Jam setengah sebelas malam, saya membuka pintu kos-kosan dengan hati-hati, takut membangunkan teman-teman yang pasti sudah terbang ke negeri antah berantah dengan pesawat kapuk masing-masing, karena lampu di ruang tamu sudah gelap.
Begitu membuka kamar, saya langsung disambut aroma pengap. Kamar saya memang lembab karena letaknya berselang dua kamar dari pintu kos-kosan, satu-satunya akses keluar-masuk udara segar. Tapi itu belum seberapa dibanding perut yang kerucukan minta diisi. Saya tidak sempat membeli nasi goreng di tukang mie tek-tek yang mangkal di pinggir jalan seperti biasa, karena selama perjalanan pulang tadi saya tertidur dengan suksesnya di mobil sahabat saya.
*Hei, kamu. Terima kasih banyak untuk tebengan gratisnya tiap Rabu malam… jangan bosen-bosen, ya. Hihihi.*
Setelah menyalakan kipas dan membuka pintu lebar-lebar demi lancarnya sirkulasi udara, saya menggeratak kulkas.
Ah, itu dia! YAY!
Masih tersisa setengah loyang kue pisang milik seorang teman yang bermarkas di lantai dua. Saya senyum-senyum girang dan mencomot dua potong. Dia pasti tak keberatan kue pisangnya ‘dipinjam’, meski saya tak yakin harus mengembalikannya pakai apa. ;-)
Sambil makan, pikiran saya lagi-lagi mengembara. Akhir-akhir ini ia memang tak sudi diam untuk waktu lama, kecuali ketika saya sedang berada di Kelas Hening (oh, itu sih bukan diam tepatnya, tapi istirahat).
Dan adegan-adegan itu kembali berhamburan menyerbu otak saya bagaikan film yang bergerak lambat. Adegan ketika untuk kedua kalinya saya berhadap-hadapan berdua dengan seorang partner yang tak terlalu saya kenal.
Kali ini, masing-masing dari kami akan menjalankan dua ‘peran’ secara bergiliran dalam durasi tiga puluh menit. Kami akan bergantian menjadi pendengar dan komunikator. Jatah setiap putaran adalah lima menit, yang artinya kami akan menjadi pendengar sebanyak tiga kali, begitu pula komunikator.
Ketika menjadi komunikator, tugas kami adalah menyibak keheningan untuk memberikan jawaban atas instruksi yang disampaikan oleh pasangan kami - menggunakan ‘pertanyaan’ tersebut sebagai pancingan untuk menyibak kesejatian diri. Ketika menjadi pendengar, tugas kami adalah mengomunikasikan apa yang ingin diketahui tentang diri pasangan kami dalam sebuah instruksi yang terdiri dari kalimat pendek, menyediakan telinga untuk mendengar, dan ‘hadir’ di sana untuknya. Sekadar hadir sepenuhnya, mendengarkan seutuhnya. Tanpa menjatuhkan penilaian, tanpa mencetuskan solusi, tanpa bersentuhan, bahkan tanpa bicara sama sekali (dimana untuk yang satu ini saya berulangkali mengingatkan diri sendiri untuk sejenak melupakan kodrat sebagai spesies ciptaan Tuhan yang paling cerewet).
Dan putaran pun dimulai.
Lagi-lagi keindahan itu merebak, dimulai sejak menit pertama saya dan pasangan saya bertatap-tatapan dan bertukar senyum. Sepercik jengah hadir di antara kami. Saya hanya bisa tertawa nervous selama lima detik pertama, namun rasa itu hilang dalam sekejap ketika pandangan kami kembali beradu.
*WARNING: Entri ini akan banyak mengandung kata ‘indah’, ‘sempurna’, ‘hati’, ‘jiwa’. Maaf atas repetisi ini, karena saya tidak berhasil menemukan kata yang lebih pas. Tolong bersabar. ;-)*
“Beritahu saya siapa diri Anda,” pasangan saya berkata, pelan dan sungguh-sungguh. Kalimat yang sama akan dijadikan ‘pancingan’ selama setengah jam ke depan, dan ini adalah giliran saya untuk menjawab.
Seharusnya saya memusatkan perhatian untuk menjawab kalimat itu, tapi saya hanya termangu sambil berusaha mencerna apa yang sedang saya rasakan. Sungguh janggal, karena ini terjadi dalam menit pertama, yang sejujurnya, sangat berada di luar perkiraan.
Saya memejamkan mata, menenggelamkan diri dalam hening, namun hati saya terus beriak. Indah sekali bisa duduk berhadapan, tanpa perlu benar-benar mengenal sosok di depan saya, bisa mendengar “Beritahu saya siapa diri Anda” yang bukan basa-basi, bisa belajar membuka diri seutuhnya tanpa pretensi ...dan diterima apa adanya.
Namun, momen yang paling indah adalah ketika kami berganti peran; saya sebagai pendengar, dan pasangan saya komunikatornya. Saya menyampaikan instruksi yang sama, kemudian sepenuh hati menunggu jawaban - hanya menanti tanpa tahu apa yang saya harapkan.
Pasangan saya membuka mata dan mulai berucap. Suaranya sangat pelan sampai saya harus mencondongkan tubuh demi menangkap kata-katanya. Lagi-lagi saya bergetar oleh keindahan yang merasuk tanpa ampun saat tatapan kami beradu. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kesempurnaan yang tak terselami akal. Tak peduli apapun isinya. Seolah yang mampu dipancarkan oleh pasangan saya hanya kesempurnaan semata, dan tak kurang dari itu.
Saya hanya bisa terpaku. Ternyata semua orang sama sempurnanya. Dan kita berjuang mati-matian mencari apa itu sempurna, karena kita menyangka dengan kehidupan yang sempurna kita bisa bahagia.
Sekian menit mendengarkannya bertutur, pikiran saya kembali lolos.
Seumur hidup, sejak mengenal lingkungan sosial dan pergaulan, entah sudah berapa kali saya duduk bersama seseorang dan bercakap-cakap, mulai dari bersenda gurau tak tentu arah, mengobrol ringan, sampai curhat panjang-lebar. Saya selalu meresponi setiap orang dengan cara yang sama: sepanjang ia bercerita, pikiran ini tak henti-hentinya bekerja mengevaluasi, merumuskan penilaian, merangkai pemecahan masalah, dan setelah orang yang bersangkutan selesai bicara, dalam sekian detik saya langsung bisa menawarkan solusi terbaik yang (saya anggap) bisa menolongnya keluar dari masalah tersebut. Apabila ia bercerita tentang dirinya sendiri, pikiran saya langsung bekerja membuat profiling dan menyimpan semua data yang dibutuhkan dalam bank memori.
Tak pernah saya sekadar duduk di sana, hadir, menyediakan telinga dan hati apa adanya, untuk menerima segala sesuatu yang dikatakan orang lain, sepenuhnya, seutuh-utuhnya, tanpa berusaha membuat penilaian apapun, merumuskan apapun, merangkai apapun. Baru saya sadar, tak pernah sebelumnya saya betul-betul ‘ada’ untuk lawan bicara saya.
Ya, hanya hadir. Menatap sepenuh hati. Berfokus. Menunggu. Memperhatikan. Mendengarkan. Tanpa pengharapan. Tanpa menilai. Tanpa reaksi. Tanpa evaluasi. Menerima seutuhnya.
Sebuah perasaan yang sulit dilukiskan kembali singgah ketika mendadak saya sadar, apapun yang dikatakan oleh partner saya, entah dia mengaku baru saja membunuh orang atau melakukan kejahatan terbesar di dunia, saya tak akan peduli.
Sungguh, saya tak akan peduli. Saya terlalu terpukau oleh keindahan yang hadir ketika jiwa kami saling menyibak lapisan demi lapisan keberadaan masing-masing. Saya diliputi haru ketika saya sadar diri ini mampu menerima orang lain apa adanya.
Saya tahu rasanya tidak diterima apa adanya, ketika lingkungan dan pergaulan menuntut saya untuk ‘menjadi bukan Jenny’ demi memenuhi konsep ideal dan ekspektasi orang lain. Saya tahu rasanya berusaha mati-matian hanya demi bisa diterima. Dan tanpa sadar saya menerapkan pola yang sama kepada orang lain.
Tak jarang saya memiliki pengharapan yang begitu tinggi dan muluk atas seseorang, dan menjadi kecewa ketika pengharapan itu tak menjadi kenyataan. Tak jarang saya menyimpan citra tentang orang lain dan berharap citra itu akan abadi selamanya, lalu kecewa bukan buatan ketika mendapati bahwa orang yang saya temui telah berubah. Tak jarang saya menyimpan konflik batin atas sebuah situasi yang terjadi bertahun-tahun silam. Menjadikannya masalah hanya karena saya tak menyukai situasinya. Menjadikan diri saya sendiri tempat sampah atas segala kemarahan dan kepahitan yang tidak berujung.
Saya menatap pasangan saya lekat-lekat. Mendadak mata saya basah.
Kamu cantik sekali hari ini. Betapa ingin saya melafalkan itu.
Saya tidak sedang bergurau, dan ini bukan pertanda penyimpangan preferensi seksual. Saya hanya melihat keindahan itu sebagaimana adanya, seperti yang tertangkap oleh indera saya: kesempurnaan dalam diri.
Saya sangat tergoda untuk bertanya apakah pasangan saya telah menjalani laser surgery, facelift atau apapun yang membuatnya tampak jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Saya ingin menemukan rahasia yang membuat wajahnya berbinar-binar. Barangkali saya bisa mencobanya belasan tahun dari sekarang, jika saya telah resmi dinobatkan sebagai tante-tante berumur kepala empat. Saya sungguh ingin tahu produk anti-aging apa yang mampu memusnahkan kerut dan penuaan hanya dalam tujuh hari, karena ketika kami berjumpa minggu lalu, ia tak sebercahaya ini.
Dan mata saya terus membasah, meski tak ada setitik air pun yang mengalir. Selama sekian menit, di ruangan yang berisik oleh suara-suara lain, deru kendaraan dan pengeras suara dari mall di seberang, mendadak Bumi berhenti berputar. Waktu berhenti. Atau apapun itu. Yang ada hanya saya dan dia.
Dan bibir saya terus mengembang. Tak bisa berhenti tersenyum.
Ya Tuhan, indahnya. Indahnya sekadar hadir dan ada. Indahnya berada di sana, bahkan untuk seseorang yang tak saya kenal. Indahnya meminjamkan telinga untuk mendengarkan tanpa perlu terdistraksi oleh suara-suara pikiran sendiri. Indahnya menyadari bahwa selama sekian menit, saya tak lagi hidup untuk diri saya sendiri. Tak ada lagi ‘Jenny’ ketika saya membuka hati untuk menyimak sosok di depan saya tanpa pretensi, tanpa evaluasi.
Mendadak, saya merasakan cinta yang luar biasa. Terhadap momen ini. Terhadap diri saya sendiri. Terhadap partner saya. Saya ingin melompat dan memeluknya. Tanpa sebuah alasan spesifik. Tanpa perlu banyak cakap. Saya hanya ingin merengkuhnya seerat yang saya bisa. Mengungkapkan ‘aku sayang kamu’ tanpa banyak kata.
Terima kasih, Tuhan.
Hanya itu yang dapat dibisikkan batin saya, ketika lagi-lagi pikiran saya terlepas selama beberapa detik. Baru saya menyadari, betapa hausnya saya akan pengalaman-pengalaman otentik seperti yang direguk jiwa saya dua minggu terakhir.
Terima kasih karena saya mampu menangis menghadapi seseorang yang tak saya kenal. Bukan karena iba mendengar curhatnya. Bukan karena jengkel, sebal atau marah; melainkan karena menyelami keindahan yang tak terperi. Bahwa jiwa ini mampu menyambut seseorang apa adanya, seutuhnya, setulusnya. Bahwa saya sanggup mengungkap keberadaan saya tanpa takut dinilai, dikritik, dihakimi. Dalam kesunyian, kami tahu bahwa kami telah diterima. Oleh pasangan kami. Oleh diri kami sendiri.
Bel tanda pergantian peran berbunyi.
Kami saling membungkuk dengan tangan terkatup di dada. Sepenuh hati saya melafalkan dua kata itu: Te-ri-ma ka-sih.
Pasangan saya mengulangi instruksi yang sama, “Beritahu saya siapa diri Anda.”
Saya memejamkan mata, menyibak hening untuk mendengarkan suara yang muncul dari dalam sana. Ah, ya, saya tahu apa yang akan saya ungkapkan. Sebuah sisi yang jarang terverbalkan dan kini muncul dengan leluasa.
Perlahan saya membuka mata ...dan terhenyak.
Mendadak, susunan penjelasan tentang ‘siapa saya’ menjadi blur. Mendadak, deretan kata yang terangkai di benak ini tak mampu lagi membentuk sebuah kalimat utuh. Mendadak, saya merasa tak ingin berkata-kata. Mendadak, yang ingin saya lakukan hanya duduk diam, menghabiskan lima menit ke depan menatapi sosok di depan saya, tatkala indera penglihatan ini menemukan surganya dan jiwa saya kembali terpukau menyambut keindahan yang tak terukur logika.
Wajah di depan saya adalah wajah seorang malaikat.