Akhir pekan.
Tumpukan kertas, tugas dan deadline.
Restoran bergaya kapitalis tidak jauh dari kantor.
Saya dan seorang sahabat.
Setelah memesan makanan, kami sama-sama diam. Sesuatu yang janggal karena selama saya bersahabat dengannya, setiap pertemuan selalu diwarnai obrolan heboh, canda sinting dan tawa gila.
Saya tidak berusaha mengisi keheningan itu. Saya hanya menyentuh cangkir berisi teh madu panas dan membiarkan kesunyian terus mengambang.
Saya menatapnya. Wajah itu pucat dan kehilangan rona. Setahun belakangan, wajah itu sering sekali dihiasi ekspresi yang sama, tapi malam ini adalah puncaknya.
Sahabat saya terduduk lemas. Rambutnya sedikit acak-acakan, wajahnya berminyak tanpa make-up. Sesuatu yang biasa untuk saya, mengingat saya termasuk dalam spesies perempuan cuek yang tidak peduli penampilan. Tapi tidak bagi dia. Sahabat saya sangat memperhatikan penampilan. Malam ini menjadi luar biasa karena ia rela terlihat berantakan di sebuah restoran mewah.
Ia terdiam. Matanya memandang kosong ke sebuah sudut. Saya tidak berniat mengusiknya. Juga tidak ingin bertanya.
Makanan datang. Kami menghabiskannya tanpa banyak cakap. Sesi makan malam itu terasa tidak menyenangkan. Bukan karena penyanyi berusia setengah baya dengan kepala nyaris botak yang melantunkan ‘Terajana’ dengan suara super-fals di pojok ruangan (seriously!), bukan juga karena keheningan yang terus mendominasi meja mungil kami. Tapi karena mata itu begitu hampa. Karena senyum yang biasa bermain di sana tidak ada lagi. Karena wajah di depan saya begitu pias. Karena, tanpa perlu diucapkan, saya tahu hatinya sangat sakit.
“Jelek banget,” gumam saya saat ‘Terajana’ kembali melengking, memperkosa telinga dengan nada patah-patah. “Mending elu aja yang nyanyi.”
Sahabat saya punya suara yang bagus. Berbeda dengan saya yang berpotensi menimbulkan kekacauan massal begitu menyanyi.
Ia tersenyum. Tipis.
“Boleh aja kalo diizinin mah.”
Saya nyengir kuda. Sangat yakin bahwa manajer restoran tidak akan keberatan posisi penyanyinya digantikan selama 5 menit oleh seorang perempuan dengan kemampuan vokal setara Celine Dion. (okay, okaaay… hiperbola.)
Saya menghampiri si Manajer dan mencolek bahunya.
Benar, kan, dia setuju. ;-)
“Elu gila, ah,” bisik sahabat saya, ketika saya menyeretnya mendekati si penyanyi. Ia melangkah keluar restoran. Saya menahannya.
“Apaan sih lo,” protesnya.
Saya kembali menunjukkan wajah kuda tertawa.
“Tadi katanya mau. Udah dibolehin, tuh!” Saya menggamit lengannya. “Trust me, you’re gonna feel better. Lepasin semuanya. Let it go.”
.....
Malam itu, lagu yang pernah dipopulerkan Ruth Sahanaya mengalun dengan keindahan yang menyaingi penyanyi aslinya. Beberapa pengunjung menoleh dengan raut terkesan. Seorang Ibu mencolek anaknya dan menunjuk-nunjuk ke arah kami. Sisanya tampak lega karena terbebas dari keharusan mendengarkan lagu-lagu Ratu dan Naff yang dinyanyikan secara tidak wajar oleh pria setengah uzur.
Suara itu memenuhi ruangan dengan indah, menutupi denting keyboard yang tidak sempurna lantaran pemainnya kurang menguasai lagu.
Gelombang kesedihan menerpa saya. Setiap kata mewakili rasa sakit yang tersembunyi selama lebih dari 12 purnama.
Saya menemaninya menghabiskan malam. Saya tidak berusaha mengorek. Biarlah. Saya juga tidak memupuk kesedihannya. ia tidak perlu itu. Yang diperlukannya hanya seseorang untuk berbagi malam. Untuk memahaminya dalam hening.
Selang beberapa jam, sebuah pesan mampir di inbox saya. SMS dari sahabat saya yang lain, yang sedang bersukaria di negeri tetangga.
Baru naik sepeda, berenang & sunbathing. Sekarang lagi di atas genteng, liat bintang, ngopi, denger MP3 player. Hidup ini syedap Kakak!
sender: sobatgokil
Saya cengar-cengir sendiri, antara iri, sebal dan geli. Membayangkan tumpukan pekerjaan yang mustahil diabaikan dan terus-menerus membunyikan sinyal peringatan di otak.
Lalu saya tertawa.
Betapa beruntungnya saya, punya sahabat seperti mereka. Orang-orang yang selalu menyentuh hidup saya dengan cara yang khas; membuat saya terharu dan tertawa pada saat yang sama.
Mereka yang selalu bersedia berbagi tawa dan sedih, senang dan susah, gembira dan kesal dalam berbagai cara. Entah itu sekedar banyolan nyeleneh, canda gila nan absurd, obrolan santai yang sungguh tak penting, diskusi gak-jelas-juntrungannya, curhat berujung ngomel, sampai berbagi keheningan di restoran kapitalis diiringi ‘Terajana’.
Semuanya indah. Semuanya berarti. Karena mereka sahabat saya.
Saya membalas SMS itu dengan cepat. Satu kata, sepenuh jiwa.
Kampreeeet!
;-D
Semoga kami akan terus berbagi.
*OOT: Buat yang nanyain kabarnya Alex, ini foto terbarunya, bareng Mommy & Daddy. ;-)*
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago
2 comments:
Kok weekend kemarin dia SMS gw isinya seriuuuus aja. Giliran ke loe isinya tentang sunbathing :p
Are we talking about the same person?
Mwahahahahah.
Di mana-mana juga, sharing ke Emak Tiri sama ke Sahabat pasti isinya beda, Djeng. Gyahahah! ;-D
Tapi nggak lah.. gue rasa perbedaannya terletak pada umur.
*ketawa guling-guling*
Post a Comment