Tadi malam, waktu sedang asyik-asyiknya mengedit cerpen terbaru, tiba-tiba ‘pett…’ lampu mati. Setelah diam beberapa saat dan mata mulai terbiasa dengan kegelapan, saya mengambil handphone (yang untungnya masih nyala, padahal baterainya sudah sekarat), lantas mendial sebuah nomor.
Enggak sampai semenit, saya sudah ngomel-ngomel pada petugas PLN pertama yang cukup apes untuk mengangkat telepon. Si petugas hanya bisa pasrah – atau cuek (mengingat suara belernya yang khas baru bangun tidur), dan meresponi sekedarnya. Sama sekali tidak cukup untuk mengikis kejengkelan saya setelah lampu mati untuk KETIGA KALINYA hari itu.
Tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali cuci muka dan bersiap tidur. Udara supergerah. Akhirnya saya naik ke tempat tidur dan melotot sampai nyaris jam 4 pagi -- sama sekali nggak bisa tidur. Well, seperti banyak peristiwa lain yang selalu bisa diambil hikmahnya kalau kita mau, saya lantas memanfaatkan ‘kesempatan’ ini untuk menyepi sejenak.
Saya berpikir. Saya merenung. Saya mencoba menelaah, ditemani iPod yang baterainya tinggal separuh. Yang ditelaah? Macam-macam. Setengah jam pertama, saya sibuk nggerundeng dalam hati, mengutuk kinerja petugas PLN yang sama sekali tidak sepadan dengan nominal yang dibayarkan setiap bulan (menurut saya lho). Bayangkan, dalam seminggu kompleks saya ini bisa 2-3 kali mati lampu. Menyebalkan, terutama karena gardunya beda sendiri dengan kompleks-kompleks tetangga. Kalau mati lampunya massal, masih lumayan. Yang ngeselin kalau tiba-tiba ‘pett…’, dan saudara/teman yang juga tinggal di daerah sini (tapi beda kompleks dan beda gardu) ngeledek, “rumah gue terang-terang aja, tuh!” Tapi sebetulnya, yang paling jadi masalah bukan mati listrik, melainkan peranti elektronik yang otomatis jadi menyusut umurnya kalau terus-terusan on-off macam ini. Mau marah rasanya, tapi sama siapa? Ya paling sama petugas-petugas PLN yang kurang beruntung itu.
Walau jarang terlisan, saya sering menyayangkan etos dan kinerja yang dianut banyak sekali orang di negara tercinta ini. Mulai dari pelayanan di tempat-tempat umum macam minimarket, mal, de-es-be-nya; pekerja profesional (kantor, perusahaan, pabrik, dst); fasilitas milik negara (karena walaupun judulnya ‘punya pemerintah’, kadang kala dijalankan dengan cara yang jauh dari mewakili imej tersebut); sampai para aparat negara -- yang sebetulnya punya otoritas untuk selalu membawa pengaruh dan perubahan ke arah yang lebih baik, bukannya ‘ngerampok’ para pelanggar aturan dengan excuse ‘win-win solution’ (BAH!)
Well, sebagai masyarakat biasa yang nggak kuasa berbuat banyak (dan cari aman juga), saya hanya bisa ngomel dalam hati.
Nggak guna memang, tapi mau gimana lagi? Toh nggak penting buat dipikirin juga, batin saya. Setiap orang kan punya cara kerja yang beda-beda. Mungkin memang saya yang saklek.
Semalam, akhirnya saya punya cukup waktu untuk menilik ulang pemikiran tersebut.
Betulkah nggak penting? Kalau nggak penting, kenapa kondisi negara ini tidak juga mengalami perubahan signifikan? (halahh… gue kayak yang kerjaannya bantuin SBY ngurus negara aja) Kenapa dari waktu ke waktu, hal-hal seperti ini justru menjalar seperti kanker yang menggerogoti negara yang (sedang) ingin bangkit dari keterpurukan? Kita ingin membangun Indonesia Baru, tapi mentalitas dan core values yang terlanjur terbentuk dalam masyarakat (saya enggak berani pakai istilah yang lebih tinggi dari ‘masyarakat’) menawarkan ending yang sama sekali berbeda dari terciptanya Indonesia Baru. Sebagian orang bilang, itu namanya mentalitas penjajahan. Menurut sebagian yang lain, itu dampak dari keberadaan kita sebagai bangsa kelas tiga. Komentar-komentar yang lain, terlalu kasar untuk ditulis di sini.
Sebagai warga Indonesia yang mencintai tempat kelahiran ini, saya tidak setuju dengan pendapat yang lebih banyak nyela-nya daripada ngasih solusi. Tapi, izinkan saya mengungkapkan unek-unek yang sudah sekian lama terpendam. Bukan berniat sok-sokan, bukan juga merasa yang paling benar. Hanya sekedar pemikiran pribadi: Tanpa perubahan mendasar pada mentalitas dan values dalam aspek-aspek tertentu di masyarakat, kok ya sepertinya perubahan signifikan masih akan lama sekali kita lihat.
Make-up 4 lapis bisa membuat seseorang kelihatan cantik, tapi tidak membuat wajah aslinya berubah. Mungkin karena itulah kita lebih suka menumpuk foundation dan bedak ketimbang memberi perhatian ekstra pada kulit ini. Kita suka pada perubahan instan yang fantastis. Kita memilih membayar mahal untuk serangkaian produk kecantikan yang bisa membuat kita berkilau dalam hitungan menit, namun ketika kembali ke rumah dan mengoleskan susu pembersih ke wajah, diri kitalah yang paling tahu, apa yang sebetulnya terdapat di balik semua lapisan itu. Tapi, sekali lagi kita mengabaikan yang kita lihat, dan lebih suka menikmati sensasi kecantikan artifisial. Dan seperti itulah kita menjalani hidup, hari demi hari. Memoles permukaan yang kasat mata seapik mungkin, dan mengingkari kebenaran di baliknya.
Kaitannya dengan pembahasan di atas?
Silakan renungkan sendiri.
At least, lepas dari apapun yang bakal jadi perspektif dan pendapat Anda, ada 1 hal yang saya dapat -- hasil ‘perenungan’ semalam.
Saya bertanya, ‘kenapa’, ‘kenapa’, dan ‘kenapa’.
Jawabannya muncul dengan amat simpel.
Bukan berupa ‘karena’, bukan juga pernyataan panjang lebar.
‘Kenapa??’
‘Untuk itulah kalian ada.’
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago
1 comment:
hi jenny, salam kenal. baca tulisan ini jadi keinget masa kecil, malah seneng mati lampu. main di kolong meja makan dengan taplak meja yang panjangnya sampe ke ubin, seakan clubhouse.
Post a Comment