“Memang ini adanya. Bukan salah siapa-siapa. Aku berharap bisa bersamamu lebih lama, tapi semua sudah berubah.”
Aku selalu mendambakan laki-laki tegap berkulit eksotis dengan sorot mata yang bisa melelehkan perempuan. Bahkan sekejap aku pernah mengangankan laki-laki yang matanya cokelat muda, berhidung mancung, Kaukasian. Segala hal yang dijual sinetron murahan. Barangkali karena tak peduli betapa aku berusaha jadi pandai dan berkelas, perempuan memang mudah takluk pada keindahan.
Kamu tidak indah. Usia kita terpaut belasan tahun. Tidak ada kotak-kotak kekar di perutmu. Dadamu tidak bidang. Kulitmu terang, bukan cokelat eksotis. Namun aku menyayangimu lebih dari yang kutahu. Lebih dari yang kumampu.
Sayang itu tidak lahir sekejap mata. Butuh berkali-kali pertemuan dan entah berapa puluh pertukaran pesan melalui jagat maya dan komunikasi selular sampai aku sadar, hatiku jatuh sudah. Cinta itu lahir tanpa permisi, seperti Tuhan yang kadang mengetuk pintu kita tanpa diminta.
“Seharusnya kamu menjadikan dia percobaan belaka. Seharusnya kamu tidak jatuh cinta. Seharusnya kamu sadar dari dulu.”
Aku tahu itu lebih dari kuhafal perkalian matematika. Lebih jelas dari satu ditambah satu sama dengan dua. Aku tahu itu sejak kamu menyatakan bukan aku satu-satunya dalam hidupmu. Bahwa sudah belasan tahun kamu menjalani pilihan ini. Bahwa kamu tidak siap untuk terikat. Bahwa manusia tidak pernah berubah.
Aku membuat diriku percaya bahwa aku mampu mengendalikan cinta dan ia takkan muncul tanpa diundang. Kututup hatiku rapat-rapat dan kubuat pengingat yang kutengok belasan kali dalam sehari. Pengingat untuk selalu berpegangan. Agar aku tak perlu tergelincir.
Namun hati memang curang. Didesaknya aku ke tepi jurang dan aku tak pernah sama lagi. Kubiarkan diriku jatuh kendati kutahu akan terhempas hancur. Tidak ada jaring pengaman di sana dan aku tetap melompat. Aku menjadi orang yang berbeda. Egoku membengkak dan membuncah. Mendorongmu menjauh, membuatmu jengah.
Hingga sampailah kita ke titik ini.
“Apa ini gara-gara seks?”
Pertanyaan itu menghantuiku seperti perempuan berambut panjang yang kadang muncul di sudut kamar, sebelum akhirnya aku menyerah.
Barangkali iya. Barangkali juga tidak. Apa gunanya mencari tahu? Setahuku cinta tidak butuh alasan. Manusialah yang bersusah payah merangkai formula untuk merumuskan cinta. Jatuh cinta karena begini. Jadi sayang karena begitu. Toh akhirnya kita menyerah pada kesederhanaan itu: Mencintai karena mencintai.
“Ini bukan salah siapa-siapa. Aku berharap bisa bersamamu lebih lama, tapi semua memang sudah berubah.”
Aku tak bisa mencegahmu pergi. Dan aku tak ingin merengkuhmu kembali jika itu cuma akan menderamu.
Kamu layak untuk bahagia seperti aku juga ingin bahagia. Namun izinkan aku menyampaikan apa yang tak pernah tuntas diucapkan bibirku. Sekali saja.
Aku mencintai dadamu yang tidak bidang, bulu-bulu kasar di tubuhmu, tahi lalatmu. Aku mencintai caramu tertawa, tarikan sudut bibirmu, senyum lebarmu. Aku mencintai lipatan perutmu, pundakmu, lengan-lenganmu yang besar. Aku mencintai kening lebarmu, mata teduhmu, bibirmu. Aku mencintai caramu menatapku. Aku mencintai kecupanmu yang berkali-kali. Aku mencintai pelukanmu lebih dari aku mencintai hujan.
Aku mencintaimu lebih dari hamparan pasir hangat, merdu gelombang laut, semburat keemasan senja, dan lengkungan pelangi.
Aku mencintaimu lebih dari semua keindahan yang pernah kutemui.
Serumit dan sesederhana itulah aku menyayangimu.
-----
Gambar dipinjam dari gettyimages.com