Friday, July 9, 2010

Jarak

Sinar keemasan sudah menerobos dari tadi, tak mampu dibendung tirai coklat yang menjuntai sampai lantai.

Kau menggeliat. Bisa kudengar desahanmu karena punggung kita cuma terpaut belasan senti. Desah panjang pertamamu di pagi hari.

“Jam berapa?” kau bergumam. Separuh nyawamu masih di dunia lain. Aku tak menyalahkan. Semalam memang cukup melelahkan.

Aku sudah bangun satu jam lalu, menatapi ruangan gelap yang perlahan menjadi terang.



Tidak satu hari pun berlalu tanpa kucoreti angka-angka di kalender yang tergantung di kamar. Setiap hari kuhitungi jarak ke pertemuan berikutnya di mana aku bisa menatapmu, mendekapmu, dan merasakan hangat napasmu di leherku. Tubuhku yang telanjang. Jiwaku yang merindu.

Tak satu hari pun kulewatkan tanpa mengingatmu. Sekadar menyebutkan namamu dalam hati, atau tersenyum saat melewati foto dalam pigura di meja kopi. Foto yang kerap kau protes, “Taruh di kamar aja lah, Say. Nggak enak kalau kelihatan orang.”

“Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda,” itu yang sering kau bilang. Dan aku setuju.

Kau kemari setiap bulan untuk memuaskan yang kedua.

Payudara kanan istrimu tak mampu lagi merasa. Pengangkatan dan implantasi telah mengubah segalanya. Mengubah hidupnya, dan pernikahan kalian. Tubuh ringkihnya sudah menggemuk sejak pertemuan pertama kita di lorong rumah sakit empat bulan silam, namun semuanya memang tak pernah sama lagi.

Penyakit itu muncul setahun yang lalu. Jam-jam panjang penuh duka, air mata, rintihan dan keluhan terlalu lama menderamu. Mengurasmu. Kini ia kembali ke sisimu. Tempat tidurmu tak lagi terlalu luas, namun ada jarak lain yang lebih sukar diseberangi.



Setiap bulan kita mengulangi ritual yang sama.

Kau akan muncul di apartemen ini, mendekapku erat dan berkata betapa kau merindukanku. Aku akan tersenyum dan membuka sebotol anggur yang tak pernah absen tersedia di meja makan.

Kau akan bercerita, kadang dengan kelelahan di matamu, kadang dengan senyuman. Tentang pekerjaanmu, tentang anak-anakmu. Si Sulung yang mulai menyesuaikan diri di sekolahnya yang baru. Si Bungsu yang sudah lincah dan tidak bisa duduk diam barang semenit. Dan, kadang, tentang istrimu. Aku akan mendengarkan dengan antusias. Cerita-ceritamu selalu menarik, dan yang terpenting, kau membaginya denganku.

Sambil bercerita, sesekali kau melirik telepon genggam.

Kau tak pernah meninggalkan benda itu barang sekejap. Satu meter maksimal jaraknya darimu, bahkan ketika kita sedang memadu nafsu. Teleponmu akan berdering minimal satu kali, pada waktu yang nyaris selalu sama. Sikapmu biasa-biasa saja, namun tak bisa kau bohongi gerak gesitmu saat nada dering yang kau pasang khusus untuknya berbunyi, dan tak bisa kau pungkiri betapa tuturmu menghalus saat berbicara dengannya. Betapa matamu berbinar penuh cinta meski kalian tidak sedang bertatapan.

“Aku masih meeting. Tidurlah. Besok aku pulang,” demikian ucapmu selalu. Diakhiri dengan tiga kata yang memang menjadi jatahnya. Yang sudah kau ukir di hatimu sebelum kau memintanya mendampingimu seumur hidup.

Kau menutup telepon dan meletakkannya di meja kecil di sisi tempat tidur agar mudah dijangkau. Lalu kau merengkuhku, menciumku. Aku mendekapmu, membiarkanmu beristirahat, merasakan desah napasmu di pundakku yang telanjang. Napasmu yang perlahan memburu.

Selama beberapa jam berikutnya, kau menjadi milikku sepenuhnya. Selama itu pula, cuma aku yang ada di pikiranmu. Bukan pekerjaanmu. Bukan anak-anakmu. Bukan dia. Cuma namaku yang akan kau sebutkan, cuma harumku yang akan kau hirup, bercampur dengan erangan dan peluh yang menetes. Beberapa jam yang rela kutukar dengan mencoreti kalender setiap hari, menyebut namamu, memandangi fotomu.

30 hari yang kadang bagai neraka, namun takkan kutukar dengan apa pun.

30 hari yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan beberapa jam keberadaanmu di sini. Meskipun setelahnya kau membalikkan badan dan tertidur pulas, membiarkanku terjaga sendirian. Meskipun esoknya kau tergesa-gesa meninggalkan kamar ini untuk mengejar pesawat terpagi.



Cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda. Kau datang ke sini setiap bulan untuk memenuhi yang kedua, lalu kau akan pulang untuk memberikan cinta pada dia yang menunggumu.

Dan sejauh itulah jarak yang bisa kuarungi untuk pulang ke hatimu.

-----

16 comments:

Ruthie said...

Woww.. keren nih, Jen..
tapi ngeri juga ngbayanginnya ;P

bintang jatuh said...

ceritanya tragis sekali mbak jen... jarang kita melihat dari sudut pandang si 'orang ketiga'... nice story :)

bertha said...

cinta dan nafsu adalah hal yg berbeda
setuju!! :D

Anonymous said...

cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda...tapi mungkin berkaitan..

Sebaik apapun 'orang ketiga' dia akan selalu dianggap jahat...

Jen..aku menunggu ceritamu selanjutnya...

~hitta~

Unknown said...

lantas apa yang saat ini lebih abadi mbk ? apakah cinta atau nafsu ? atau keduanya akan selalu menjadi dua sisi yang berjalan bersisian atau hanya soal pilihan manusia saja

tha said...

wow...tulisan yang bener-bener keren...ditunggu tulisan selanjutnya mbak..
salam kenal :)

plainami said...

aku suka ini :) good one JJ

editor in chic said...

too close to home, J.

Unknown said...

I really like this :)

Dunia Lazuardi said...

waw...
keren bgt,
vey like this for this story mba J...

uhcarol said...

Hi,

Just read one entry of your blog.
This one is too creepy to even imagine. Bagus. Dan ngeri.

Baca lagi ah yang lainnya.

In The Turbulence of Destiny said...

you've post a VERY STORY >>> A damn good story

Anonymous said...

begitu nyata terbayang..nice story..is that a reality?

depz said...

1 kata
SADISSSS

Teti Mardiana said...

merinding,memelas, memiris dan akhirnya ketiganya akan tersayat-sayat, semoga itu tidak pernah terjadi

anthie said...

keren bgt mbak..cinta yang menyakitkan..