Saya dan seorang teman berencana pergi bersama. Belum lagi niat itu terlaksana, saya merasa terganggu dengan aroma bawang yang menguar dari tubuhnya. Bukan ‘bawang’ yang merupakan kiasan bau badan, tapi bawang yang sebenarnya. Celakanya, saya tidak tahan dengan aroma bawang.
“Kamu baru masak pakai bawang, ya?” saya bertanya setengah menuduh. Aroma itu semakin tajam, benar-benar mengganggu. Saya menatapnya dengan bimbang. Lebih baik tidak jadi pergi daripada tersiksa sepanjang jalan.
“Iya. Kamu nggak suka, ya?” ia mendekatkan tangan ke hidung dan mengendusnya. Ketika saya mengiyakan, ia berkata enteng, “Kalau aku sih udah biasa masak pakai bawang.”
Detik berikutnya, saya membuka mata. Saya sedang berada di tempat tidur, bergelung seperti bayi dengan selimut tebal. Di luar hujan. Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Berarti baru 4 jam saya tidur, setelah semalaman begadang membaca novel.
Bukan mimpi itu yang membangunkan saya, melainkan kenyataan bahwa hidung saya benar-benar mencium aroma bawang yang tajam menyengat. Selama beberapa detik saya melongo—antara percaya dan tidak.
Saya keluar dari kamar. Seseorang baru selesai memasak dan aromanya memenuhi kamar saya yang tepat berseberangan dengan dapur. Saya menghela nafas. Bukan saja saya tidak bisa kembali tidur; saya harus ‘membersihkan’ sarang saya dari aroma itu sebelum masuk lagi ke sana.
Sambil menunggu aroma bawang lenyap, saya melamun sendiri memikirkan mimpi aneh tadi.
Indra penciuman saya telah menangkap aroma bawang yang saya benci ketika saraf-saraf saya yang lain—yang masih terlelap—belum menyadarinya. Dengan mekanisme yang tidak saya pahami, otak saya menyeleksi aroma asing itu dan mengelompokkannya ke dalam kategori ‘bau-bauan tidak enak’, lantas menciptakan ilusi berupa mimpi untuk ‘mengalihkan’ perhatian saya. Sebuah mimpi yang memang berhasil menahan tidur saya selama beberapa menit sebelum akhirnya saya sungguhan terjaga.
Sepanjang pagi, tidak habis-habisnya saya merenungi kejadian itu dan merasa kagum sendiri atas kemampuan pikiran (alam bawah sadar—atau apa pun namanya) yang supercepat, supertanggap dan superkreatif dalam ‘menanggulangi’ sebuah masalah—bahkan sebelum kesadaran saya mampu mencerna masalah tersebut. Agar saya tidak perlu terbangun, diciptakanlah mimpi yang mengonfirmasi ketidaksukaan saya, dan lucunya, orang yang berinteraksi dengan saya di mimpi itu adalah orang yang sedang bertengkar dengan sahabat saya di kehidupan nyata. Beberapa hari terakhir, sahabat saya rutin mengadukan kekesalannya atas ulah seorang kawan, dan meski saya berusaha netral, sedikit banyak saya ikut terpengaruh oleh peristiwa tersebut. A ditambah B, dan voila, pikiran saya dengan kreatif memasok ilusi masakan bawang yang dibuat oleh orang yang tidak saya sukai demi menutupi fakta sederhana bahwa tepat di depan kamar saya seseorang (hanya) sedang memasak.
Saya termangu mendapati betapa sederhananya kenyataan itu, dan betapa kompleksnya cara kerja pikiran dalam (berusaha) menanggulangi sebuah masalah—di mana yang disebut ‘masalah’ sesungguhnya tidak lebih dari sesuatu yang tidak saya sukai.
Lucu, bagaimana perangkat yang didesain untuk menolong manusia berevolusi dan menapaki perjalanan hidup sebagai makhluk berakal budi sanggup menciptakan berbagai ilusi yang mengaburkan pandangan dari kenyataan sederhana yang sebenarnya terjadi. Jangan-jangan, sebenarnya tidak pernah ada yang salah dengan hidup ini. Jangan-jangan, segala sesuatu yang terjadi hanyalah ‘ada apa adanya’. Jangan-jangan, kita sebenarnya bertanggungjawab atas ilusi yang diciptakan pikiran ini, sementara pada saat yang sama kita menudingkan jari pada begitu banyak hal di luar sana yang kita anggap sebagai sumber masalah—sedangkan apa yang disebut ‘masalah’ sebenarnya tidak lebih dari sesuatu yang tidak kita sukai.
Jangan-jangan. Saya sendiri tidak tahu. Namun kemungkinan itu ada.
Anda yang membaca judul di atas barangkali berasumsi bahwa saya menulis artikel self-help mengenai kekuatan pikiran dan bagaimana memaksimalkan potensi tersebut untuk menolong seseorang mencapai keberhasilan. Sebut saya naif, namun saya berpendapat, mustahil untuk hidup dalam kekuatan pikiran yang sejati jika seseorang tidak betul-betul memahami cara pikirannya bekerja. Jangan-jangan, segala konsep motivasional yang kita kenal selama ini tidak lebih dari ilusi yang diaminkan dengan mata setengah terpejam, karena apabila segala faktor yang melatari konsep tersebut dirunut ke belakang, kita hanya membentur sebuah alasan yang sama: kita ingin bahagia.
Jika demikian adanya, lantas apa hubungan antara kebahagiaan dengan kesuksesan? Kebahagiaan dengan mencapai hal-hal tertentu yang kita inginkan? Mengapa kita memerlukan kondisi tertentu agar bisa bahagia? Mengapa kita harus meraih ini dan itu dulu; atau memiliki anu dan inu? Mengapa kita tidak bisa bahagia sekarang? Mengapa kita sulit untuk bahagia—begitu saja?
Dan pertanyaan yang sama pun kembali berulang di benak saya: are you happy, Jen?
* * *
Pagi itu, saya duduk di dekat jendela dengan novel di pangkuan dan semangkuk mi instan mengepul. Di luar hujan terus mendera bumi. Saya kedinginan, tapi teh manis panas perlahan-lahan menghangatkan tubuh. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, mendadak saya merasa bahagia. Sangat bahagia.
Saya tidak tahu kenapa saya bahagia. Mungkin karena novel baru yang belum selesai dibaca. Mungkin karena semangkuk mi instan dan secangkir teh panas. Mungkin karena rintik hujan yang membuat suasana jadi romantis. Mungkin karena mimpi barusan secara tidak langsung telah mengingatkan bahwa saya tidak perlu terjerat ilusi dalam menjalani permainan hidup; bahwa saya bisa bernafas lebih lega dan melangkah lebih ringan. Atau mungkin karena kebahagiaan sesederhana cuaca; datang dan pergi pada waktunya. Saya tidak perlu tahu kenapa dan kapan.
Mungkin. Entahlah. Saya tidak berminat mencari tahu. Yang saya tahu hanya, pagi itu saya tidak butuh banyak untuk bisa bahagia.
:-)
*Gambar dipinjam dari gettyimages.com.
-----
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago