Thursday, December 20, 2007

Si Nyolot Janet

“DUUUH, DUNIA SEMPIT BANGET SIH!”

Saya menoleh, spontan mencari sumber suara itu. Teriakan itu terasa agak mengganggu, karena diucapkan dengan nada tajam dan *ehem* nyolot di antara kerumunan anak Sekolah Minggu berusia antara 2 sampai 12 tahun yang memadati aula gereja dalam rangka perayaan Natal.

There she was, duduk di atas tempat tidur dengan beberapa anak perempuan lain, sibuk menghias kaus kaki Natal dengan bahan seadanya. Dalam perayaan kali ini, semua anak diwajibkan menghias kaus kaki flanel yang nantinya akan diisi hadiah dan mereka semua menginap di aula yang sudah disulap jadi lautan matras.

Namanya Janet. Rambutnya pendek dan ia satu kepala lebih tinggi dari anak-anak seusianya. Sekilas melihat saja, ia sudah tampak menonjol. Begitu ia buka mulut, semua orang menoleh.

Sumpah, cara bicaranya sangat nyolot untuk ukuran anak SD.

Beberapa anak yang sudah selesai dengan pekerjaan masing-masing menghampiri kerumunan kecil itu dan asyik menonton sambil berceloteh ribut.

“KITA HARUS SABAR YA LON, BIKIN PRAKARYA DI RUANGAN KAYAK GINI!”

Ilona -anak yang diajak bicara- tidak menyahut. Beberapa pasang mata menatap Janet dengan sorot terganggu, tapi ia tidak peduli. Nggak nyadar, malah.

Semakin banyak anak yang datang berkerubung. Matras dan bantal diinjak-injak. Janet melirik matrasnya yang tidak jauh dari situ.

“TERUS AJA INJEK-INJEK RANJANG GUA! BIKIN TANGAN GATEL AJA PENGEN MUKUL!”

Saya menoleh ke arah yang dimaksudnya, dan melihat bocah yang dengan inosen enjot-enjotan di atas matras Janet.

Si kecil Alex.

Hayyyah.

“Janet, kamu itu terlalu jujur kalo ngomong,” cetus Ilona, yang pembawaannya halus dan sangat lembut.

“Emang.” Janet membalas cuek.

“Menurut aku kamu terlalu kasar,” sela adik Ilona.

Janet diam saja. Saya sempat mikir, “Dalem bo, daleeeem” dan menyangka Janet akan menghentikan polahnya.

Seorang guru Sekolah Minggu menghampiri Janet, memperhatikan pekerjaan tangannya dan berkomentar di depan anak-anak lain, “Ini manik-maniknya kalo ditempel di sini, warnanya jadi mati.”

(FYI, guru Sekolah Minggu ini adalah seorang bapak dua anak yang mengajar di kelas Senior.)

“TERUS AJA KASIH TAU SEMUA ORANG!!”

Buset dah.

Setelah puas melihat-lihat, saya meninggalkan mereka.

Tadi pagi, saya kembali untuk menonton anak-anak itu berburu kado Natal dan menghias ginger bread.

Setiap anak mendapat sepotong ginger bread, whipped cream, permen dan cokelat aneka bentuk untuk menghias kue masing-masing. Setelah berkeliling, saya kembali nyangkut di tempat Janet dan kawan-kawan.

Cukup lama Janet menunggu giliran untuk menyaluti kuenya dengan whipped cream, karena sendoknya hanya satu. Ketika tiba gilirannya, Janet memulas kuenya dengan hati-hati dan rapi. Setelah seluruh permukaan kue tersalut whipped cream, ia mulai mengambil cokelat mungil berbentuk bulat.

Saya terus mengamatinya bekerja. Boleh juga. Sangat cermat dan telaten, jauh lebih rapi dibanding teman-temannya.

Lumayan deh, biar galak seenggaknya kerjaannya bagus, pikir saya usil.

Tiba-tiba, seorang gadis cilik menghampiri kelompok Janet dan langsung berjalan ke arahnya.

Janet sedang berkonsentrasi menyusun cokelat supaya tidak merusak lapisan whipped cream yang mudah sekali tercecer. Badannya membungkuk, keningnya berkerut-kerut.

Bocah itu duduk persis di sebelah Janet, nyaris menempelkan tubuh ke lengan Janet, mengacungkan ginger bread yang bentuknya nggak karuan sambil berseru lantang:

“CICI JANET, LIAT DEH PUNYA AKU.”

Mampus dah.

Saya sungguh iba pada nasib si bocah tak berdosa.

Tapi Janet tidak berteriak.

Ia menoleh, memperhatikan ginger bread yang nggak jelas wujudnya itu dan berkata pelan, ”Iya, nanti ya, lagi ngerjain ini dulu.”

Bocah itu menarik tangannya dan duduk nyaman di sisi Janet, masih dengan posisi hampir lendotan di lengan Janet.

Bocah kedua datang dan melakukan hal yang sama: menunjukkan hasil karyanya kepada Janet dan menunggu komentar gadis itu.

Lalu bocah ketiga datang, dan begitu seterusnya. Janet meladeni mereka dengan sabar sambil terus berkonsentrasi menyelesaikan ginger bread-nya.

Akhirnya kue berbentuk boneka itu selesai dihias. Janet menyingkirkan sisa cokelat dan memandang ‘prakarya’nya dengan bangga. Saat itu, di sekelilingnya sudah berkumpul anak-anak kecil yang usianya tak lebih dari 5 tahun.

Saya melongo bego.

Kemana monster kecil yang tadi malam?

Usai perayaan, saya duduk di meja makan dan ngobrol dengan seorang guru Sekolah Minggu yang juga kawan saya. Saya bertanya tentang Janet dan sikapnya semalam.

“Oh, Janet. Iya tuh, semua orang nanyain tentang Janet.” Ucap kawan saya sambil cengar-cengir. “Anaknya emang gitu, tapi sebenernya dia baik. Sama anak kecil ngemong banget, malah.”

Saya kembali bengong dengan blo’on.

Di pojok ruangan, Janet sedang sibuk berfoto dengan Ilona dan adiknya memakai kamera handphone dalam berbagai gaya. Setiap kali kamera selesai dijepretkan, mereka akan berebut mengamati hasilnya sambil tergelak-gelak seru. Semuanya, termasuk Janet.

Dia tidak ada bedanya dengan anak-anak lain. Polos, heboh, ceria dan sama berisiknya.

Saya memandangnya, dan langsung merasa malu karena terlalu cepat menghakimi.

:)

2 comments: