24 Desember 2010.
Saya duduk dengan seorang sahabat di dalam restoran yang mulai temaram. Lampu-dimatikan satu persatu, kursi-kursi disusun di atas meja—pengusiran secara halus. Namun kami bergeming. Ia dengan sebatang rokok, saya dengan suapan nasi dan kuah hangat.
Entah siapa yang mengawali, kami mulai saling bertutur. Tentang bersyukur. Tentang belajar. Tentang hidup yang selalu punya 1001 macam cara untuk memberi, mengingatkan, mengajarkan. Dan pembicaraan di ruang temaram itu menghasilkan kesimpulan yang sama: selalu ada banyak hal dalam hidup yang bisa disyukuri, tak peduli situasi yang sedang dihadapi. Selalu ada banyak hal yang bisa mengingatkan betapa hidup tak melulu terdiri dari pencobaan—bahwa hidup sebenarnya indah.
Asap rokok menari-nari di udara. Saya menyeruput sisa kaldu ayam. Saya harus bergegas. Empatpuluhlima menit lagi kebaktian Natal dimulai.
Saya duduk sendiri di ujung barisan, dalam ruangan besar yang dingin luar biasa. Kedua kaki saya gemetar. Namun denting piano yang memainkan lagu-lagu Natal lambat laun menghilangkan perasaan tidak nyaman.
Melewatkan malam di gereja bukanlah kebiasaan saya. Baru kali ini saya menghadiri kebaktian Natal yang diselenggarakan pada malam tanggal 24, namun entah bagaimana, semua terasa… tepat.
Kebaktian dimulai. Lagu-lagu dinyanyikan. Saya ikut bernyanyi, perlahan. Dan tiba-tiba, seluruh beban di hati saya seakan terangkat begitu saja. Bukan peristiwa ilahi. Bukan juga mujizat Natal. Tidak ada malaikat menampakkan diri, dan saya tidak sedang mabuk anggur Perjamuan.
Apa ini?
Lamat-lamat, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Hingga jawaban itu datang.
Saya sedang memaafkan.
Betul, memaafkan.
Saya tercenung sendiri ketika jawaban itu muncul di benak saya.
Memaafkan? Memaafkan siapa?
Entahlah. Yang saya tahu hanya, hati saya membuka lebar dan malam ini ia melepaskan semua yang menyumbatnya satu tahun terakhir. Segala sedih. Segala kecewa. Segala gundah. Segala khawatir. Segala gembira. Segala bahagia. Segala senang. Semua dilepasnya tanpa kecuali.
Berbagai nama dan wajah muncul di benak saya, silih berganti, sebelum saya sadar, saya tidak sedang memaafkan orang lain. Saya sedang memaafkan hidup. Memaafkan setiap hal yang dihantarkannya kepada saya setahun terakhir, kadang melalui orang-orang yang saya kenal, kadang melalui peristiwa yang terjadi begitu saja, yang tidak saya sukai, yang mengecewakan, yang membuat saya terluka. Dan akhirnya saya sadar, saya sedang memaafkan diri sendiri.
Penyadaran itu muncul dengan amat sederhana. Benak saya tak punya banyak waktu dan energi untuk menganalisa. Batin sayalah yang mencerna semuanya, dan saya tahu. Saya sedang berdamai. Dengan apa pun yang menjadi jatah saya. Dengan apa pun yang digariskan bagi saya. Suka atau duka. Senang atau susah. Sulit atau mudah.
Dua jam berlalu dengan cepat. Saya meninggalkan gereja yang baru pertama saya kunjungi itu dengan perasaan campur aduk; senang, terharu, terkejut dan setengah mati kedinginan. Sebuah santapan manis untuk menutup tahun yang akan memasuki penghujungnya tujuh hari lagi.
Kebaktian ini barangkali kebaktian terindah yang pernah saya ikuti selama tiga tahun terakhir, dan Natal ini adalah Natal paling menyentuh selama entah berapa tahun terakhir, namun keduanya bukan hal terbaik yang saya alami hari ini.
Peristiwa terbaik hari ini?
Sahabat yang mengantarkan saya ke gereja untuk mengikuti kebaktian Natal adalah seorang Muslim.
Cinta, tidak paham arti perbedaan.
-----
Gambar diambil dari sini.
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago