Sudah ada entri yang saya tulis dan siap dipublikasikan di sini. Tapi begitu membaca ini, mendadak saya berubah pikiran.
Pelecehan seksual memang bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan korbannya bisa siapa saja *perasaan ini kayak iklan layanan masyarakat apa gitu, ya?*.
I had been there, too.
Pelakunya? Bukan pacar, bukan orang asing, bukan penjahat kelamin. Saya mengalami pelecehan seksual ketika duduk di bangku SD. Pelakunya orang yang sangat dekat dengan keluarga saya dan sudah dianggap keluarga sendiri oleh orang tua saya, sehingga akses keluar-masuk rumah dan kamar (!) terbuka lebar.
Di sisi lain, orang tua saya super-sibuk, mereka hampir tidak pernah ada di rumah dan kualitas komunikasi kami kurang baik (okay, jelek). Saya sendiri, ya namanya juga anak kecil, mau diapain juga terserah.
Peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, dan saya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi – boro-boro lapor ke Komnas HAM, mikir aja nggak. Yang saya tahu hanya, setiap kali itu terjadi, saya merasa aneh. Saya merasa tidak nyaman, that’s it.
Waktu saya beranjak besar, saya mulai mengerti... dan akhirnya sakit hati. Ya iyalah, siapa juga yang mau dilecehkan? Kalau mau, mah, namanya bukan pelecehan :-D
Beberapa tahun lalu, seorang teman bercerita kepada saya sambil nangis bombai. Ia mengalami pelecehen seksual di kamar hotel. Usut punya usut, teman saya berterus-terang bahwa ia baru berkenalan dengan laki-laki setanjahanam itu --sebut saja Pak Anu-- dan mereka baru bertemu sekali dalam rangka business meeting. Dalam pertemuan kedua, teman saya (yang waktu itu sedang menginap di hotel) tanpa curiga mengiyakan perubahan rencana yang diusulkan Pak Anu (dari yang awalnya janjian di suatu tempat, lalu pindah ke lobby hotel tempat teman saya menginap). Setengah jam berbincang di lobby, Pak Anu mengeluh bahwa suasana yang agak ramai membuatnya tidak nyaman. Dan teman saya, tanpa curiga sedikit pun, mengajaknya pindah ke... kamar.
Halah.
Setelah diinterogasi lebih lanjut (baca: ditanya pelan-pelan dengan penuh simpati), teman saya bercerita bahwa dari awal bertemu, memang ada sesuatu yang tidak beres. Pak Anu, alih-alih membicarakan masalah bisnis, malah merayu teman saya dengan memuji-muji kecantikannya, mengata-ngatai mantan pacar teman saya, sampai akhirnya obrolan nyangkut ke urusan ranjang.
Saya: “Trus, lo gak curiga?”
Teman saya: “Nggak. Ya gue pikir doi simpati aja ama gue, gara-gara gue baru putus.”
Saya: “Lha, terus urusan bisnisnya?”
Teman saya: “Gak kebahas bo, yang ada malah ngomongin gituan deh...”
Saya: “.....”
Kasus lain, sepupu saya –mahasiswa kedokteran nan alim lagi baik budi dan rajin menabung (seriously!)—mengalami pelecehan waktu sedang menunggu taksi dalam perjalanan ke kampus. Dia dibekap dari belakang, sedemikian rupa sampai tidak bisa bergerak, dan payudaranya diremas-remas. Untungnya dia cukup sadar untuk tidak panik berlebihan. Setelah meronta sekuat tenaga, sepupu saya berhasil mencakar tangan si Setanjahanam dan kabur menyelamatkan diri.
Respon pertama keluarga besar saya (selain mencaci maki Setanjahanam itu tentunya):
“Jalanan situ tuh emang bahaya, sepi-sepi gitu, suka banyak orang jahat.”
Masalahnya, mau sepi kek, ramai kek, bahaya kek, aman kek, sepupu saya tetap harus melewati rute yang sama tiap kali berangkat kuliah, karena itulah satu-satunya jalan untuk mencapai kampusnya. Tidak ada jalan tikus, tidak ada jalan lain, tidak ada alternatif kecuali kalau dapat tebengan gratis.
Meski sempat trauma, akhirnya sepupu saya kembali menempuh rute yang sama setiap hari. Berdiri di pinggir jalan yang sama (cuma tempatnya bergeser beberapa meter, hehehe), menunggu taksi pada jam-jam yang sama, dan demikian seterusnya. Apa boleh buat. Menyalahkan situasi sudah tidak ada gunanya, yang ada malah bikin tambah stress.
Meski pelecehan yang saya alami tidak pernah berujung pada penetrasi/pemerkosaan, ketika saya beranjak dewasa peristiwa itu menimbulkan bekas yang cukup dalam. Saya terluka dan sakit hati. Saya menghabiskan waktu untuk mengutuki Tuhan, membenci-Nya karena membiarkan hal itu terjadi pada saya. Mau menyalahkan diri sendiri nggak mungkin, karena semuanya terjadi di luar kendali saya sebagai bocah. Saya hanya bisa memaki 2 sosok itu: si pelaku dan Tuhan.
Masalah beres? Boro-boro. Sementara hidup terus berjalan, saya menjelma jadi nenek sihir bitchy yang mengutuk segala sesuatu dalam kemarahan.
Sampai akhirnya saya sadar, tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun; Tuhan, diri sendiri, keadaan. Walau kedengaran klise, life goes on. Ketika saya sibuk menyalahkan situasi, kehidupan tidak akan berhenti berputar.
Meski sempat berdarah-darah, akhirnya saya belajar bahwa kejadian itu bukan kesalahan saya, bukan salah situasi, dan sama sekali bukan salah Tuhan. Itu hanya sebuah peristiwa, yang terjadi pada suatu masa dan kurun waktu tertentu dalam kehidupan. Tidak lebih.
Salah si pelaku? Umm... iya juga sih, hehehe.
Intinya, saya cuma mau bilang pada seluruh perempuan di muka bumi yang pernah mengalami pelecehan dalam bentuk apa pun: Stop blaming yourself. Stop blaming your situation. Being abused is bad enough, don’t make it worse. Percayalah, itu tidak ada gunanya. Been there done that :)
Dan jangan pernah merasa nista. Nista itu kalau mencuri, menggelapkan uang orang, memfitnah, memperkosa, mencari nafkah dengan cara haram, dan masih banyak lagi yang bisa dikategorikan nista. Tapi menjadi korban pelecehan jelas bukan salah satunya.
Tidak ada yang salah dengan merasa shocked. Menangis bisa melegakan, dan sah-sah saja jadi cengeng. I cried, too. Sepupu saya menangis. Teman saya apalagi. Tapi, jangan lupa bahwa hidup harus terus bergulir.
Hari esok akan tetap menjelang, apa pun yang terjadi. Karenanya, hadapi semua dengan berani dan percaya diri. Tapi, kalau kedua hal itu terlalu sulit untuk dilakukan, setidaknya cara yang satu ini bisa menjadi resep yang ampuh untuk bangkit kembali:
Cry, and get over it.
:)
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
1 month ago
2 comments:
RUU APP ada g ya ttg pelecehan seksual?
Thank you for sharing the link with me..
Post a Comment