Buat saya, Denias itu te-o-pe be-ge-te. Kalau Roeper & Ebert memberi 'two thumbs up' untuk film-film box office, saya memberi ‘four thumbs up’ (iya, jempol kaki juga dihitung ;) ) untuk bocah dari pedalaman Papua ini - bocah biasa dengan tekad yang luar biasa. Saya selalu mendapat insight baru setiap menonton ulang film ini, dan (sebagai penyandang predikat ratu mellow) tentunya selalu termehe-mehe menjelang akhir cerita. :)
Setahun terakhir, ada seseorang lagi yang menjadi sumber inspirasi saya. Bukan karena pencapaiannya, bukan karena prestasinya, tapi karena mimpinya.
Audrey Clarissa hanya seorang gadis biasa yang dibesarkan di Sukabumi. Yang membedakannya dari gadis-gadis lain di Sukabumi (dan seluruh Indonesia) adalah keberaniannya untuk bermimpi.
Keberanian itu diawali oleh sebuah keinginan: ingin Indonesia terdaftar sebagai anggota Organisasi Mahasiswa Farmasi Sedunia setelah organisasi ini berdiri selama puluhan tahun. Cita-citanya sederhana, namun besar: ingin melihat Indonesia eksis dalam dunia farmasi internasional – atau setidaknya, diakui keberadaannya.
Audrey bukanlah orang pertama yang menginginkan hal tersebut, tapi (saya rasa) ialah orang pertama yang memiliki cukup driving force dan tekad untuk mewujudkan impian itu.
Niatnya tidak surut meski langkah awalnya tertunda selama setahun karena wabah SARS. Sebaliknya, keinginan itu terus menggelora dan menciptakan driving force yang lebih kuat lagi. Berdasarkan pertimbangan akal sehat, hanya ‘orang gila’ yang berani mengajukan ide untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan simposium salah satu organisasi internasional tertua di dunia, persis ketika negaranya baru saja terdaftar sebagai anggota –setelah puluhan tahun tidak diakui eksistensinya- sekaligus menyanggupi untuk bertanggung jawab sebagai ketua panitia.
Keberanian dan driving force yang sama kini telah menghantar Audrey menjadi presiden International Pharmaceutical Students’ Federation yang pertama dari Asia. Seorang gadis sederhana dari Sukabumi telah mengharumkan bukan hanya Indonesia, namun Asia secara keseluruhan – karena ia berani bermimpi.
Saya selalu salut dengan mereka yang berani bermimpi besar, dan bangkit untuk mengejar mimpi itu. Bukan hanya bermimpi dan patah arang di tengah jalan, bukan sekedar berangan-angan dan melupakannya ketika hambatan datang, namun berani berjuang sampai mimpi itu betul-betul terwujud.
Denias tidak menunggu kesempatan. Ia bahkan tidak mau menunggu guru pengganti dari Jawa. Ia bangkit untuk mengejar mimpinya ke sekolah fasilitas, meski berdasarkan logika adalah mustahil untuk belajar di sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan tertentu dengan biaya yang tidak sedikit.
Audrey tidak menunggu kesempatan. Ia tidak menunggu dunia farmasi melirik Indonesia. Ia datang ke sana membawa Indonesia. Ia tidak menunggu dunia farmasi memberinya peluang. Ia menyodorkan diri kepada mereka, dan mereka memberinya kesempatan.
Denias dan Audrey tidak berbeda dengan orang-orang lain yang ada di sekitar mereka, pada waktu dan tempat yang sama. Hidup di tanah yang sama. Berdiri di negeri yang sama. Makan, minum dan menghirup udara yang sama. Yang menjadikan mereka berbeda adalah keberanian untuk bermimpi dan bangun dari tidur untuk mewujudkan mimpi itu.
Mereka tidak menunggu. Mereka mengejar mimpi. Mereka siap meraih kesempatan, namun ketika kesempatan tidak kunjung menyapa, mereka menciptakan kesempatan.
Saya selalu suka menonton film Denias, dan tidak pernah bosan memutarnya berulang kali.
Seperti dia, saya pun ingin terus belajar. Belajar bermimpi.
Tapi, yang paling penting, saya ingin bangun dari setiap mimpi dan mulai mengejarnya - satu demi satu. Seperti Denias. Seperti Audrey. Seperti jutaan orang lain di masa lalu dan masa kini, yang meraih impian karena belajar menciptakan kesempatan.
Dan saya mulai berpikir.
Mungkin… mungkin yang dibutuhkan bangsa ini bukan orang-orang spektakuler. Bukan peluang raksasa. Bukan janji-janji muluk. Bukan uluran tangan penuh belas kasihan.
Sesulit dan separah apapun kondisi suatu bangsa, saya percaya akan selalu ada harapan, selama masih ada orang-orang yang sanggup bermimpi -- mereka yang menggantung cita-cita dan bersedia menempuh proses untuk menggapainya, berapapun harga yang harus dibayar.
Saya juga selalu percaya bahwa anak-anak adalah pilar penopang bangsa. Apa yang telah diraih dan diwujudkan generasi sekarang akan diteruskan dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Apa yang kita capai pada masa kini akan diestafetkan kepada generasi di bawah kita, dan demikian seterusnya.
Saya percaya kekuatan suatu bangsa ditentukan oleh bagaimana mereka membangun masa kini dan mempersiapkan masa depan. Berlari sebaik mungkin, dan melatih (calon) pemegang tongkat estafet berikutnya untuk melanjutkan perjalanan yang telah dimulai.
Mungkin yang dibutuhkan bangsa ini sebenarnya hanya orang-orang biasa dengan tekad yang luar biasa.
Yang berani bermimpi dan bangun dari tidur untuk mewujudkannya, untuk kemudian meneruskan mimpi dan kekuatan yang sama kepada generasi di bawah mereka.
Mimpi untuk terus bangkit, bergerak maju dan berjuang menjadi lebih baik.
Kekuatan untuk terus mengejar mimpi, dan setelah berhasil meraihnya, menggunakannya bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk membangun bangsa dan negara.
Denias berani bermimpi. Audrey berani bermimpi.
Mari, belajar bermimpi.
“Beranilah bermimpi, dan bangunlah untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Jika kesempatan menghampiri, itu baik. Namun jika tidak, ciptakan saja kesempatan itu.”
*Au, if you read this: Thanks for being an inspiration. Ditunggu makan-makannya, Neng ;-)