Ayah saya, sebagaimana begitu banyak warga keturunan lain di negara ini, punya stereotipe tersendiri terhadap mereka yang ‘berbeda’ dengan kami. Beliau tentu memiliki alasan khusus, dan saya tidak menyalahkannya –atau siapapun— atas hal tersebut.
Sebagai anak tertua di keluarga, dan sebagai anggota dari keluarga besar, kami tumbuh besar dengan meyakini bahwa pasangan hidup kami nantinya haruslah orang-orang yang memiliki garis keturunan sama dengan kami. Bermata sipit dan berkulit kuning langsat. Lebih bagus lagi kalau punya nama Cina dan bisa berbahasa Mandarin. Meski ketentuan ini tidak tercantum di buku panduan mencari jodoh, pasangan sejenis (sukunya ya, bukan jenis kelaminnya) adalah sesuatu yang sudah terpatri di benak kami begitu kami menginjak usia yang cukup untuk paham arti kata ‘pacaran’.
Ada peraturan tak tertulis di keluarga kami bahwa setiap anggota keluarga yang sudah memiliki pasangan (baik berstatus pacar maupun calon suami/istri) harus membawa orang tersebut ke acara yang dihadiri seluruh keluarga besar (misalnya ketika Imlek, malam Tahun Baru, atau sesuatu sesederhana perayaan ulang tahun) untuk dikenalkan kepada semua anggota keluarga. Kesamaan suku tentu saja menjadi prioritas nomor satu, dan seingat saya, belum pernah ada satu pun sepupu saya yang cukup nekat membawa seseorang yang tidak sipit dan tidak berkulit kuning langsat.
Saya tidak tahu kenapa bisa begitu, tapi seingat saya, jangankan membawa ke acara keluarga, belum pernah ada anggota keluarga besar saya yang cukup nekat menjalin hubungan dengan orang yang berbeda suku. Pola
screening itu sepertinya sudah mendarah daging dan dilakukan secara otomatis kepada siapa pun yang mendekati salah satu dari antara kami. Bahkan agama menempati urutan kesekian. Yang penting satu suku.
Ayah saya, sebagaimana begitu banyak warga keturunan lain di negeri ini, punya catatan yang kelam dengan mereka yang disebut pribumi, tanpa bermaksud menyudutkan pihak manapun. Meski ia jarang membicarakannya, saya tahu luka itu ada. Meski ia tidak pernah melarang saya berhubungan dengan teman-teman non-cina saya, saya tahu ia berdoa agar kelak saya mendapatkan pasangan yang sama dengan kami. Bukan sekali-dua ia menyiratkannya. Ia hanya terlalu lembut hati untuk menyampaikannya kepada saya dengan tegas dan blak-blakan. Maka, percakapan tentang pasangan hidup pun menjadi topik yang hampir tak pernah disinggung. Kami amat jarang membicarakannya.
Saya ingat, kali terakhir kami membahas topik yang satu itu adalah sekitar dua tahun lalu, di Minggu pagi saat ia mengantarkan saya ke gereja. Saya lupa bagaimana topik itu bisa tersangkut dalam percakapan ringan kami, yang saya ingat adalah ekspresi dan nada suara Ayah yang datar saat ia berucap pelan, “Kalau bisa, dapatnya yang Cina, lah…”.
Saya tahu, beliau ingin menyampaikan lebih dari sekadar ‘kalau bisa’. Saya sudah terlalu mengenalnya. Lelaki yang saya cintai itu tak pernah terang-terangan mengungkapkan keinginannya kepada anak-anaknya. ‘Kalau bisa’ sudah berbicara lebih banyak kepada saya dari yang mampu diutarakannya.
Setengah tahun belakangan, topik yang dulu jarang saya indahkan itu mulai sering singgah di pikiran. Tidak jarang saya bertanya-tanya sendiri, benarkah ini yang saya inginkan? Untuk kelak berpasangan dengan seseorang yang bermata sipit dan berkulit kuning langsat? Untuk menjalani hidup seperti yang telah digariskan untuk saya – bukan oleh takdir, namun oleh tradisi yang sudah mengakar turun-temurun? Apakah saya akan benar-benar bahagia hidup dalam kotak tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran tak henti-hentinya. Seorang sahabat berkomentar bahwa tak selamanya saya perlu hidup untuk memenuhi keinginan orang lain. Saya hanya menanggapinya dengan senyum tipis.
Kamu enak bisa bilang begitu, batin saya,
kamu bukan orang Cina, dan keluargamu tidak akan menjadikanmu bulan-bulanan hanya karena menggandeng seseorang yang garis matanya berbeda denganmu ke acara keluarga.
Saya hanya ingin hidup damai. Tapi toh saya tidak tahu, sampai kapan saya mampu bertahan menjaga kedamaian itu.
Dua tahun berlalu tanpa percakapan itu pernah disinggung lagi.
Beberapa hari lalu, seorang kawan menanyakan apakah saya bersedia diwawancarai untuk melengkapi materi risetnya. Ia seorang penulis skenario, dan tokoh utama dalam calon film terbarunya adalah peranakan Cina. Saya menyanggupi. Wawancara itu berlangsung ringan dan santai, namun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan membuat saya menilik kembali dan mengkaji ulang, apa saja nilai yang saya terima sebagai seorang warga keturunan yang dibesarkan di Bumi Pertiwi. Termasuk dalam hal berelasi dan menentukan pasangan hidup.
Semakin saya menjawab pertanyaan yang diajukan, semakin sering pula saya bertanya kepada diri sendiri,
inikah yang kamu inginkan, Jen?
Saya bahkan tidak berani menjawabnya.
Setelah percakapan itu berakhir, saya termenung sendiri. Mendadak, pikiran saya dipenuhi begitu banyak hal yang simpang siur.
Merasa bukan waktunya menjejali otak dengan hal-hal rumit, saya memutuskan untuk mandi. Tepat sebelum saya meraih kotak berisi peralatan mandi, ponsel saya berdering untuk kedua kali.
Lelaki yang harumnya selalu saya rindukan itu menelepon.
“Sedang kangen Mama kamu,” katanya. Saya tersenyum dan memutuskan, mandi bisa menunggu.
Sejurus kemudian, meski telinga saya mendengarkan dan mulut saya mengobrol, saya sadar, otak saya tidak berhenti memproses percakapan terdahulu saya.
“Papa keberatan nggak, kalau saya nikah dengan yang bukan
Chinese?”
Sama seperti begitu banyak pertanyaan-nggak-pakai-mikir lainnya, kalimat tersebut terlontar begitu saja.
“Ya nggak apa-apa, memang kenapa?” Beliau menjawab enteng.
Heh?
“Serius?” Saya bertanya dengan takjub campur kaget.
“Iya. Kamu mau nikah sama siapa aja, nggak apa-apa. Hidup, hidup kamu. Kamu bebas…” jawabnya, masih dengan nada ringan yang sama, seolah percakapan dua tahun silam tidak pernah ada.
Saya mencoba mencari ketidakrelaan di balik kalimat-kalimatnya, namun tidak berhasil menemukannya. Saya mencari lagi. Mungkin ada sebaris kecewa yang berusaha ia tutupi. Nihil.
“
Chinese atau bukan, nggak masalah. Yang penting, kamu harus ingat, laki-laki itu harus sayang sama kamu, perhatian, dan bukan anak Mami,” lanjutnya.
Saya mendengarkan dengan mulut terbuka, sementara benak saya tak henti-hentinya mencoba merangkum apa saja yang telah terjadi selama dua tahun ini. Apa yang membuatnya berubah pikiran? Apa yang membuatnya begitu mudah membebaskan saya untuk menempuh jalan hidup yang saya pilih sendiri?
“Itu hak kamu, siapa pun yang kamu pilih. Kamu bebas…” tuturnya lagi, menyiramkan air sejuk pada hati saya.
Setelah percakapan berakhir, saya menutup telepon dan membatalkan niat saya melangkah ke kamar mandi. Saya duduk di tempat tidur sambil menimang ponsel, dan perlahan, mata saya membasah.
Saya pikir, sebaris “
I love you” dan “
Take care” yang kami pertukarkan hampir setiap hari adalah hadiah paling berharga yang bisa kami berikan kepada satu sama lain. Saya salah. Ternyata beliau masih punya hadiah berharga lain.
Saya tak tahu apakah Ayah menyadarinya, namun malam itu, tidak hanya dilepaskannya seonggok beban dari pundak saya, ia juga memberi saya sepasang sayap.
Terima kasih Tuhan, untuk Ayah terkeren di dunia.
I am so lucky.
-----