Wednesday, May 2, 2007

Permisif!

Akhir Agustus lalu, seorang sahabat menelepon sambil menangis dan curhat urusan patah hatinya. Kami ngobrol sampai jam 4 pagi dan saya sempat ikutan mewek -- terenyuh dengan ceritanya. Sejak malam itu, hidup sahabat saya bagaikan roller coaster. Bukan cuma harus menanggulangi sakit hatinya; ia juga harus berurusan dengan gosip-gosip yang lumayan ‘sadis’ -secara ia orang yang cukup ‘dikenal’ di komunitas kami (terkutuklah kalian wahai para penggosip!)- dan menanggulangi tekanan dari berbagai pihak.

Di saat-saat seperti itu, banyak orang menghampirinya untuk memberi nasehat. Kebanyakan berupa kritik dan dorongan yang menuntutnya untuk bisa secepatnya keluar dari masalah tersebut.

'Harus begini, harus begitu. Nggak boleh ini, nggak boleh itu. Pokoknya jalani seperti ini, titik.'

Bukannya sembuh, sahabat saya justru makin tertekan. Kondisinya bertambah buruk bukan karena sakit hati saja, melainkan karena tuntutan-tuntutan yang dirasanya terlalu berat dan ‘sama sekali tidak mengerti kondisinya’.

Waktu sedang iseng, terlintas di benak saya untuk mengumpulkan SMS-SMS curhatnya dalam 1 folder khusus di handphone. Hanya dalam beberapa bulan, SMS yang terkumpul mencapai 500 lebih, dan call duration saya membentur angka 92 (jam!).

Sekali waktu ia bercerita, seorang kawan meneleponnya (cuma) untuk ngomel dengan nada tinggi. Alasannya, gemas dengan sikap sahabat saya yang dinilai kurang tegas. Level tuntutan itu rupanya sudah berubah. Bukan lagi sekedar saran, namun sudah menjadi ‘perintah’ -- yang kalau tidak dituruti, ya siap-siap aja mendapat omelan berikutnya.

Ini terjadi lebih dari sekali. Kawan yang sama juga beberapa kali menanyai saya perihal kondisi sahabat saya itu, sampai akhirnya saya jengah sendiri dan berbohong dengan mengatakan ‘tidak tahu’ (ya maab deeeh…) - daripada diinterogasi terus?! Kalaupun saya punya jawaban atas pertanyaan tersebut (dan emang punya sih, sebenernya.. *wink*), nggak mungkin kaleee saya membocorkan urusan pribadi sahabat sendiri!

Don’t get me wrong here. Kritik dan tuntutan tersebut tidak sepenuhnya salah. Saya percaya hal-hal ini muncul dari niat baik (dan tulus) orang-orang yang bersangkutan. Masalahnya, sahabat saya sedang berada dalam kondisi yang sangat rapuh dan tidak siap dibombardir dengan berbagai hal yang terlampau berat.
Kasarnya, simpati yang dijalankan tanpa dibarengi empati.

Selama masa-masa sulit itu saya hanya bisa membantu semampunya. Saya memberikan advice secara ringan, yang sering kali saya ‘bungkus’ dalam candaan. Buat apa lagi menuntutnya macam-macam? Ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan, dan ia memiliki kehendak bebas untuk membuat keputusan demi kebaikannya sendiri. Tugas saya sebagai sahabat adalah mengingatkannya agar selalu memilih yang terbaik, menghormati keputusannya, mendukung dan mendoakannya; bukan ngomel maupun nuntut ini-itu yang akhirnya malah menambah barisan sakit hati.

Akhir Desember, saya menerima SMS berisi ucapan selamat natal darinya. Isinya sedikit out of topic, tapi cukup ampuh untuk membuat saya senyum-senyum terharu:
Met natal jen..jujur gw seneng bget pny temen yg ga jaim n ngertiin gw bnget..n btw thanks jg y buat smua waktu yg elo sediain buat gw waktu gw ada di titik terendah dalam hidup gw,n thanks buat pengertian yg elo ksih ktika lo ga nuntut gw tuk bgini n bgitu..thanks y jen..

Beberapa hari lalu, saya ngobrol via telepon dengan seorang teman (who seems to be my next best friend ^_^ hai, jeng!), dan ia melontarkan 1 istilah yang nempel di otak saya detik itu juga: Permisif.

“Gue mah orangnya permisif banget, apa-apa boleh!” Cetusnya.

Saya tergelak dan langsung merasa lega.

Ternyata masih ada juga orang yang permisif di dunia ini (baca: di lingkup pergaulan saya) -- yang tidak memandang tuntutan, perintah dan omelan sebagai hal terpenting yang harus segera dijatuhkan pada orang-orang yang ‘sedang berada di titik terendah’.

Percayalah, kadang yang mereka butuhkan bukan vonis, kritik pedas maupun teguran mentah-mentah. Yang mereka perlukan hanya telinga yang mendengar dan hati yang cukup luas untuk memberi arahan terbaik -- untuk kemudian mengembalikan keputusan ke tangan mereka, membiarkan mereka memilih dan menghormati (serta tetap menerima) mereka, apapun hasilnya.

Saya sendiri sudah mengalaminya.


‘Tuk djeng OP (eh, boleh nyebut nama gak sih?), thanks so much, yup… for being permissive!! :) Our conversation made me feel 'accepted' for who I am and it was sooo relieving. Thanks for helping me gain my confidence back! (dan kayaknya gue udah ketularan lo nih.. cari gara-gara –-plus cari ribut-- nulis beginian segala! ^_^)

Untuk para penuntut jaya (jika kalian membaca entry ini – walau saya berharap TIDAK), please, understand us. Give us some space. Kami bukan pemberontak, kok. Cuma segelintir orang yang pengen sekali-sekali bisa hidup ‘bebas’ tanpa dibebani urusan-urusan riweh… (dan please jangan bilang, “kalau gitu ngapain masih bareng-bareng kita?!”)

Last but not least, untuk pengunjung blog tercinta yang mungkin sudah penasaran, dari tadi ngomong ‘tuntutan’, ‘tuntutan’ melulu.. emang kayak apa sih tuntutannya? Maaf saya enggak bisa menjabarkannya di sini, karena: (1) kepanjangan (2) tindakan mempublikasikan hal tersebut secara detil hanya akan menambah kesulitan saya seandainya entry ini dibaca oleh pihak-pihak tertentu. (I know, I know.. 'kalo takut ngapain ditulis?!') Ya maabbb… :)

1 comment:

Anonymous said...

permisiiif..
ini blognya jenny ya? :P