Saturday, May 26, 2007

Geeling Fuilty*

Semua orang yang kenal dekat dengan saya pasti tahu, saya ini biangnya ceroboh dan sering melakukan hal-hal clumsy. I’m like, queen of silly things.
Meski begitu, secara saya termasuk orang yang cuek-sebodoh-amat, saya justru menganggap hal-hal tolol tersebut sebagai sesuatu yang lucu. Dan kata orang, sih, ‘kemampuan’ menertawakan diri sendiri itu justru bagus, karena menunjukkan rasa percaya diri yang sehat (bener nggak, sih?).

Sampai kemarin siang, ketika saya ngobrol dengan seorang teman dan menceritakan sebuah kekonyolan yang tanpa sengaja saya lakukan beberapa menit berselang.

Saya menertawakan kebodohan saya itu.
Teman saya menatap saya dengan pandangan yang susah diartikan dan berujar, ”It wasn’t funny. It was painful.
Saya bengong, nggak mudeng. Apanya yang ‘painful’?
“Rasanya nggak enak, kan? Ngelakuin hal-hal kayak gitu pasti bikin kesel sama diri sendiri, toh?” Ia meneruskan, blah blah blahh

Saya diam.
Kalimatnya itu jadi membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri: Emang iya, ya? Gue ngerasa kesel sama diri sendiri gituh? Was it painful?

Dan jawabannya… Nggak, kok!

Really, I found those clumsy things rather funny.
Bukan karena saya badut pelawak yang kerjaannya mbikin orang ketawa, tapi karena… well, apa, ya? Susah dijelaskan. Yang pasti, saya tidak terlalu ambil pusing dengan segala ‘kebodohan’ yang saya lakukan, seperti: salah masuk mobil orang, tidak sengaja membawa kunci rumah teman (di luar kota!), lupa menautkan tali helm yang saya pakai hingga benda itu melayang dan hancur terlindas mobil, tergesa-gesa menutup pintu angkot sampai kaki saya terjepit, dan banyak lagi.

Tapi, merasa bersalah nggak? Ya iyalah, pasti.
Saya selalu merasa bersalah jika ada orang yang dirugikan akibat kekeliruan saya. Saya merasa bersalah pada orang-orang di dalam mobil yang shocked berat lantaran saya nyelonong membuka pintu tanpa permisi. Saya merasa bersalah pada teman saya dan keluarganya, karena mereka tidak bisa ganti sepatu selama 2 hari akibat kuncinya saya bawa. Saya merasa bersalah karena telah menyebabkan helm teman saya hancur.

Tapi setelah semuanya berlalu, ya sudah.
Saya menyesal, saya minta maaf, bertekad tidak mengulangi kesalahan yang sama, and that’s it.
Saya tidak pernah berpikir seperti yang diucapkan teman saya itu, sampai saya mendengarnya kemarin siang.

Iseng, saya mengambil handphone dan mengirim pesan pendek secara masal:
Clumsy ada obatnya nggak, sih? Anyone? :D

Pesan terkirim.
Selama menunggu balasan, saya jadi gelisah sendiri -- entah kenapa. Perkataan teman saya terus terngiang-ngiang, membuat saya tidak enak hati. Padahal sebelumnya saya baik-baik saja.
Dan saya jadi mulai mempertanyakan, ini yang ‘nggak pas’ sebenernya persepsi saya, atau dia?

“Rasanya nggak enak, kan?”
--> Hmmm, ya, kadang-kadang memang membuat saya berpikir, “Duh, dasar clumsy..”

Tapi…

“Ngelakuin hal-hal kayak gitu pasti bikin kesel sama diri sendiri, toh?”
--> Well, sometimes… tapi setelahnya ya sudah. Saya justru bisa tertawa.

It wasn’t funny. It was painful.”
--> Nggak, ah.

And it wasn’t a denial. I really love myself for who and what I am.
Kesalahan konyol yang saya lakukan tidak sampai membuat saya berlarut dalam penyesalan. Lagipula, buat apa?

Saya percaya rasa bersalah adalah sesuatu yang baik, yang bersumber dari kesadaran (dan keinginan) untuk melakukan apa yang benar. Rasa bersalah adalah rambu yang akan menjagai dan memberikan sinyal agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama. Rasa bersalah adalah tanda bahwa hati kecil ini masih mampu berbisik, mengingatkan dan menegur. Bahwa nurani ini masih terus terjaga.

Yang diperlukan hanya kebesaran hati untuk mengakui dan menerima apa yang telah terjadi (lengkap dengan segala konsekuensinya), dan berpaling dari kesalahan itu. Memperbarui diri dengan segenap kesungguhan, dan terus menjelang hidup dengan berani. Tidak berkubang dalam 'why oh why gue begini, begitu, blablabla', namun bertekad untuk jadi lebih bijaksana dan menyongsong hari dengan kekuatan yang baru. Kekuatan yang membuat kita bisa terus tersenyum, bahkan di tengah kegagalan dan airmata.

Tapi kalau salah lagi gimana?
Kalau kejeblos lagi gimana?!

Selama matahari masih bersinar, selama pagi terus menjelang dan selama masih ada nafas di tubuh kita; yakinlah, akan selalu ada kesempatan baru. :)

As for clumsy little mistakes, akhirnya saya memilih untuk ngutip Gus Dur: Gitu aja kok repot!! :DD
*sama dengan: Juk jerus, tambel serasi, ngurak bas… ngikuttt yaks, Mbak! :D

No comments: