terlalu cepat menyerah! Bisa kok anak dyslexia diajari dan dibuatkan "patch"nya biar bisa belajar bersama anak normal.

Yaah.. ini masalah kesabaran, dan dengan metode belajar yang komunal seperti di Indonesia, susah untuk diterapkan.

Jenny Jusuf said...

Thanks buat informasinya, Mama Ima :)