“Stop di sini, Pak.”
Taksi berwarna biru metalik yang kunaiki berhenti di depan rumah besar bercat putih. Bangunan yang sangat familiar dan kurindukan selama setahun terakhir.
Pak Marno bergegas membukakan pintu pagar untukku. Senyum gembira merekah di wajahnya. “Non Delia. Pulang, Non?” sapanya ramah.
“Iya, Pak.” Aku balas tersenyum dan membiarkan koper-koperku diambil alih oleh tukang kebun berwajah sumringah itu.
Aku meraih handel pintu utama dan baru akan membukanya, ketika telingaku menangkap suara-suara asing di balik pintu.
… itu?
Aku menoleh, baru hendak mengajukan pertanyaan kepada Pak Marno ketika pintu membuka, menampakkan seraut wajah yang sangat kurindukan.
Mama tersenyum lebar dan mengembangkan kedua tangannya. Aku memeluk Mama erat-erat sementara beliau mengusap kepalaku penuh sayang. Akhirnya aku bisa mencium aroma tubuh Mama lagi. Aroma yang harum dan selalu ngangenin.
Tapi Mama tidak sendirian menyambutku. Di belakangnya ada satu …tidak, dua sosok yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku mengerutkan kening. Mama bergeser. Sosok-sosok itu melangkah maju dan menatapku dengan ekspresi polos dan penuh semangat. Mata mereka membulat, seakan-akan mempelajariku dengan seksama. Aku balas menatap mereka, bergantian.
“Kenalin, Del. Ini Reno. Umurnya 3 tahun,” Mama mengusap kepala salah satu dari mereka. “Yang ini Bella. Dia baru 2 tahun.”
Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, Papa muncul dan langsung memelukku erat-erat. “Welcome home, Sayang…” ia menjauhkanku sedikit agar bisa mengamati wajahku, “wah, putri Papa udah gede!”
Aku nyengir. “Delia udah 23, Pa.”
Aku menangkap kerling jenaka di wajah Papa dan tertawa. Kerlingan usil itu berarti: ‘You-will-always-be-my-little-girl’.
Reno menyeruak di antara aku dan Papa. Senyumku segera menghilang. Mama-Papa berhutang penjelasan padaku.
Melihat perubahan pada wajahku, Papa segera berkata, “Tentunya kamu sudah kenalan dengan Reno dan Bella. Mulai sekarang mereka bagian dari keluarga kita, Delia.”
“Sejak kapan?” aku tidak bermaksud begitu, namun suara yang keluar dari tenggorokanku terdengar dingin.
“Sejak Oma Rheine meninggal bulan lalu.” Papa menjawab seraya menatapku penuh arti.
Oma Rheine adalah wanita tua yang tinggal tidak jauh dari rumahku, hanya berselang beberapa blok dari sini. Wanita tua yang sedih dan merana, menurutku, karena menantu dan anak satu-satunya tewas dalam kecelakaan setahun lalu. Belum termasuk penyakit diabetesnya yang perlu mendapat perawatan serius dan kondisi keuangannya yang tidak menentu. Untuk alasan yang tidak kuketahui, Papa menyayangi Oma Rheine seperti ibu kandungnya sendiri dan sering sekali menjenguk wanita itu, sekedar untuk bercakap-cakap atau memberi bantuan materi kepadanya.
Aku menghela nafas. Papa menyayangi Oma Rheine. Kasihan padanya. OK. Tapi, masa sih sampai segitunya?
“Reno dan Bella tidak punya siapa-siapa lagi, Del.” Aku mengenali ketegasan yang tersimpan di balik intonasi lembut itu. Aku memandang Papa. Tarikan di wajahnya tidak memberiku pilihan selain menerima kedua monster cilik itu.
Great.
Well, mungkin aku berlebihan, menyebut Reno dan Bella monster. Aku bahkan belum kenal mereka. Tapi bukan salahku kalau sejak awal aku membenci mereka. Papa dan Mama harusnya tahu kalau aku tidak akan menyukai keputusan itu.
Pikiranku buyar ketika Papa mendaratkan ciuman di keningku dan membelai rambutku dengan sayang. Dia selalu tahu bagaimana membuatku luluh. Kurasa dalam hal itu Papa memang benar: I will always be his little girl.
Aku tersenyum dan memeluknya. Mata Papa bersinar-sinar di balik kacamatanya kala ia merangkulku menuju ruang makan. “Sekarang kamu harus cerita. How’s Chicago? Om Rianto sama Tante Sarah? Semua baik-baik?”
* * *
Now I officially hate those little monsters.
Liburan yang seharusnya indah rusak total gara-gara dua monster itu: Reno dan Bella.
Tadinya aku membayangkan hari-hari yang tenang, nonton DVD seharian sambil ngemil segala makanan di kulkas, bangun siang, bersantai di rumah, dan sebagainya.
Santai apanya!
Setiap pagi, waktu aku masih lelap, Reno akan membuat keributan di depan kamar sampai aku terbangun dan membukakan pintu. Setelah itu dia akan melenggang masuk dengan santai seolah-olah kamar ini miliknya. Kalau aku nekat tidak membuka pintu, dia akan terus ribut. Di dalam kamar Reno hanya mondar-mandir sambil mengambili barang-barang yang tergeletak di lantai (dia tidak bisa menjangkau barang-barang di atas meja rias karena terlalu tinggi baginya – syukurlah!) seperti slippers atau sisir yang terjatuh, dan memainkannya dengan berisik. Damn.
Pernah aku lupa mengunci pintu kamar, dan terbangun jam 5 pagi dengan slippers di samping bantal. Reno mengambilnya, menjatuhkannya di sebelah kepalaku dan menarik bed cover sampai aku nyaris menjerit. Aku sudah siap meneriakinya karena jengkel, tapi Mama buru-buru mencegah, “Reno nggak bermaksud mengganggu kamu, Del. Dia hanya ingin main sama kamu. Salah sendiri kamu tidur nggak ngunci-ngunci pintu.”
Yeah right. Now I’m the bad guy. Aku menarik bed cover sampai menutupi kepala, uring-uringan. Mama dan Papa membuat keputusan sepihak dengan mengambil Reno dan Bella tanpa memberitahuku sama sekali, dan sekarang mereka mengharapkan aku berbaik-baik pada kedua makhluk itu, padahal mereka tahu aku sangat benci…
…ah, sudahlah. Percuma.
* * *
Aku menaikkan kaki ke atas sofa dan sedang bersiap menggigit sandwich ketika Bella menghampiriku dan menatapku dengan matanya yang bulat besar, menampilkan ekspresi minta dikasihani. Dasar perayu!
Aku mengunyah sarapanku dengan cuek, tidak mempedulikannya. Bella terus menatapku tanpa bergerak sama sekali. Matanya tidak lepas dari sandwich di tanganku. Dasar rakus. Padahal dia sudah sarapan!
Aku membawa piringku ke dapur. Bella membuntutiku, tapi aku menutup pintu keras-keras tepat di depan wajahnya. Sukurin!
Sorenya, kejadian yang sama terulang lagi. Aku baru membuka lapisan alumunium pembungkus cokelat –bahkan belum sempat menggigitnya—ketika Bella muncul di depanku, lagi-lagi dengan ekspresi minta-mintanya.
Please deh.
“Nggak ada cokelat buat kamu,” ucapku ketus. “Pergi sana, main aja sama Reno!” aku membuat gerakan mengusir dengan tanganku, tapi Bella diam saja.
Aku menggigit cokelat. Bella mendekatiku. Matanya tak lepas dari cokelat di genggamanku.
“Eh, bandel! Disuruh pergi malah ngedeket. Sana!” aku memelototinya.
Kalau sebelumnya aku berpikir bahwa Reno-lah yang paling nakal di antara mereka berdua, maka Bella adalah biangnya keras kepala. Dia sama sekali tidak bergeming mendengar omelanku.
Aku berjalan ke dispenser, mengambil segelas air. Bella mengikutiku kemana pun aku melangkah, seperti bayang-bayang. Aku menghempaskan diri ke sofa. Bella mematung, tapi dalam sekejap dia sudah berada di sebelahku.
That’s it. Enough is enough.
Aku berdiri, sudah siap memukul dan melontarkan sumpah serapah ketika pandangan kami bertemu. Kali ini bukan cokelat. Bella memandangiku dengan kedua matanya yang besar.
Ia menatapiku tanpa berkedip, dengan ekspresi polos yang selalu ditampilkannya sejak hari pertama kami bertemu. Raut yang tidak pernah berubah: lugu dan minta dikasihani.
Aku melempar cokelat ke atas meja, menunggu reaksinya. Bella hanya memandang cokelat itu sekilas, lalu kembali menatapiku. Aku diam mematung. Mendadak sebersit rasa tidak tega melintas di hatiku. Bagaimana pun, seperti kata Papa, dia sebatang kara sekarang. Mungkin aku harus lebih lunak kepadanya.
“Sudahlah.” kataku ketus. “Tapi kamu tetap nggak boleh makan cokelat. Makan yang lain aja, OK?”
Dengan patuh Bella berjalan mengikutiku ke kulkas.
* * *
“Hei! Sejak kapan elo deket sama Reno dan Bella?”
Aku tidak mengacuhkan komentar usil Fey –adik semata wayangku-- yang melintas di ruang tamu dengan kaus penuh keringat. Aku menoleh sekilas, lalu kembali berfokus pada talkshow di TV. Reno dan Bella duduk di sampingku, ikut mencerna acara tersebut dengan raut sok serius.
“Tumben, Mbak. Biasanya kan elo paling anti sa…”
“Shut up,” aku melempar bantal sofa ke arah Fey. “Mendingan lo mandi. Baunya sampe ke sini, tuh.”
“Don’t change the subject,” goda Fey si mulut jahil. “Sejak kapan lo jadi Nona Penyayang gini?”
“People change.” Aku bergumam, setengah terkejut karena jawaban yang kaluar dari bibirku.
People change?
Maybe yes. Aku tidak bisa menahan diri untuk melirik Reno dan Bella yang memandangi layar TV tanpa berkedip. Senyumku mengembang perlahan.
Entah bagaimana awalnya, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba aku tidak terlalu merasa keberatan lagi dengan kehadiran dua pengganggu itu. Malah sebenarnya, aku agak senang mereka ada di sini, seperti sekarang. Aku senang ketika mereka mendekatiku, untuk meminta makananku atau sekedar minta disayang. Aku senang ketika mereka menatapku dengan wajah polos yang menggemaskan. Aku senang ketika mereka masuk ke kamarku setiap pagi dan mengajakku bermain. Aku bahkan tidak ragu membelai mereka dengan sayang. Aku… jatuh hati.
Ya, aku jatuh hati. Pada mereka yang kubenci. Padahal aku baru pulang 4 hari.
“Ati-ati, Mbak,” lagi-lagi Fey muncul dengan gaya selebornya yang khas ketika aku asyik mengelus kepala Bella, “ntar kalo udah balik ke Chicago lo bisa kangen berat sama mereka.”
Aku tidak menjawab. Sepertinya sih iya. Aku pasti akan kangen. Tapi itu kan masih lama. Masih ada 3 minggu sebelum aku kembali ke sana.
“Delia, Fey, ayo makan dulu!” Mama berseru. “Makanannya udah siap! Ayo, nanti keburu dingin nggak enak, lho!”
Aku dan Fey saling bertukar pandang, menggeleng-geleng heran. Mama selalu lupa bahwa anak-anaknya tidak berumur 7 tahun lagi.
Aku bangkit dari sofa dan berjalan ke ruang makan. Fey menduluiku, setengah berlari. Aku menoleh ke arah Reno dan Bella yang masih asyik di depan TV.
“Reno, Bella, sini!” seruku sambil terus berjalan.
Dua anjing golden retriever melompat turun dari sofa dan mengibaskan ekor dengan gembira. Sinar matahari yang menerobos dari jendela menciptakan siluet indah saat Reno dan Bella mengikutiku dengan lincah sambil berebut menjilatiku.