--pluk--
Saya meraba telinga kanan, lalu memungut kabel hitam tipis yang tergeletak di pangkuan. Kembali memasang earphone yang sudah berkali-kali jatuh sambil menghela napas panjang. Sejak tadi, hanya itu yang saya lakukan. Berulang-ulang menarik napas. Bukan karena earphone yang sudah uzur dan minta di-lem biru (lempar, beli baru), namun karena topik program radio yang sedang saya dengarkan sangat menguji kesabaran mental.
Penyesalan mulai merambat naik. SMS yang dikirimkan sahabat saya –narasumber tetap siaran radio gila (atau narasumber gila siaran radio tetap? Au ah. *wink-wink*)— tepat sebelum siaran dimulai sudah cukup memicu kecurigaan bahwa topik pagi ini akan mengusik kesejahteraan jiwa. Still, saya memasang earphone dan mencari-cari gelombang yang tak pernah berhasil saya hafal frekuensinya.
Topik yang menjadi objek pembahasan kali ini adalah tema yang sudah berkali-kali kami (saya dan sahabat) obrolkan dan selalu berhasil membuat saya cengar-cengir sebal, yakni mengenai penilaian yang tidak seimbang tentang uang, mentalitas ‘punya tapi miskin’, perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari (gila diskon, refleks menawar sampai ke satuan terkecil, penerapan ‘hemat pangkal kaya’ nan hiperbolis, perhitungan yang akurasinya sangat terjamin –kalau soal uang, ya. Soal lain mah belum cenchu- irit-pahit-medit, de-el-el. Yang belum tinggal bikin berhala dari duit aja)... sampai dampaknya terhadap ketenteraman batin.
Setiap kali pembahasan itu muncul, saya hanya mesam-mesem konyol dan membela diri sebisanya, atau balas nyeplos sekenanya. Tak pernah menganggapnya serius. Sampai sahabat saya nyeletuk bahwa ia berniat mengadakan seminar dimana pesertanya diharuskan membakar uang dan menggunting kartu diskon demi mengikis mentalitas ‘berduit tapi miskin’ yang meracuni pikiran seperti asap hitam knalpot bis kota –mengaburkan kejernihan pandang dan membuat sesak napas— saya masih mengira bahwa ia cuma bercanda. Main-main. Tidak sungguhan. Orang gila mana yang nekat membakar uang yang diperoleh dengan kerja keras? Emangnya duit turun dari langit?
Untung tak dapat diraih, malang tak da *...ah, sudahlah*. Ternyata, sahabat saya tidak bergurau. Bedanya, ia tidak benar-benar membuat seminar, melainkan mengangkat topik tersebut dalam pembahasan radio hari ini. Lengkap dengan latihan bakar-membakar, yang demi keamanan lingkungan, diganti dengan sobek-menyobek. Iya, uang. Bukan kertas bekas, bukan bungkus pisang goreng. Dan saya merasa ‘terjebak’.
Separuh otak saya langsung ribut menyuruh mematikan radio, namun untuk alasan yang tak pasti, saya malah terus mendengarkan. Setiap jeda iklan dan lagu, saya berulang kali tergoda menekan ‘switch off’ dan melanjutkan tidur, tapi sinkronisasi tidak berlaku pagi ini.
Dan terjadilah momen sialan bersejarah itu. Sahabat saya mengeluarkan selembar limapuluh ribuan (iya, uang. Bukan daun singkong) dan mendekatkannya pada microphone (eh, dideketin nggak sih? Pokoknya gitu lah). Bunyi sobekan yang terdengar –lambat dan jelas— nyaris mengubah saya menjadi psikopat.
Limapuluh ribu. D i s o b e k.
Dan masih banyak orang di luar sana yang nggak bisa makan.
Yang nggak mampu beli baju.
Yang nggak sanggup bayar uang sekolah.
Yang banting tulang jadi kuli demi mengais rupiah dan bisa mati setiap saat ketimpa beton.
Yang jualan koran di lampu merah saat panas terik cuma supaya bisa dapet sepuluh-duapuluh ribu.
Yang ngesot-ngesot mengemis di pinggir jalan.
Yang naik-turun ngamen di angkutan umum dengan resiko kelindes kontainer.
Limapuluh ribu. D i s o b e k.
Dan ia masih berani mengajukan ‘saran’ kepada pendengar untuk melakukan hal serupa. Tidak harus sama jumlahnya, boleh mencoba dengan nilai satu persen dari total gaji.
Tidak banyak, memang. Katakanlah gaji yang didapat satu juta, maka yang disobek ‘hanya’ sepuluh ribu rupiah.
Tapi kan, bok... TETEP AJA DUIT!!!
Siaran selesai tak lama kemudian, dan saya sungguh penasaran ingin melihat tampang para host yang agaknya tidak kalah shocked dengan latihan berbasis terapi itu. Saya meraih dompet dan melangkahkan kaki ke warung nasi untuk membeli sarapan. Tapi, sepanjang jalan, benak saya tak henti-hentinya bergemuruh. Entah kenapa. Saya kehilangan konsentrasi dan hanya berjalan menyeret kaki seperti orang bodoh. Untung nggak ketabrak truk.
Sekembalinya ke kosan, saya duduk di ruang tamu dan menyantap sarapan sambil terbengong-bengong. Seperti orang ‘hilang’. Pikiran saya menolak diajak berfokus, namun saya juga tak mampu mencermati kemana ia mengembara.
Mendadak, entah darimana datangnya, saya merasakan sesuatu ‘bergolak’ di dalam diri. Saya bahkan tidak sempat menelusuri sumbernya, karena ia muncul begitu saja tanpa terbendung. Campuran antara sengit, kesal, dan tidak rela. Ingatan tentang suara uang yang disobek semakin memicu refleks untuk mengambil pisau dapur dan memutilasi orang. Semakin mengingatnya, semakin saya membenci ‘adegan’ itu. Semakin saya bersumpah TIDAK AKAN PERNAH melakukan ketololan kegilaan serupa. No freaking way, orang Sunda bilang.
Namun, sebagaimana sinkronisasi tidak berlaku pagi ini, tangan saya justru memunculkan respon berkebalikan.
Cepat, tanpa berpikir, saya mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dari dalam dompet. Kemudian merobeknya sekuat tenaga persis seperti perempuan yang baru patah hati menyerpih koleksi surat cintanya sampai potongan terkecil. Setelah sobekan-sobekan itu teronggok di atas meja –sekumpulan kertas yang kini tak lagi punya makna—barulah saya merasakan sensasi lain: dada saya sesak oleh luapan emosi. Bahkan tanpa saya tahu kenapa.
Amarah itu menggelegak. Seperti air mendidih yang siap meluber. Saya merasa perlu masuk ke dalam gua demi menetralisir emosi, atau saya akan mencekik makhluk hidup pertama yang saya temui. Saya merasakan kemarahan yang amat-sangat, entah pada siapa. Tanpa alasan spesifik.
Ketika wajah sahabat saya hadir dalam benak, percikan api itu seperti bertemu bensin. Stimulus yang cukup fatal. Saya betul-betul marah. I seriously wanted to murder him. Dan berhubung sahabat saya akan menjalani trip ke luar negeri dalam waktu dekat, saya sempat berpikir, “Bagus deh, sebaiknya emang gak ketemu-ketemu dulu… demi mencegah pertumpahan darah.”
Saya memandangi sobekan uang yang tertumpuk di meja, dan lagi-lagi menghela napas. Panjang dan lama itulah Coki-Coki .
Bo, d-u-a-p-u-l-u-h r-i-b-u. Kebuang begitu aja. Disobek-sobek pula. Ampunilah saya, Gusti nu Agung. Semoga nggak sampai kualat.
Singkat cerita, tak lama setelah saya kekenyangan memamah ransum, handphone berdering. Sumpah mati saya malas mengangkatnya begitu melihat nama si penelepon.
Entah berapa puluh menit saya habiskan untuk mencaci-maki marah-marah, nggerundel nggak jelas, bahkan berkata keras-keras: “KETERLALUAN, IH!”
Saya tahu, tidak adil berkata seperti itu kepada sahabat saya, karena toh tindakan menyobek-nyobek uang adalah keputusan saya sendiri. Tanggung jawab saya sepenuhnya. Lha, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa, kok. Tapiii… tetap saja, saya perlu menyalahkan orang lain supaya bisa merasa lebih baik.
*Sounds familiar? ;-D*
Ia tidak marah, malah tertawa-tawa. Dan membuat saya semakin jengkel. Menit-menit berikutnya saya habiskan dengan berulangkali menarik napas dan mengomel. Sampai akhirnya saya capek sendiri. Sempat muncul perasaan ngilu yang awalnya saya kira akan tumpah keluar. Saya pikir saya akan menangis. Dan ia bilang, tidak apa-apa. Saya boleh menangis. Tapi, ternyata nyeri itu hanya sesaat. Luapan energi yang terasa mencengkeram tiba-tiba melonggar, dan saya kembali termangu-mangu. Masih sambil mengoceh, tapi tidak seintens tadi. Pegel, bok.
“Why should I listen to you?”
Meski terdengar kasar, dalam kondisi seperti ini saya benar-benar tidak ingin menahan apa pun. Saya membiarkan diri saya berceloteh sepuasnya, mengeluarkan apa saja yang bergolak di dalam tanpa merasa perlu menyensornya.
“You don’t have to. Just experience it,” ia menjawab kalem.
Perlahan, emosi saya menyurut. Yang tertinggal kini hanya lelah. Seperti orang habis berolahraga... atau dehidrasi? Orang yang baru selesai berolahraga seharusnya merasa segar. Saya hanya merasa letih. Seperti ada tenaga yang hilang dari diri saya. Namun gejolak itu, angkara murka *halah* yang meletup-letup sejak mendengarkan siaran, mulai kehilangan daya genggamnya. Mengendur. Hanya menyisakan penat, yang entah kenapa, terasa... benar. Nyebelin, nyakitin, tapi benar. Seakan-akan memang itulah ‘jatah’ saya. Pengalaman yang harus saya lalui dan reguk esensinya, meski rasanya jauh dari enak.
Dan kemarahan itu... yang bahkan tak saya mengerti karena timbul begitu saja tanpa analisa logis... yang menyembul dan ‘membakar’ saya... rasanya kini mulai saya pahami.
Perasaan itu muncul karena saya merasa keyakinan saya terenggut. Diambil secara paksa oleh tangan yang tak terlihat. Apa yang saya anggap benar dari hasil observasi, studi kasus dan pengalaman hidup bertahun-tahun –okay, okaaay, sebagai hasil pembenaran diri— seperti terampas begitu saja dan saya tak kuasa mencegahnya. Kebenaran semu yang saya rengkuh erat-erat itu direnggut oleh siaran sembilanpuluh menit dan dua lembar sepuluh ribuan yang kini teronggok dalam serpihan-serpihan kecil. Tak peduli berapa nominalnya, yang saya tahu hanya, rasa ‘sakit’ itu benar-benar nyata. Dan saya terkesima sendiri. Tidak menyangka emosi saya bisa bergolak sedahsyat itu hanya karena uang duapuluh ribu.
Sebelum mengecam saya sebagai makhluk pelit nan medit, mari saya jelaskan sesuatu. Saya bukan orang yang anti mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak memberi timbal balik kepada saya. Dalam kondisi-kondisi tertentu, saya sama sekali tidak keberatan mengeluarkan uang yang nominalnya bahkan jauh lebih besar dari yang baru saya sobek, untuk sesuatu yang tidak mendatangkan keuntungan apa pun. Sebagai umat Kristiani yang baik, saya tidak pernah lupa menyisihkan sepersepuluh (sepuluh persen lho, bukan satu persen) dari penghasilan saya untuk diberikan kepada Gereja. Bukan sekali-dua juga saya mentraktir office boy (ketika masih jadi pekerja kantoran dulu), memberi sembako, membelikan makanan untuk anak-anak jalanan, menyumbang untuk berbagai kegiatan sosial, dan sebagainya.
*Stop sebentar. Sebelum saya melanjutkan, tolong pahami bahwa saya menulis hal-hal di atas bukan untuk pamer budi. Saya hanya menjelaskan apa yang saya rasa perlu. Don’t get me wrong, K?*
Saya tidak punya masalah dengan itu semua. Bahkan, ketika saya terpaksa ‘kehilangan’ sejumlah uang karena kebodohan dan kecerobohan saya sendiri –seperti dikibulin supir taksi, termakan rayuan investasi berbasis agama yang ternyata penipuan, ikut-ikutan main saham dan rugi banyak, atau kalap belanja sampai uang ludes untuk hal-hal nggak penting— saya tidak pernah berlarut dalam penyesalan. Bagi saya, selalu ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari setiap peristiwa. Kebodohan dan kecerobohan akan menjadikan saya lebih mawas diri dan berhati-hati dalam mengelola uang. Mempersembahkan sejumlah uang ke tempat ibadah adalah sesuatu yang sudah seyogianya dilakukan, karena itu tertulis dalam buku panduan sejuta umat kitab suci. Berderma kepada mereka yang membutuhkan senantiasa membuat hidup terasa lebih berguna mendatangkan kepuasan batin yang tak terukur nilainya. Setidaknya, saya tahu apa yang saya keluarkan bermanfaat bagi orang lain.
Tapi... menyobek-nyobek uang... meski nilainya ‘hanya’ duapuluh ribu...
...seperti mengobok-ngobok kakus dengan tangan telanjang.
Pergumulan batin saya *tsah!* tidak berhenti sampai di situ. Prinsip ideal tentang uang yang sudah terkonstruksi di benak ini -dan entah sudah berapa lapis karatnya akibat dibiarkan berkerak bertahun-tahun- telah menjelma menjadi sesuatu yang saya rangkul sebagai kebenaran. Setidaknya, untuk diri saya sendiri. Saya demikian percaya diri dan selalu memandang prinsip itu sebagai pilar kokoh penopang kelangsungan hidup, yang tanpanya, separuh diri saya tiada. Dan kini, pilar itu luluh sudah. Bangunan kecil saya terguncang, siap runtuh.
Lama setelah percakapan kami berakhir, saya masih termenung. Saya meraih serpihan-serpihan uang itu. Sahabat saya berpesan agar sobekan itu tidak dibuang, supaya saya bisa melihatnya sesekali dan mengingat pelajaran berharga di balik ‘latihan’ itu. Bahwa apa yang saya anggap sebagai barang berharga sesungguhnya tak lebih dari selembar kertas. Benda itu tidak memenjarakan saya. Penilaian atasnyalah yang menjadikan saya terpenjara. Harapan dan ketakutan yang tersimpan di balik pemahaman yang keliru telah menciptakan begitu banyak konflik dan stres di dalam batin.
Saya meletakkan sobekan-sobekan itu di atas tempat tidur dan terpekur menatapinya. Lama. Kemudian, saya mengeluarkan handphone dan memotretnya.
Lalu, bagaikan disiram air dingin di siang bolong (atau kesamber petir di tengah lapangan – kira-kira efeknya sama, lah), saya terperangah. Kesadaran itu menyerbu benak saya bagai sekumpulan prajurit yang mengendap-endap; menyelinap dan menunggu aba-aba untuk menyerang. Untuk memancingnya keluar hanya dibutuhkan sepenggal isyarat... atau seberkas sinar dari handphone berkamera yang saya genggam.
Kesadaran itu muncul berupa pencerahan. Melalui duapuluh ribu yang hancur tersobek-sobek, saya berjumpa dengan sisi lain dalam diri saya. Bagian dari Jenny yang nyata, ada, meski tak pernah saya sadari keberadaannya. Saya menemukan berlapis-lapis lensa yang membatasi jarak pandang dan cara saya melihat hidup. Saya menemukan keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang terwujud dalam kerja keras, dengan label mengejar impian. Berbarengan dengan padamnya lampu kamera; bersamaan dengan munculnya gambar pada layar handphone, saya sadar... saya adalah sebatang bonsai yang mengira dirinya pohon raksasa. Saya adalah burung kecil yang terlalu takut terbang ke angkasa dan mematuk orang yang membukakan pintu kandangnya.
Masih ‘shocked’ dengan perubahan emosi dan reaksi hati yang bagaikan rollercoaster, saya memilih untuk duduk diam. Mengamati apa yang timbul ke permukaan. Hanya merasakan, sepenuhnya. Tanpa menilai.
Lalu, datanglah rasa terakhir, yang tak saya sangka akan muncul. Tipis, namun perlahan menguat seiring ‘pulih’nya kesadaran saya. Memenuhi ruang pikiran yang masih terlampau peka untuk mencerna apa yang terjadi.
Rasa itu bernama Bangga dan Lega.
Bukan karena merasa hebat. Bukan karena merasa lebih. Namun karena saya merasa ‘menang’. Bukan atas siapa-siapa, melainkan atas berbagai konflik yang telah lama membelenggu batin tanpa saya sadari.
Dalam serpihan-serpihan kertas itu, saya bersua dengan separuh diri saya yang lain. Jenny yang berani. Bukan berani merobek uang, namun berani menghadapi monster yang bersemayam di dalam diri, menerimanya apa adanya, dan –akhirnya- berdamai dengannya. Menyongsong langit biru yang selama ini hanya mampu saya pandangi dari balik sangkar meski pintunya telah lama terbuka. Menjelang kebebasan yang terhampar di depan mata sepenuh hati; tanpa mempertanyakannya, tanpa bergumul. Memandang hidup bukan lagi sebagai arena gulat dimana saya bertempur dengan harapan, keinginan dan ketakutan, melainkan taman bermain dengan aneka wahana yang terkadang menguji nyali, membuat tertawa gembira, merengut sebal, berdebar-debar, dan banyak lagi. Di tengah rasa yang silih berganti hadir –entah itu mencekam, menghanyutkan, menyenangkan, membuat ketagihan— saya sadar bahwa saya hanya sedang bermain.
Dan akhirnya, saya tersadar. Keberanian sejati mungkin bukanlah keberanian untuk membela apa yang kita pandang benar, menjunjungnya tinggi-tinggi dan melindas apa pun yang menghalangi jalan kita. Bukan juga keberanian untuk berhadapan dengan rasa takut tanpa tergoda mundur. Bukan pula keberanian untuk berdiri gagah menentang kelaliman dan menyongsong maut di medan perang.
Keberanian sejati, mungkin, adalah keberanian untuk menyadari penjara yang mengungkung kita selama ini; melihat jeruji-jerujinya sebagaimana adanya -bukan kamar emas beranjang empuk tempat sepiring makanan disuguhkan setiap hari, melainkan pasung yang membelenggu kemerdekaan batin-... lalu mengambil keputusan dan bertindak membebaskan diri – apa pun wujud kebebasan itu. Meski dunia mencela kita sebagai idiot separuh gila.
:-)
*Entri ini saya dedikasikan untuk Pawang Sobek tercanggih sepanjang masa. Selamat, Anda berhasil! Tapi, ingatlaaah... selama Partai Kaypang belum resmi dibubarkan, mawas diri biar nggak ketularan hendaknya perlu. ;-D