Beberapa sibuk memilih kopi, membatalkan pesanan untuk memilih yang lain, kemudian berdiskusi muffin mana yang paling enak. Sisanya sibuk ngobrol dengan berisik tanpa berniat menyingkir, menyebabkan antrian mandek di situ.
“Baru milih kopi, belum milih hidup.” tambah teman saya, yang langsung saya setujui.
Beberapa minggu terakhir, banyak banget kejadian menyebalkan yang saya alami (entah memang nyebelin, atau saya-nya aja yang mulai senewen), mulai dari komputer rusak, berurusan dengan manusia-manusia paling ngeselin sedunia yang kelakuannya bikin pengen garuk-garuk tanah, sampai hal-hal sepele yang dengan mudahnya bikin saya naik darah dan bawaannya pengen nyolot.
Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk berlibur.
Awalnya saya berniat pergi ke Jawa Tengah. Traveling sendirian, keliling-keliling sampe bego, miskin-miskinan kalau perlu (yang diketawain semua orang dan bikin saya bolak-balik mikir: Emang salah gitu, kalo gue jalan-jalan bukan buat shopping?).
Niat itu agak goyah setelah saya ngobrol via SMS dengan seorang kawan yang baru kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan masa jabatan di Belanda. Setelah lama tidak berjumpa *alah*, saya pikir seru juga kalau ketemuan, mumpung liburan dan Neng Supersibuk ini sedang punya waktu luang.
Niat ke Jawa Tengah sama sekali berubah ketika kawan lain mengajak jalan-jalan ke Puncak. Saya mengiyakan dan langsung mengepak pakaian untuk perjalanan selama 5 hari dengan rute Puncak-Bandung-Sukabumi.
(FYI, keputusan diambil sehari sebelum perjalanan. Super dadakan. Don’t ask why.)
24 Desember, pukul 9 pagi, saya turun dari mobil dan menarik nafas dalam-dalam, menghirup kesegaran hawa Puncak. Saat yang lain asyik melihat-lihat kaktus mini dan anggrek, saya menyelinap ke kamar mandi dan membasuh wajah dengan air dingin. Segar sekali. Tidak lama kemudian, poffertjes manis-gurih dan secangkir cokelat mengepul datang –- sajian pertama dalam liburan-menyejukkan-hati.
Saya menyesap cokelat panas, mengunyah sepotong poffertjes, melihat rimbunan pohon dan pucuk gunung di luar jendela, dan merasa kepenatan saya pelan-pelan menguap. Sebagian.
Udara sejuk. Titik-titik gerimis di kaca mobil dan di permukaan kulit. Hujan lebat yang membasuh bumi dari debu polusi. Kuda-kuda yang ditudungi plastik agar tak kedinginan. Rumah peristirahatan aneka rupa dan bentuk. Nasi timbel hangat dan teh panas. Pisang goreng bersalut keju dan cokelat. Puding nikmat diguyur vla dan kue dengan rhum yang banyak. Chardonnay dengan es batu. Bercanda dan tertawa sampai sakit perut. Mengobrol sampai mulut terasa kering. Semuanya menyegarkan hati.
Esok paginya, saya sampai di Bandung. Kali ini sendirian.
Nasi goreng sosis yang gurih. Milkshake cokelat yang menyegarkan. Menitipkan tas di sebuah factory outlet supaya bisa jalan-jalan dengan santai. Numpang men-charge handphone di tempat yang sama (mokal? Iya lah. Abis gimana lagi, kepepet, hahaha!). Berburu oleh-oleh untuk si kecil Alex sambil harap-harap cemas, mudah-mudahan tas saya aman. Bertemu si Jeng yang baru kembali dari misi-menunaikan-panggilan-hati. Mencicipi Starbucks lagi, setelah berbulan-bulan (kayak di Jakarta nggak ada aja :D). Lukisan seniman tattoo yang bikin terkagum-kagum. Cerita-cerita kocak sambil cekikikan. Menghitung mobil berplat B di parkiran mal. Membahas segala hal yang tak penting. Semuanya menenteramkan hati.
Malamnya saya berangkat ke Sukabumi.
Bertemu lagi dengan Jeng ini. Shocked mendapati ternyata dia memelihara DELAPAN anjing, sementara saya paling takut dengan hewan satu itu.
Ketika saya tersadar, semua penat sudah hilang. Lenyap entah ke mana. Mungkin terbawa hembusan angin dingin yang membuat saya merapatkan jaket. Mungkin pergi bersama uap teh panas dalam hujan bulan Desember. Mungkin menyingkir ketika saya larut dalam alur dorama. Atau ketika saya cengar-cengir norak campur senang setiap kali anjing-anjing menggemaskan itu datang untuk minta disayang (dan menjilati saya dengan lidah yang basah dan hangat)...
-----
Saya memandang keluar dari balik kaca mobil.
Kabut mulai turun. Makin lama makin tebal, sampai tidak terlihat apa-apa kecuali gumpalan putih yang membatasi jarak pandang. Beberapa orang yang tadinya tidur terbangun, duduk tegak sambil mencoba memperhatikan jalan – dan sia-sia karena kabut sangat pekat dan nyaris tidak bisa ditembus lampu mobil. Mobil-mobil lain tidak terlihat. Pohon dan pembatas jalan lenyap dari pandangan, tertutup kabut putih dingin yang bergulung-gulung.
Mobil terus bergerak. Pelan dan hati-hati. Menembus kabut tanpa suara. Merayap pasti.
Menjelang tikungan, kabut mulai menipis. Setelah melewati tikungan, gumpalan putih itu hilang sama sekali, meninggalkan pemandangan yang bersih dan jernih. Semua orang dalam mobil mendesah lega.
Sambil memandang keluar –ke jalanan yang basah oleh rintik dari langit, saya membuat sebuah keputusan untuk tahun yang akan datang. Bukan resolusi dengan daftar panjang, bukan rancangan hebat disertai target, bukan pula rencana liburan selanjutnya. Hanya sebuah pilihan sederhana untuk 2008 yang akan segera menjelang.
Saya telah menetapkan untuk terus melangkah maju, ada atau tanpa kabut.
Feliz Navidad y Año Nuevo!
Merry Christmas and Happy New Year! :)
Merry Christmas and Happy New Year! :)