Kurang-lebih satu tahun lalu, saya mengikuti sebuah
retreat meditasi di mana instrukturnya adalah sahabat saya sendiri. Dalam sesi pembuka dari
retreat yang berlangsung selama empat hari itu, ia mengajak seluruh peserta melakukan
Ho’oponopono, sebuah teknik penyembuhan berbasis meditasi yang berasal dari Hawaii.
Ho’oponopono terdiri dari empat kalimat singkat “
I’m sorry”, “
Please forgive me”, “
I love you”, dan “
Thank you” yang diucapkan secara berurutan sambil menyadari masalah yang sedang dihadapi. Setiap peserta bebas mengucapkan apa pun yang menjadi ganjalan batinnya dan mengakhiri curhat singkat itu dengan empat kalimat tadi.
Bukan hal mudah bagi saya untuk melakukan teknik sederhana itu. Saya sedang menjalani proses penyembuhan dari perpisahan yang saya alami berbulan-bulan sebelumnya—perpisahan menyakitkan yang diiringi banyak air mata dan membuat saya menangis hampir setiap hari. Saya kecewa. Saya marah. Saya terluka. Saya menyalahkan. Dan kini saya harus mengucapkan “
I’m sorry, please forgive me...”? Tidak bisa.
Saya bergumul selama sesi berlangsung. Beberapa minggu setelah
retreat, dalam pertemuan pribadi dengan sahabat saya, saya berkata terus terang, “Saya tidak sanggup berkata
'I’m sorry' dan '
Please forgive me' dengan tulus karena apa yang terjadi bukan kesalahan saya. Sayalah yang terluka. Sayalah yang menjadi korban. Saya bahkan belum bisa memaafkannya, bagaimana mungkin saya harus minta maaf kepadanya?”
Sahabat saya menjawab dengan tenang, “Ho’oponopono tidak ada hubungannya dengan orang yang menyakiti kamu. Kamu tidak sedang meminta maaf kepadanya. Teknik ini baru akan berhasil ketika dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kita memiliki andil dalam setiap penderitaan kita.”
Saya menatapnya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin saya memiliki andil dalam penderitaan saya sendiri—atau dengan kata lain, saya turut bertanggungjawab atas penderitaan ini? Jelas-jelas bukan saya yang salah. Jelas-jelas saya disakiti. Jelas-jelas sayalah korbannya. Konsep itu sama sekali tidak masuk akal.
Butuh satu tahun bagi saya untuk bisa betul-betul memahami esensi dari pernyataan tersebut.
Butuh satu tahun bagi saya untuk bisa menyadari bahwa orang lain memang tidak bisa membuat saya menderita. Harapan dan ketakutan sayalah yang membuat saya menderita.
Untuk sadar bahwa orang lain bisa melakukan hal yang paling nista terhadap saya, namun saya bertanggungjawab atas setiap kemarahan, ketakutan, kekhawatiran, harapan, rasa tidak aman, dan banyak hal lain yang timbul dari batin saya sendiri.
Untuk sadar bahwa ketika saya menuntut orang lain untuk berubah menjadi seperti yang saya inginkan, tidak peduli label apa yang saya lekatkan di atasnya, itu bukanlah cinta.
Untuk sadar bahwa saya tidak pernah memiliki kendali atas hidup orang lain. Saya tidak bisa mengubah satu orang pun, dan akhirnya saya tersakiti bukan oleh tindakannya, melainkan oleh pengharapan saya sendiri.
Untuk sadar bahwa setiap pilihan mengandung resiko dan konsekuensi, namun saya tidak perlu mencicil keduanya lebih awal hanya karena saya hidup dalam harapan dan kekhawatiran.
Untuk memahami bahwa cinta memang tidak bersanding dengan harapan dan ketakutan. Ada perbedaan yang sangat besar di antara tiga hal tersebut, sekalipun saya teramat sering mencampurkan ketiganya dan menyebutnya cinta.
Untuk sadar bahwa cinta tidak pernah tumbuh dari masa lalu atau terkubur di masa depan. Ia hanya ada di sini dan sekarang.
Untuk sadar bahwa cinta tidak perlu dicangkangi. Seperti kita tak berusaha mewadahi awan atau mengandangi sinar mentari.
***
Hari ini, ketika saya menuliskan artikel ini, setitik air mata jatuh perlahan.
Untuk rasa syukur karena saya tak lagi perlu menyalahkan orang lain atas apa yang saya alami. Untuk hidup yang telah memberi begitu banyak keajaiban dengan caranya sendiri; yang telah mengizinkan saya untuk mengalaminya, bersentuhan dengannya, dan bertumbuh darinya.
Untuk mereka yang menangis karena suami yang berselingkuh, kekasih yang abusif, pacar yang semena-mena, sahabat yang mengkhianati kepercayaan, anak yang berlaku kurang ajar, orang tua yang tak pernah menunjukkan rasa sayang, dan banyak lagi.
Untuk harapan-harapan yang tak pernah mati dan kekhawatiran yang datang menghantui setiap malam.
Bagaimana jika dia kembali berselingkuh. Bagaimana kalau dia sedang bersama wanita lain. Bagaimana kalau dia menyakiti saya lagi. Bagaimana jika dia ternyata belum berubah. Bagaimana jika saya dikhianati lagi. Dan sejuta ‘bagaimana’ lain.
Untuk kekecewaan yang hadir tatkala harapan tidak terpenuhi dan getir yang merampok batin ketika ketakutan benar-benar menjelma nyata.
Untuk mereka yang berjuang keras mencinta dan mempertahankan cinta.
Untuk setiap luka.
Untuk setiap pedih.
Untuk setiap harapan.
Dan ketakutan.
“I’m sorry.”“Please forgive me.”“I love you.”“Thank you.”Bukan tentang ‘apa’, ‘siapa’, atau ‘mengapa’. Tapi tentang kita.
-----
*Sebuah catatan yang diinspirasi oleh tulisan ini.