Monday, February 7, 2011

Pulang

Kartono baru menyelesaikan doanya ketika telepon di ruang tengah berdering. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan dan bangkit, namun dering itu keburu terputus. Sayup-sayup terdengar suara Ahdiyat.

Kartono melipat sarungnya. Keningnya berkerut mendengar suara Ahdiyat yang meninggi, seperti sedang berdebat. Saat ia keluar, Ahdiyat sedang duduk termangu di sofa usang di samping meja telepon.

“Itu tadi Pak RT,” jelas Ahdiyat tanpa diminta. “Kita diperingatkan supaya Minggu besok tidak berkumpul, atau tanggung sendiri akibatnya.”

Kartono memijat keningnya yang tidak sakit. Peringatan ini sudah yang ketiga kalinya. Terlalu banyak dalam satu bulan.

“Bapak sudah tahu?” Kartono menuang air es ke gelas beling, memberikannya pada Ahdiyat.

Ahdiyat meneguk air itu dan ketegangan di wajahnya berangsur reda. “Belum. Nantilah.”

Kartono dan Ahdiyat adalah mantan pengangguran, perantau dari Jawa Timur yang nyaris jadi gelandangan andai Pak Sugeng, pemuka agama yang dihormati di kampung itu, tidak menawari mereka bermalam di rumahnya dan membolehkan mereka tinggal di sana sampai mendapatkan pekerjaan. Bahkan setelah Kartono dan Ahdiyat memperoleh pekerjaan, Sugeng dan Rahmi, istrinya, mencegah mereka pergi dari rumah itu karena sudah kadung menganggap mereka anak sendiri.

Kartono pernah menanyakan soal itu kepada Sugeng. Kenapa mereka dilarang berkumpul dan beribadah di tanah mereka sendiri—lebih buruk lagi, rumah mereka sendiri.

Sugeng menatapnya sambil tersenyum, tapi Kartono belum pernah melihat wajahnya sesuram itu.

“Karena kita dianggap sesat.” Penjelasan itu rasanya tak cukup, tapi Kartono tak berkata apa-apa lagi.

Malam itu, meja makan terasa lebih sunyi dari biasanya. Mereka bersantap dalam diam.

“Jadi Minggu besok tidak ada ibadah, Pak?” Kartono memecah kesunyian.

Sugeng menghentikan suapannya. Semua mata tertuju pada pria setengah baya itu. Kartono baru menyadari betapa wajah lelaki yang sudah dianggapnya ayah sendiri itu kini dihiasi kerutan yang membuatnya tampak jauh lebih tua.

“Kita tetap berkumpul dan beribadah seperti biasa,” jawab Sugeng, “tapi kalau kalian ndak mau ikut, ndak apa.”

“Pak, Bapak tahu kami nggak akan ke mana-mana,” tegas Ahdiyat.

Sugeng tersenyum dan meneruskan suapannya.

Jemaah yang hadir minggu itu tak sebanyak biasanya. Sugeng berdiri dan menyampaikan ceramah dengan suaranya yang jernih dan tenang. Ahdiyat dan Kartono duduk di depan. Di dapur Rahmi sibuk menyiapkan jajanan pasar dan teh yang akan dinikmati bersama usai ibadah.

Semua berjalan seperti biasa. Hingga terdengar derap kaki disertai teriakan dari kejauhan. Riuh yang mendekati rumah kecil tempat mereka berkumpul.

“Cepat! Cepat!”

“Itu rumahnya! Mereka semua di sana!”

Jemaah berpandang-pandangan dengan bingung. Sugeng menghentikan ceramahnya. Ahdiyat yang pertama bangkit. Ia berjalan ke jendela dan menyibak tirai. Wajahnya seketika mengeras.

“Kita diserbu.”

Jemaah serentak bangkit. Mereka berebut melihat melalui jendela. Kerumunan orang semakin dekat. Teriakan semakin jelas terdengar dan dari jendela kusam itu tampak benda-benda yang berada di tangan mereka; parang, bambu, kelewang. Ketenangan musnah sudah.

Sugeng mengangkat tangannya.

“Jangan panik. Kita harus tetap tenang. Kartono, buka pintu belakang. Kita keluar lewat belakang. Jangan ribut.”

Dengan sigap Kartono melakukan perintah itu. Sebagian jemaah langsung mengikutinya, keluar lewat pintu belakang yang menghadap sawah dan melarikan diri secepat yang mereka bisa. Sebagian jemaah masih berkerumun dekat jendela, seperti terbius menyaksikan arak-arakan manusia yang kian dekat, mengacungkan senjata dengan penuh amarah.

“Jangan sampai ada yang lolos! Kepung kafir-kafir itu!”

“Tumpas semuanya! Binasakan!”

“Singkirkan kesesatan! Tolak kemaksiatan!”

“Pak, ayo cepat kita pergi,” Rahmi menarik tangan suaminya. Suaranya bergetar.

“Kamu duluan saja, sama Ahdiyat dan Kartono. Saya pergi kalau semua sudah keluar,” Sugeng menjawab tenang.

“Aku ndak akan ninggalin Bapak,” isak Rahmi, mendekap lengan Sugeng dengan kedua tangan seperti anak kecil memohon pada ayahnya. Sugeng memeluk istrinya. Tidak tersirat takut di wajah itu. Yang tampak hanya kesedihan.

Ahdiyat dan Kartono berhasil mengeluarkan semua orang dari rumah. Mereka merangkul Sugeng dan Rahmi, berjalan secepatnya ke belakang. Terdengar derakan keras disusul suara kaca pecah. Pintu terbentang lebar.

“Mereka kabur!”

“Itu pimpinannya!!”

“Kejar! Tangkap! Bunuh!!”

Kartono tak pernah merasa setegang itu. Lengannya yang merangkul kuat bahu ringkih Sugeng—yang menggandeng Rahmi yang kini tersedu-sedu—bagai mati rasa. Ahdiyat merangkul mereka dari belakang, menggunakan tubuhnya sebagai tameng.

“Itu mereka! Di sawah! CEPAT! KEJAR!”

Puluhan—tidak, ratusan—orang berjubah dan berkopiah putih berlari ke arah mereka. Parang dan bambu teracung ke udara.

“ANJING!” Bertahun-tahun mengenalnya, baru kali itu Kartono mendengar Ahdiyat berserapah.

Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia merasakan ketakutan yang begitu hebat. Sekaligus kepasrahan luar biasa.

“Tangkap! Hajar! BASMI!!”

“Binasakan orang kafir!”

“BUNUH!!”

Tarikan kuat di kerah bajunya membuat Kartono terjungkal. Rangkulannya terlepas. Terdengar jeritan Rahmi.

Sesuatu yang keras menghantam kepalanya. Dan punggungnya. Terdengar suara berderak, tulang-tulang yang patah. Kartono tersungkur. Semua menjadi gelap.


* * *


Kartono membuka mata perlahan. Setengah linglung ia berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia mengerjapkan mata dan ingatannya berangsur pulih.

Orang-orang berjubah dan berkopiah. Bambu, batu, kelewang, dan parang.

Apakah mereka sudah pergi?

Tidak, belum. Teriakan-teriakan itu masih membahana.

Kartono tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tubuh-tubuh bergelimang lumpur itu tergeletak tanpa nyawa. Darah menggenang di tanah dan rerumputan. Pemandangan itu mengingatkannya pada hari raya kurban, namun kali ini, yang dipersembahkan adalah manusia.

Kartono tak sanggup berbicara. Tubuhnya seperti beku. Hanya matanya yang terus merekam apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Sugeng, Rahmi dan Ahdiyat tak terlihat. Barangkali mereka berhasil selamat. Barangkali Ahdiyat berhasil membawa mereka kabur. Semoga mereka semua aman.

Kartono merasa seseorang mendekatinya. Ia menoleh. Seseorang berjubah putih berdiri di sampingnya. Ia tak mengenakan kopiah. Sorot matanya ramah.

Sosok berjubah putih itu tersenyum, mengulurkan tangan. Kartono menatapnya dan menyambut tangan itu. Tanpa perlu diberitahu, ia tahu ke mana mereka akan menuju. Pulang.

Sosok itu berbalik. Kartono mengikutinya. Sebelum beranjak, ia menyempatkan diri menoleh ke belakang untuk terakhir kali. Ke bawah pohon akasia tempatnya membuka mata.

Di sana, sekelompok orang berjubah dan berkopiah mengerumuni tubuhnya. Menghantamkan batu sebesar nampan ke kepalanya. Darah muncrat. Orang-orang itu berteriak menyerukan nama Tuhan yang juga ia sembah.

-----

Jakarta, 7 Februari 2011. Sebagai tanda belasungkawa atas mereka yang pergi demi nama Tuhan.

9 comments:

Anonymous said...

FPI = Anjing-anjing kerontang yg berjalan bergerombol memakan bangkai sanaknya..

cokelat said...

speechless :(

Poppus said...

JJ, gue mewek baca ini. Kesel bangeet sama peristiwa di cikeusik

Bagus Prakoso said...

Thank you for writing this so eloquently. I am totally sadden by what happened to our brothers and sisters yesterday (which I only found out this morning). But reading what you are writing here give me hope and courage. I am certain that those who were the victims in this violent act had been received in front of God, in peace and love.

May God give us forgiveness.

rumahkopikita said...

nangis. :((

cindy wijaya said...

Belajarlah menjadi seperti apa yang kita sembah.
Jika saya menyembah Tuhan yang rendah hati,
Saya harus belajar menjadi seperti Dia yang saya sembah. Rendah hati

depz said...

ampuni mereka karena mereka tak tahu apa yg mereka perbuat, ya Tuhan

restoran jepang said...

w baca ini kesel banget bawaannya

Outbound Training Malang said...

salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
Pikiran yang positiv dan tindakan yang positiv akan membawamu pada hasil yang positiv.,.
ditunggu kunjungan baliknya gan .,.