Saturday, April 18, 2009

Dilarang Buang Sampah Sembarangan

Sebagai seseorang yang belum lama beredar di blogosphere (dua tahun? Nggak ada apa-apanya itu mah, dibanding ibu ini, jeung ini, dan bapak ini – hai, Senior! ;-D), saya tidak terlalu paham kebiasaan para peselancar maya ketika berinteraksi melalui commenting system. Sejauh yang saya tahu, comsys merupakan sarana interaksi antara seorang blogger dengan para pembaca blog-nya, juga wadah komunikasi antar sesama blogger. Itu thok.

Di awal perintisan karir (halah!), saya sering sekali ‘meloncat’ dari satu blog ke blog lain, melihat-lihat isinya sekilas, dan tancap gas setelah meninggalkan jejak di comsys. Tujuannya? Biar eksis ateuh. Saya sendiri sangat suka membaca komentar-komentar yang dituliskan orang di comsys saya, entah itu respon pembaca, sesama blogger yang juga sedang berjuang untuk eksis, atau sekadar balasan basa-basi dari pemilik blog yang pernah saya singgahi.

Setelah menjalin pertemanan dengan beberapa blogger, kebiasaan saya berkomen-ria-supaya-eksis digantikan dengan kegemaran baru: menyampahi blog orang. Salah dua rumah maya yang sering saya ‘sampahi’, tentunya milik ibu ini dan jeung ini.

Maksud ‘nyampah’ di sini adalah meninggalkan komentar garing atau celetukan omong-kosong nan sektoral yang tidak ada kaitannya dengan entri yang dipublikasikan. Atau, kalaupun ada, porsinya kecil. Yang penting bukan korelasi antara komentar dengan entri, tapi ya... sekadar memeriahkan suasana. Dan walaupun sudah dianggap basi oleh sebagian blogger senior orang, saya tetap suka menuliskan PERTAMAX kalau kebetulan menemukan entri baru yang masih gersang. ;-D

Di satu sisi, meskipun judulnya ‘nyampah’, saya selalu berusaha memperhatikan rambu-rambu etika dalam berkomentar, seperti tidak mendiskreditkan siapapun, tidak mencela orang (dalam konotasi negatif ya, kalau bercanda mah sering), dan kalau kebetulan tergerak untuk berkomentar dengan benar mengungkapkan pendapat –meskipun perspektif saya berseberangan dengan penuturan sang empunya blog— saya selalu berusaha menuliskannya dengan baik. Minimal sopan. Setidaknya, saya menghindari unsur-unsur brutalisme dalam komentar yang saya berikan (maksudnya brutalisme? Kasar, sradak-sruduk, main hakim sendiri, main hajar).

Sebagai peselancar ranah maya yang juga punya blog sendiri, saya tidak memungkiri bahwa setiap tulisan yang saya taruh di blog –begitu ia muncul di halaman utama sebagai sebuah entri— secara otomatis menjadi ‘milik umum’ yang bisa dibaca dan dikomentari siapa saja. At least, itu konsekuensi dari mempublikasikan tulisan yang bisa diakses semua orang.

Sampai sekarang, saya belum berminat memoderasi comsys, meski beberapa teman sudah melakukannya dari jauh-jauh hari. Saya juga tetap anteng ketika seorang kawan berkomentar, “Tunggu aja, nanti juga ada waktunya kamu harus moderasi komen-komen yang kamu terima.”

Sejauh ini, saya belum pernah mendapatkan komentar ngajak berantem yang langsung di-posting di blog saya, meski comment box tidak dimoderasi. Namun, saya sempat merasa prihatin ketika menjelajah blog milik beberapa teman, yang karena satu dan lain hal, menuai cukup banyak komentar miring. Bahkan tidak hanya di comsys.

Seorang teman baru-baru ini menutup shout box di blog-nya, lantaran tidak tahan dengan sampah yang terus dijejalkan ke sana oleh orang-orang tanpa identitas jelas yang -entah bagaimana- merasa berhak ikut campur dalam kehidupan pribadinya seenak jidat. Kasar. Nyinyir. Semena-mena. Main hakim sendiri. Kadang sampai melontarkan kata-kata yang tidak pantas dituliskan di blog pribadi orang lain. Pasalnya sederhana saja, persepsi yang dimiliki teman saya tidak bisa diterima oleh para pengunjung blog-nya. Tidak sejalan dengan paham yang mereka yakini. Tidak seiring dengan konsep ideal mayoritas. Atau semata-mata dianggap berseberangan dengan logika. Dan lucunya, para pengunjung blog ini seolah lupa bahwa mereka hanyalah tamu di rumah maya milik orang lain.

Saya membaca komentar-komentar itu dan bertanya-tanya, begitu tipiskah toleransi yang kita miliki atas kesenjangan persepsi, perbedaan prinsip, atau apa pun yang terjadi di rimba internet tanpa batas ini? Yup, dunia maya yang kita diami bersama ini memang bagai hutan rimba. Tanpa batasan. Tanpa aturan baku. Tanpa hukum. Yang ada hanya lajur tipis etika tanpa label yang muncul dari kesadaran pribadi para penghuninya dan mereka yang senang bermain-main di dalamnya. Dan, sejauh yang berhasil saya amati, memang hanya itu yang menjadi pagar kita dalam berinteraksi satu sama lain: kesadaran pribadi.

Tidak ada salahnya mengadu perspektif yang kita miliki. Tidak ada salahnya mengungkapkan pendapat secara blak-blakan. Tidak ada salahnya melontarkan ketidaksetujuan atas suatu hal. Tidak ada salahnya berseberangan pendapat dan mendiskusikannya secara terbuka. Semua patut dihargai. Semua patut mendapat perhatian. Objektif atau subjektif. Benar atau salah. Semua menjadi relatif, dan tidak ada yang keliru dengan itu. Namun, ketika kesenjangan persepsi dikomunikasikan dengan sesuka hati -melalui beragam asumsi dan komentar yang main hajar semaunya dan main hakim sendiri- bagi saya ada sesuatu yang tidak sehat di sana. Komentar-komentar semacam ini bukan lagi ‘sekadar’ pendapat yang layak memperoleh perhatian, melainkan sampah yang mengganggu. Bukan lagi tak sedap dibaca, namun sudah mencemari batin. Menjadi polusi hati dan pikiran. Mengundang penyakit.

Saya tidak ingin berceloteh panjang-lebar tentang bagaimana menyikapi perbedaan perspektif. Saya tidak akan mengoceh tentang prinsip-prinsip kesopanan seperti guru Pendidikan Moral jaman baheula yang jawaban ulangannya selalu ketebak. Saya tidak menuliskan ini untuk menggurui.

Saya hanya satu dari sekian banyak penghuni ranah maya yang mencintai lahan tempat saya bermain-main ini. Mungkin memang terlalu muluk untuk mengharapkan yang indah-indah di hutan rimba ini, tapi setidaknya saya ingin memelihara harapan itu sedikit lebih lama. Dan untuk itu, saya cuma punya satu pesan, yang mudah-mudahan layak mendapat tempat di hati kita semua, atau paling tidak, berhasil mencuri sepotong perhatian agar upaya saya menuliskan ini tidak sia-sia.

Rimba ini, meski tak berpagar dan tak memiliki undang-undang, adalah tempat yang patut kita jaga bersama agar tetap nyaman ditinggali.

Caranya?

Sederhana saja.

Jangan buang sampah sembarangan kecuali monyet.

-----

12 comments:

okke! said...

Nyampah itu macam gini kan:
"word verification buat komen gw yang ini : safle. Hore pertamax!"

PS: elu juga keknya kalo nyampah perlu difilter. hahaha....

Jenny Jusuf said...

Setelah diinget2 lagi, udah lama kayaknya gue gak ngomen PERTAMAX. Apakah ini tandanya gue termasuk jajaran blogger senior? Ha! ;-D

BTW, word verification buat komen ini: sticath. Sticath Gigi.

ezra said...

word verification kali ini.. "extesse"..
ajep.. ajep.. arintintintin.. arintintintin.. manggut2.. geleng2..
haha.. sampah pertamax-ku..

Anonymous said...

hehehhehehe ajippppppp, jeng.. bagus2.. :)

Poppus said...

j, maksudnya "Jangan buang sampah sembarangan kecuali monyet" itu berarti kalo sampahnya berupa monyet, boleh ya j? hauhauahuah


ihiiiiii gw nyampaah nyampaaaah

Jenny Jusuf said...

*sigh*

Gue harusnya bisa nebak yak, makin dilarang malah makin jadi. What you resist, persists. ;-D

Jadi sekarang gue ubah deh: BUANGLAH SAMPAH SEBANYAK2NYA, hahahaha!

Prita said...

Dear Mbak Jenny,

Satu hal yang bikin saya ketagihan mampir kesini adalah, karena selalu bisa "numpang ngadem". Beneran Mbak, entah ini kebetulan, sinkronisasi atau dramatisasi (hehee..) tp sy ngerasa seolah2... We're connecting!!!
Kegelisahan mengenai hal2 yg mirip, dirasain dlm waktu yg hmpir sama, dan anehnya... Sesaat setelah menuliskan bbrapa entri dan mampir ke sini, trnyata entri yg Mbak baru posting seakan nyambung juga!!! ***atau, saya yg lebay aja kali ya????**** kakaka...

Saya menulis di blog untuk membuang sampah di lahan saya sendiri, sarana bercermin, dalam rangka belajar menahan diri u tdk menilai orglain, atau menjadi hakim yg tidak ditunjuk. Komentar dari pembaca sangat membantu saya bercermin. Tp harus diakui, sedih juga kalau ada yg datang hanya untuk buang sampah... Terlebih karena dia nggak (mau) punya tong sampah sendiri.
Terimakasih u "mewakili" bersuara, Mbak Jen!!
Kalo boleh, entri ini saya posting di rumah saya ya...

Love, Prita

Jenny Jusuf said...

Dear Prita,

Terima kasih sudah berbagi di sini, ya. It's really nice to hear from you. :-)

Silakan kalau mau diposting di blog-mu, tolong cantumkan juga alamat blog ini sebagai sumbernya ya.

Thanks!

Prita said...

Mbak Jen, Lapooooorrrr....

udah aku posting di rumahku. Lengkap dengan alamat dan link kesini :-)

Main2 yah..
Thanks for being -one of- my "mirror"

hehewww..
Love, Prita

sonn said...

sepulux!

hauhuhwauhwauhwauwhuwhhuuhwahuwa...

Anonymous said...

sepertinya memang tergantung pada sang komentator yah, untuk bertindak "sembarangan" dan menganggap terbaik ada pada dirinya saat berkomentar pada sebuah postingan orang lain atau berfikir bahwa setiap orang mempunyai hak dasar untuk beropini.

hmm, nice posting:)

JengMayNot said...

Waaah.... gw baru baca entry ini. Tanggal postingnya pas gw mulai krisis domestik ya, pantes gw gak bloghopping

*ini contoh komentar sampah... hehehe... nggak nyerempet sama sekali dengan isinya :-p*