Thursday, May 31, 2007
Untuk Para 'Pendidik' Saya.
Try to bring me down
But I will not allow
Anyone to succeed hanging clouds over me
And they can try
Hard to make me feel that I
Don't matter at all
But I refuse to falter in what I believe
Or loose faith in my dreams
Cause there's
There's a light in me
That shines brightly
They can try
But they can't take that away from me
They can do anything they want to you
If you let them in
But they won't ever win
If you cling to your pride and just push them aside
See I, I have learned
There's an inner peace I own
Something in my soul, that they cannot possess
So I won't be afraid, and the darkness will fade
No, they can't take this
Precious love I'll always have inside me
Certainly the Lord will guide me
where I need to go
They can say anything they want to say
Try to bring me down
But I won't face the ground
I will rise steadily, sailing out of their reach
(Can't Take That Away - Mariah Carey)
Tanpa pernah merasakan sakitnya tidak dihargai karena berbeda, mungkin saya takkan pernah mengerti bagaimana seharusnya menghargai sesama dan memahami makna toleransi.
Tanpa pernah merasakan perihnya dipandang sebelah mata, mungkin saya takkan pernah belajar menerima orang lain apa adanya.
Tanpa pernah merasakan tidak enaknya disalahpahami oleh orang-orang yang saya sayangi, mungkin saya takkan pernah bisa menyatakan dukungan melalui pelukan hangat.
Saya bersyukur untuk setiap orang, setiap perkataan dan perlakuan yang ditujukan kepada saya, yang membimbing saya untuk mengenal kebenaran hakiki yang selama ini tidak pernah saya ketahui...
Terima kasih karena melalui tindakan kalian, kalian telah mengajarkan makna kehidupan pada saya.
Bahwa kesempurnaan bukanlah esensi hidup yang sejati.
Bahwa keindahan sebuah tujuan terletak pada proses yang diperlukan untuk mencapainya.
Bahwa saling menghargai, menghormati dan menerima adalah substansi yang tidak terelakkan, sekaligus parameter kedewasaan yang sesungguhnya... karena ketika kita membuka hati untuk melihat perbedaan tanpa menghakimi, kita betul-betul telah mengerti arti kehidupan.
Terima kasih karena telah menolong saya tumbuh dewasa.
Sungguh, terima kasih banyak. :)
Saturday, May 26, 2007
Geeling Fuilty*
Meski begitu, secara saya termasuk orang yang cuek-sebodoh-amat, saya justru menganggap hal-hal tolol tersebut sebagai sesuatu yang lucu. Dan kata orang, sih, ‘kemampuan’ menertawakan diri sendiri itu justru bagus, karena menunjukkan rasa percaya diri yang sehat (bener nggak, sih?).
Sampai kemarin siang, ketika saya ngobrol dengan seorang teman dan menceritakan sebuah kekonyolan yang tanpa sengaja saya lakukan beberapa menit berselang.
Saya menertawakan kebodohan saya itu.
Teman saya menatap saya dengan pandangan yang susah diartikan dan berujar, ”It wasn’t funny. It was painful.”
Saya bengong, nggak mudeng. Apanya yang ‘painful’?
“Rasanya nggak enak, kan? Ngelakuin hal-hal kayak gitu pasti bikin kesel sama diri sendiri, toh?” Ia meneruskan, blah blah blahh…
Saya diam.
Kalimatnya itu jadi membuat saya bertanya-tanya pada diri sendiri: Emang iya, ya? Gue ngerasa kesel sama diri sendiri gituh? Was it painful?
Dan jawabannya… Nggak, kok!
Really, I found those clumsy things rather funny.
Bukan karena saya badut pelawak yang kerjaannya mbikin orang ketawa, tapi karena… well, apa, ya? Susah dijelaskan. Yang pasti, saya tidak terlalu ambil pusing dengan segala ‘kebodohan’ yang saya lakukan, seperti: salah masuk mobil orang, tidak sengaja membawa kunci rumah teman (di luar kota!), lupa menautkan tali helm yang saya pakai hingga benda itu melayang dan hancur terlindas mobil, tergesa-gesa menutup pintu angkot sampai kaki saya terjepit, dan banyak lagi.
Tapi, merasa bersalah nggak? Ya iyalah, pasti.
Saya selalu merasa bersalah jika ada orang yang dirugikan akibat kekeliruan saya. Saya merasa bersalah pada orang-orang di dalam mobil yang shocked berat lantaran saya nyelonong membuka pintu tanpa permisi. Saya merasa bersalah pada teman saya dan keluarganya, karena mereka tidak bisa ganti sepatu selama 2 hari akibat kuncinya saya bawa. Saya merasa bersalah karena telah menyebabkan helm teman saya hancur.
Tapi setelah semuanya berlalu, ya sudah.
Saya menyesal, saya minta maaf, bertekad tidak mengulangi kesalahan yang sama, and that’s it.
Saya tidak pernah berpikir seperti yang diucapkan teman saya itu, sampai saya mendengarnya kemarin siang.
Iseng, saya mengambil handphone dan mengirim pesan pendek secara masal:
Clumsy ada obatnya nggak, sih? Anyone? :D
Pesan terkirim.
Selama menunggu balasan, saya jadi gelisah sendiri -- entah kenapa. Perkataan teman saya terus terngiang-ngiang, membuat saya tidak enak hati. Padahal sebelumnya saya baik-baik saja.
Dan saya jadi mulai mempertanyakan, ini yang ‘nggak pas’ sebenernya persepsi saya, atau dia?
“Rasanya nggak enak, kan?”
Tapi…
“Ngelakuin hal-hal kayak gitu pasti bikin kesel sama diri sendiri, toh?”
--> Well, sometimes… tapi setelahnya ya sudah. Saya justru bisa tertawa.
“It wasn’t funny. It was painful.”
--> Nggak, ah.
And it wasn’t a denial. I really love myself for who and what I am.
Saya percaya rasa bersalah adalah sesuatu yang baik, yang bersumber dari kesadaran (dan keinginan) untuk melakukan apa yang benar. Rasa bersalah adalah rambu yang akan menjagai dan memberikan sinyal agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama. Rasa bersalah adalah tanda bahwa hati kecil ini masih mampu berbisik, mengingatkan dan menegur. Bahwa nurani ini masih terus terjaga.
Yang diperlukan hanya kebesaran hati untuk mengakui dan menerima apa yang telah terjadi (lengkap dengan segala konsekuensinya), dan berpaling dari kesalahan itu. Memperbarui diri dengan segenap kesungguhan, dan terus menjelang hidup dengan berani. Tidak berkubang dalam 'why oh why gue begini, begitu, blablabla', namun bertekad untuk jadi lebih bijaksana dan menyongsong hari dengan kekuatan yang baru. Kekuatan yang membuat kita bisa terus tersenyum, bahkan di tengah kegagalan dan airmata.
Tapi kalau salah lagi gimana?
Kalau kejeblos lagi gimana?!
Selama matahari masih bersinar, selama pagi terus menjelang dan selama masih ada nafas di tubuh kita; yakinlah, akan selalu ada kesempatan baru. :)
As for clumsy little mistakes, akhirnya saya memilih untuk ngutip Gus Dur: Gitu aja kok repot!! :DD
*sama dengan: Juk jerus, tambel serasi, ngurak bas… ngikuttt yaks, Mbak! :D
Friday, May 18, 2007
'Cantik' Itu Apa?
Okay, hiperbola. Bukan pemandangan seram ala Hantu Jeruk Purut atau Suster Ngesot, melainkan (hanya) lomba fashion show anak-anak.
Tapi baju-bajunya dong booooo…
Kebanyakan mengenakan busana model bikini (yeppp, hanya menutupi dada dan bagian bawahnya paling panjang sepaha) berwarna mencolok (merang terang, kuning cerah, hijau ngejreng) dengan pengikat berupa spaghetti strap di punggung. Make-up mereka pun abnormal untuk ukuran anak usia 8-12 tahun, karena tidak jauh beda dari yang sering saya lihat di wajah-wajah penerima tamu pada resepsi pernikahan (kenapa, ya, penerima tamu selalu dirias secara berlebihan?) dengan warna yang lebih mendekati putih-pink (hasil sapuan foundation, bedak dan blush on) ketimbang warna kulit normal layaknya.
Seakan itu semua belum cukup menyebabkan halusinasi penglihatan, model-model cilik ini bergaya sensual dan meliuk-liukkan tubuh di atas panggung, dalam kilatan blitz kamera para orangtua yang bangga. Sejujurnya, saya malah gerah.
Saya tidak anti dengan lomba peragaan busana, kegiatan modeling, pemilihan Miss Universe, atau apapun. Ketika heboh-heboh RUU APP saya nggak ikutan ribut, pun saat Mbak Inul dicerca orang sejagat raya gara-gara goyang ngebornya yang bombastis. Saya tidak peduli dengan semua itu, dan selalu berprinsip ada banyak hal di dunia ini yang lebih penting untuk diributkan dan dipusingkan.
Tapi, ketika melihat anak-anak kecil itu berjalan di panggung dengan gaya sensual yang over-PeDe, mendadak saya jengah.
Mereka terlalu polos untuk bergaya setua itu. Kostum yang melekat di tubuh mereka seharusnya pakaian yang cocok dipakai bermain tanpa perlu takut kotor, bukannya spaghetti strap bikini dengan aksen bulu-bulu yang memamerkan tubuh dan membuat masuk angin (plus terlihat seperti -maaf- pudel). Alas kaki mereka seharusnya sandal/sepatu yang nyaman, bukannya boots setinggi lutut berwarna metalik. Wajah-wajah itu seharusnya tertawa riang, ceria apa adanya tanpa senyum genit yang dibuat-buat. Mata-mata itu seharusnya bersinar gembira sewajarnya seorang bocah, bukannya menatapi penampilan saingan-saingan mereka dengan cemas campur sirik.
Siapapun yang menang dalam lomba itu akan membawa pulang piala simbol kebanggaan yang semu maknanya. Kemenangan itu hanya diukur dari seberapa piawai si bocah berjalan meliuk di panggung dan seberapa heboh busana yang dikenakannya; tidak lebih.
Sisanya, yang kalah, mungkin akan menangis dan menghabiskan beberapa jam (atau hari) untuk berpikir, kok dia yang menang? Kenapa bukan aku? Bajuku kurang dimananya? Gayaku kurang apanya?
Atau lebih buruk, aku nggak cantik, ya? Makanya nggak menang.
Okay, ini memang imajinasi saya semata. Tapi sepertinya tidak terlalu muluk untuk jadi realita, kan?
Dan kalau memang itu yang terjadi, konsep apakah yang (selanjutnya) akan terbentuk di otak anak-anak ini tentang ‘kriteria’ sebuah penerimaan, kesuksesan dan standar cantik masa kini?
Apa yang terjadi 20 tahun dari sekarang, kalau hare gene bocah-bocah sekecil ini sudah ‘dicekoki’ paham bahwa apa yang tampak secara lahiriah-lah yang menentukan ‘kelayakan’ mereka untuk diterima dan dianggap berhasil?
Apa yang akan terbentuk?
Generasi yang hedonis, konsumtif, insecure dan self-centered dengan kadar humanisme yang rendah? Semoga tidak.
Kalaupun iya, jangan salahkan mereka. Mereka mewarisinya dari kita, sadar atau tidak.
Saturday, May 12, 2007
Finding Finest Match c'',)
Ya, akhirnya saya mengakui bahwa saya ini ternyata orang yang bawel (halo, djeng :DD), karena percakapan ringan di meja makan yang tadinya hanya berkisar ‘cuaca kok panas banget ya hari ini?’ secara ajaib berubah menjadi diskusi panjang-lebar mengenai kehidupan pernikahan. Jauh ya, bo. :) Entah bagaimana, yang jelas saya jadi menyadari bahwa saya memang cerewet, haha! Maklum, kodrat wanita (halah! Nyalahin kodrat).
Sahabat saya bercerita, ia sering terlibat percakapan dengan sesama ibu muda saat sedang menunggui anak-anaknya di sekolah. Yang menarik perhatian saya adalah celetukannya, “Kalo denger yang lain pada ngobrol tentang keluarga masing-masing, urang teh suka bingung, kok ceritanya pada kayak Cosmo(politan) ya? Permasalahannya ada-adaaa aja, persis di majalah. Tapi perasaan kok kita adem-ayem aja ya Pi, nggak ada kasus yang aneh-aneh…”
Selanjutnya, topik berkembang menjadi ‘betapa pentingnya membangun sebuah fondasi dalam kehidupan pernikahan’ – sedemikian rupa, sampai ketika kita masuk ke dalamnya, pernikahan yang ada akan menjadi kokoh dan terbentengi dari segala bentuk perpecahan (shaelah!).
Bukan berarti tidak ada konflik atau perbedaan lho, ya; itu mah nggak riil. Yang namanya menikah adalah mempersatukan 2 orang yang berbeda. Pasti akan ada friksi. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana mempertemukan perbedaan (prinsip, nilai hidup, perspektif, de-es-be) tersebut dan mengambil keputusan yang terbaik bagi masing-masing pihak.
Saya pikir, inilah pentingnya berpasangan dengan orang yang seiman (yang sering kali ditentang sebagian orang). Saya nggak bermasalah dengan mereka yang tidak menyetujui pemikiran tersebut, hanya saja, saya berpendapat, keyakinan yang sama dalam hal iman dapat dijadikan acuan untuk mempertemukan 2 pemikiran yang berbeda di tengah-tengah dan memakainya sebagai tolok ukur keseimbangan sebuah pengambilan keputusan, sehingga pilihan yang dihasilkan dapat membawa kebaikan bagi masing-masing pihak. Tidak ada yang merasa dirugikan, tidak ada yang merasa dikalahkan, juga tidak ada yang merasa disalahkan, karena pengambilan keputusan itu jelas dasarnya dan ‘sah hukumnya’ – ya berdasarkan kesamaan iman itu.
First off, salah dua ‘kriteria’ yang -menurut saya- dibutuhkan untuk menjalani hubungan yang serius (kalau masih dalam taraf main-main atau ‘for fun’ ya nggak masyalah, bebasss.. =D) adalah adanya kematangan dan kedewasaan dari masing-masing pihak. Dan 2 hal ini tidak serta-merta didapat dari usia yang terus bertambah. Usia sangat menentukan banyaknya asam-garam yang telah dicicipi seseorang, tapi tidak bisa dijadikan patokan dalam menilai kedewasaan seseorang.
Berdasarkan pemikiran saya pribadi, ada 3 hal yang bisa dipakai untuk mengukur seberapa matang/dewasa pasangan kita (dan kita sendiri, tentunya!). Perlu diingat lho, entry ini tidak bertujuan untuk dipakai meneropong kelemahan dan kekurangan calon pasangan. Saran saya, pakailah untuk menilik keberadaan kita lebih dahulu, sebelum menujukan pandangan ke orang lain. Halah, jadi panjang. Menang betul saya ini bawel, ya. :) Anywaaaay, balik lagi, 3 hal yang dapat dijadikan tolok ukur dalam menilik tingkat kedewasaan seseorang adalah: cara kita meresponi suatu masalah, cara kita menanggulangi sebuah tantangan dan cara kita bereaksi dalam menghadapi sesuatu yang buruk.
Yep, it’s all about how you respond. Bukan tentang seberapa banyak yang kita tahu, bukan seberapa banyak pengalaman yang kita punya, bukan seberapa cerdas kita dalam menganalisa sesuatu, bukan seberapa pintar kita melihat akar masalah, namun seberapa baik respon yang kita tunjukkan saat menghadapi sesuatu. Dan biasanya hal ini baru sungguh-sungguh terlihat saat seseorang ada di bawah pressure maupun masalah yang berat.
Saya selalu percaya, ‘tekanan’ dapat memunculkan keaslian seseorang -- lepas dari apapun yang kelihatan secara lahiriah. Sebongkah batubara akan muncul sebagai berlian ketika selesai melewati proses yang panjang dan berat. Sebentuk cincin emas, walaupun dibuang (maaf) ke kotoran babi dan diinjak-injak, tetaplah emas. Kualitasnya tidak akan berubah. Tekanan yang kita alami akan menentukan, kita ini emas betulan atau sekedar perhiasan imitasi. Sama, dalam hal memilih pasangan. Jangan nilai seseorang dari seberapa fasih dia merayu sambil ngegombal, dan jangan lihat dari seberapa cepat dia mampu menaklukkan hati kita dengan rangkaian kata-kata menyentuh hati. Itu semua tidak menjamin, trust me. Justru Anda harus ‘alert’ kalau ada orang yang terlampau menggebu-gebu menyatakan cinta dalam berbagai bentuk gesture. Bisa jadi ‘pengalaman’nya udah segudang, bo!
Secondly, saya menyebutnya dengan istilah memiliki hati yang lembut dan mau berubah (‘berubah’ di sini maksudnya ke arah yang positif lho, ya). Ini penting, bo. Seenggaknya, dengan patokan ini kita tidak akan mendapatkan (atau menjadi orang) yang kepala batu, egois dan mau menang sendiri. Seseorang yang lembut hatinya dapat dengan mudah membuka diri terhadap prinsip yang esensial, dan tidak sulit menerima perspektif baru (walau sudut pandang itu mungkin berbeda dengan apa yang dipercayainya selama ini). Secara otomatis penilaiannya akan jauh lebih objektif, dan caranya menyikapi suatu masalah (balik lagi ke respon, deh) akan jauh lebih bijak. Andai tidak setuju pun, orang yang lembut hati tidak akan main bantah atau bersikap seenak jidat. He/she is not a slonong kind of guy/woman (apa sih, Jen? =D). Hati yang lembut akan meminimalkan konflik dan luka dalam sebuah hubungan.
Please don’t get me wrong... Saya tidak bilang bahwa kita harus mengkompromikan segala sesuatu. Ada hal-hal tertentu dalam hidup yang tidak akan bisa dikompromikan, contohnya panggilan hidup (yang bisa sangat esensial bagi tiap-tiap orang, dan kalau nggak ada bisa bikin ‘mati’) dan idealisme. Yang mau saya tekankan, hati yang lembut dan mau berubah akan mengkondisikan kita untuk melihat segala sesuatu dengan objektif dan terbuka. Punya idealisme itu penting, tapi kalau sampai nyerempet saklek (dan kebablasan cupet), malah akan menimbulkan ranjau dalam sebuah hubungan. Dan jangan bilang, “Ah, tapi selama kita bisa saling menghormati, ya nggak masyalah kan, tetap jalan dengan prinsip sendiri-sendiri?” Pertanyaan selanjutnya, kalau di kemudian hari timbul masalah yang berkaitan dengan paham esensial tersebut, bagaimana mencari jalan keluarnya? Pertanyaan yang tidak kalah penting untuk persiapan hari tua, anak lo nanti mau diajarin ngikut prinsipnya siapa? Percayalah, cepat atau lambat pasti akan terjadi perang mulut, itu minimal.
Thirdly, lihat dan amati cara calon pasangan kita menjalin hubungan dan bersikap pada orang-orang terdekatnya (keluarga dan sahabat-sahabatnya). Kalau ia care dan sungguh-sungguh tulus menyayangi mereka, Anda aman. Kalau ia cuek bin acuh (bahkan cenderung kasar, manipulatif dan tidak menghargai) orang-orang terdekatnya, berhati-hatilah.
Sederhana saja. Sebagaimana ia memperlakukan mereka, seperti itulah ia akan memperlakukan Anda (vice versa. Kalau sekarang toh elo cinta mati sama dia, suatu saat nanti lo pasti akan memperlakukannya sama seperti memperlakukan orang-orang terdekat lo selama ini). Logikanya, kalau ia bersikap ‘kurang baik’ pada orang-orang yang seumur hidup dikenalnya (yang notabene merupakan bagian dari dirinya dan yang paling dekat dengannya), kenapa ia harus bersikap ‘lebih baik’ pada Anda yang baru memasuki kehidupannya selama sekian bulan – atau sekian tahun?
Saran saya, amati juga cara ia bergaul dengan sahabat-sahabatnya.
“Heh, kemana aja lu? Anjing, baru keliatan sekarang!”
Cepat atau lambat, Anda akan menerima perlakuan yang (kurang-lebih) serupa. Dan percayalah, ketika hal itu terjadi dalam sebuah hubungan (or worse, marriage), rasanya akan menyakitkan. Baginya, itu tidak lebih dari panggilan akrab. Candaan semata. Buat Anda belum tentu, kan? Demikian pula sebaliknya.
Don’t get me wrong here. People can change, saya percaya itu. Saya tidak menyarankan Anda untuk bersikap ‘paranoid’. Hanya saja, jika Anda merasa tidak nyaman dengan kelakuannya, sebaiknya bicarakan dari awal. Jika titik tengahnya tidak ketemu, pertimbangkan ulang keputusan Anda untuk memilihnya -- kecuali jika Anda bersedia mengesampingkan faktor yang satu itu, tentunya. Kalau memang seperti itu, ya silakeun-silakeun saja diteruskan (permisif mode: ON). :)
Selanjutnya, jangan menjadikan hal-hal eksternal sebagai patokan dalam memilih pasangan. Saya tidak menentang pemilihan berdasarkan fisik. Percayalah, saya nggak akan menampik jika disodori brondong tampan, dan tidak akan menentang hubungan yang didasari pertimbangan secara fisik -- secara saya termasuk manusia berspesies Permisifus Bangetus yang mencintai para Brondongus Lucus, haha! (Nyontek istilahnya ya, jeng. ^_^) Tapi sekali lagi, menurut saya hal ini seyogianya tidak dijadikan acuan utama dalam sebuah hubungan yang serius -- yang dijalankan dengan kesungguhan. Pertimbangan kemapanan secara materi juga sebaiknya tidak dijadikan tolok ukur dalam menetapkan calon pasangan. Dan maaf, walau mungkin agak bikin gerah bagi beberapa orang, faktor latar belakang keluarga (maupun orang yang bersangkutan itu sendiri) tidak dapat dijadikan patokan untuk menilai keberadaannya secara utuh dan objektif. Jika kita mendasarkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang tampak secara lahiriah belaka, besar kemungkinan kita mengalami kekecewaan setelah menikah.
Saya memiliki seorang teman yang kehilangan kegadisannya pada usia 13 tahun, dan sejak itu tidak henti-hentinya ‘berpindah’ dari satu pria ke pria lainnya dan menyerahkan tubuhnya dengan alasan yang sangat sederhana, “Gue pengen diterima.” Bisa dibayangkan betapa ‘hancur’ kondisinya secara emosional, walau ia selalu bisa menutupinya dengan baik. Sekali waktu, ia bertemu seorang pria dan sungguh-sungguh jatuh cinta. Saya ingat betul kalimatnya yang diucapkan dengan mata berbinar-binar, “Dia sayang gue apa adanya, gue nggak perlu ngelakuin gituan cuma untuk diterima…” Ketika hubungan mereka mulai ‘menanjak’, teman saya memutuskan untuk bersikap jujur. Ia membuka masa lalunya yang kelam dan mengembalikan keputusan pada sang calon pasangan. Guess what? Si calon pasangan tidak keberatan. Sebaliknya, ia membantu teman saya melalui masa-masa sukar di mana ia bergumul dengan trauma, konflik batin, dan gejolak emosi yang naik-turun bagaikan rollercoaster. Tidak lama kemudian, pria baik hati itu melamarnya. Mereka menikah Juni 2006 lalu.
Kawan adik saya dengan teganya mengumbar kejelekan sang istri di depan teman-temannya. Istrinya adalah wanita yang sangat cantik, semua orang mengakui itu. Tapi tidak semua orang sadar bahwa zaman sekarang, apa sih yang nggak bisa ‘dibagusin’ dengan pertolongan make-up? Kawan adik saya terpikat pada kecantikan sang calon istri, dan entah bagaimana tidak pernah melihat wajah asli yang tersembunyi di balik lapisan foundation dan bedak itu… sampai malam pertama pernikahan mereka. Ia shocked mendapati wajah istrinya ‘berubah’ setelah make-upnya dicuci bersih. Entah karena kekecewaan yang besar atau emang dasarnya ‘jahat’, dengan teganya ia menyebarkan kisah malam pertama mereka pada teman-temannya disertai imbuhan, “Gila, taunya bini gua jelek banget!”
Saya cuma bisa geleng-geleng prihatin, kok ada ya suami yang tega membongkar kekurangan istri sendiri sampai sebegitunya? Tapi, apapun alasan di baliknya, saya yakin sumbernya sederhana saja: kecewa dan merasa ‘tertipu’. Kenapa bisa begitu? Karena ‘pengharapan’ sang suami hanya didasarkan pada apa yang kelihatan secara lahiriah. Ketika sang istri gagal memenuhi pengharapan tersebut dan keasliannya tersingkap, semua rasa cinta, kagum dan hormat (yang seharusnya ditujukan kepada si istri) serta-merta lenyap begitu saja.
Such things happened, ya know.
Studi kasus ketiga adalah sahabat saya yang lain. Mereka memulai kehidupan rumah tangga dengan kondisi yang bisa dibilang minus. Setelah menikah, mereka tinggal di rumah kontrakan sederhana dan hanya memiliki sebuah tempat tidur, meja rias, dan karpet. Hanya itu. Mereka memilih tidak membeli barang menggunakan sistem kredit, melainkan menabung untuk ‘mencicil’ perabotan sedikit demi sedikit. Beberapa kali saya melihat dengan mata kepala sendiri, uang yang tersisa di dompet mereka tidak lebih dari selembar limapuluh ribuan. Bahkan pernah, bo, dua ribu perak! Biasanya, perempuan lah yang paling cerewet dalam hal-hal seperti ini, namun sahabat saya tidak pernah mengeluh. Dari mulutnya tidak pernah sedikitpun terlontar kata penyesalan, apalagi omelan. Baginya, inilah proses yang harus mereka lalui, dan ia bersedia menjalani porsi yang masih sedikit itu dengan sukacita. Beberapa tahun kemudian, sang istri hamil dan melahirkan. Bentuk tubuhnya berubah, dan karena memang dari sono-nya punya bakat gemuk, setelah melahirkan tubuhnya sulit kembali ke postur semula. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit, dan selama itu pula sang istri ‘bergumul’ dengan rasa tidak percaya diri. Di saat-saat yang tidak mudah itu, dukungan terbesar datang dari suaminya yang tidak pernah menjadikan hal lahiriah sebagai bagian terpenting dalam kehidupan pernikahan.
‘Hal-hal lahiriah’ di sini juga termasuk perilaku dan pembawaan yang ditunjukkan selama masa pendekatan maupun proses penjajakan. Saat seseorang sudah kepalang cinta, ia akan rela melakukan ‘apa saja’ dan menjadi ‘siapa saja’ demi orang yang ia cintai. Persoalannya, hal-hal yang membuat mabuk kepayang itu sering kali tidak permanen dan ‘tidak riil’. Akibatnya, saat pernikahan betul2 dilangsungkan; saat kita mulai melihat pasangan kita dari dekat 24 jam sehari, barulah semua ‘penyamaran’ (pardon my words!) yang dilakukan salah satu pihak akan tersingkap dan kita dapat melihat diri pasangan kita seutuhnya -- demikian pula sebaliknya. Pada saat ini, seluruh sifat, perilaku dan keberadaannya yang sesungguhnya akan terlihat jelas, dan itulah yang menetukan apakah kita merasa bersyukur telah mendapatkannya, atau justru merasa ‘terjebak’ dalam penyesalan seumur hidup. Hal ini berpotensi menimbulkan luka baru, dan fondasi terkuat yang bisa dimiliki sebuah pernikahan –rasa saling mempercayai—dapat menjadi goyah karena salah satu pihak merasa ‘tertipu’ dengan keberadaan si pasangan yang ternyata tidak sesempurna yang dilihat/dialaminya selama masa-masa pacaran!
Last but not least, hal yang sering dianggap sepele tapi (sebetulnya) amat besar artinya:
Libatkan orangtua dalam pengambilan keputusan. Intuisi orangtua sangatlah penting dan dapat dipercaya. Kita-nya aja yang kadang-kadang songong karena merasa ‘lebih’ dari mereka. Padahal sejatinya, seorang Presiden sekalipun, ketika pulang ke rumah orangtuanya ya tetaplah kembali pada posisinya sebagai anak -- nothing more.
Walaupun orangtua kita (mungkin) tidak lebih pandai/terpelajar dari kita, mereka tetap memiliki segudang pengalaman dan telah merasakan pahit-manis kehidupan yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan pilihan. Dan kalau itu semua dirasa belum cukup, ingatlah, sebagai orangtua yang melahirkan, merawat dan membesarkan kita dengan segenap cinta dan pengorbanan, mereka memiliki naluri yang lebih tajam dibanding kita. Hormati mereka. Mintalah pendapat mereka, dan dengar apa yang mereka katakan.
Dengan melakukan ini, Anda juga akan membuat mereka merasa jadi orangtua paling bahagia sedunia. Percayalah.. :)
Izinkan saya menutup entry ini dengan definisi yang saya simpulkan secara pribadi:
'Mencari pasangan berbicara tentang menemukan orang yang dapat kita sebut sebagai ‘belahan jiwa’, yaitu seseorang yang akan dapat melengkapi dan menyempurnakan hidup kita, untuk kemudian mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan untuk menjalani kehidupan ini bersama-sama dan mencapai apa yang telah digariskan Sang Pencipta pada hari kita dilahirkan ke dunia – maksud, tujuan dan panggilan yang ditetapkanNya atas hidup kita masing-masing.'
I know, it’s easier said than done. Sebagai orang yang sejak dulu sampai kini masih masuk kategori Kejora (kelompok jomblo ceria), sejujurnya saya tidak berani cuap-cuap seakan sayalah yang paling benar. Setiap orang berhak punya persepsi, definisi dan pendapat sendiri, dan masing-masing bebas menentukan pilihan berdasarkan apa yang ia percayai. Saya hanya menawarkan alternatif berpikir dari apa yang saya anggap benar, dan semoga apa yang saya jabarkan ini bisa menolong kita dalam proses pencarian yang panjang… :)
Weleh, weleh… kok jadi dalem gini ya, bo? ;)
Ya suds… sampai ketemu di entry mengenai ‘proses menjalin hubungan (sampai ke tahap pranikah)’.
Terima kasih untuk para sahabat yang telah membuka diri dan mengizinkan saya
melihat realita sebuah hubungan (bahkan sampai ke jenjang pernikahan), dan
belajar daripadanya.
Tuesday, May 8, 2007
Buat Sahabat :)
Untuk percakapan hangat hingga jam 4 pagi via telepon; jam 2:30 subuh di kasur yang nyaman; jam 3 dinihari sambil nonton TV yang menyiarkan acara-acara nggak jelas (siapa juga yang masih melek jam segitu?!): Terima kasih.
Untuk obrolan santai di Starbucks, JCo, warung tenda pinggir jalan, mobil, kamar tidur, sofa ruang tamu, dan tempat-tempat lainnya: Terima kasih.
Untuk lelucon-lelucon konyol yang selalu membuat kita ngakak bak orang gila: Terima kasih.
Untuk berbagi tawa saat kita bicara tentang ‘ngeceng’, ‘brondong lucu’, ‘kabur-kaburan’, dan saling mencela tanpa pernah memasukkannya ke hati: Terima kasih.
Untuk celaan-celaan yang tabu di telinga yang lain, namun justru menjadikan kita lebih dekat dari saudara: Terima kasih.
Untuk telinga yang selalu mendengar dengan sabar dan tak pernah menghakimi: Terima kasih.
Untuk menceritakan rahasia-rahasia terdalam yang tak seorang pun selain kita yang tahu: Terima kasih.
Untuk mempercayai saya dengan membuka diri dan mengizinkan saya melihat diri kalian apa adanya: Terima kasih.
Untuk membuat saya merasa nyaman, diterima dan mampu menjadi diri sendiri tanpa perlu ‘berpura-pura’: Terima kasih.
Untuk mengenal saya luar-dalam, lengkap dengan segala hal ‘ajaib’ yang tersembunyi dari tatapan orang lain dan tetap mengasihi saya seutuhnya: Terima kasih.
Untuk setiap koreksi, kritik dan teguran atas kekurangan-kekurangan saya, dan tetap menghargai apapun keputusan saya: Terima kasih.
Untuk tidak menuntut dan memaksa saya menjadi ‘seperti yang seharusnya’, namun memandang perbedaan yang ada sebagai warna yang menjadikan hidup lebih semarak: Terima kasih.
Untuk mengulurkan tangan saat saya terjerembab dan menarik saya berdiri tanpa mengatakan “Tuh, apa gue bilang!”: Terima kasih.
Untuk tidak mengizinkan perbedaan (suku, konsep pikir, sifat, selera, dan sebagainya) menciptakan jurang pemisah di antara kita: Terima kasih.
Untuk mengizinkan saya menjadi diri sendiri dan menemukan separuh jiwa saya yang lain dalam diri kalian: Terima kasih.
Untuk secercah kehangatan di sisi terdalam hati saya ketika mengingat kalian, dan untuk rasa syukur bahwa saya memiliki makna terindah dari persahabatan: Terima kasih.
... untuk setiap senyum, airmata, tawa, senang, takut, dan khawatir yang kita bagi bersama:
Starbucks picture taken from: http://aishanatasha.multiply.com
Wednesday, May 2, 2007
Permisif!
Di saat-saat seperti itu, banyak orang menghampirinya untuk memberi nasehat. Kebanyakan berupa kritik dan dorongan yang menuntutnya untuk bisa secepatnya keluar dari masalah tersebut.
'Harus begini, harus begitu. Nggak boleh ini, nggak boleh itu. Pokoknya jalani seperti ini, titik.'
Bukannya sembuh, sahabat saya justru makin tertekan. Kondisinya bertambah buruk bukan karena sakit hati saja, melainkan karena tuntutan-tuntutan yang dirasanya terlalu berat dan ‘sama sekali tidak mengerti kondisinya’.
Waktu sedang iseng, terlintas di benak saya untuk mengumpulkan SMS-SMS curhatnya dalam 1 folder khusus di handphone. Hanya dalam beberapa bulan, SMS yang terkumpul mencapai 500 lebih, dan call duration saya membentur angka 92 (jam!).
Sekali waktu ia bercerita, seorang kawan meneleponnya (cuma) untuk ngomel dengan nada tinggi. Alasannya, gemas dengan sikap sahabat saya yang dinilai kurang tegas. Level tuntutan itu rupanya sudah berubah. Bukan lagi sekedar saran, namun sudah menjadi ‘perintah’ -- yang kalau tidak dituruti, ya siap-siap aja mendapat omelan berikutnya.
Ini terjadi lebih dari sekali. Kawan yang sama juga beberapa kali menanyai saya perihal kondisi sahabat saya itu, sampai akhirnya saya jengah sendiri dan berbohong dengan mengatakan ‘tidak tahu’ (ya maab deeeh…) - daripada diinterogasi terus?! Kalaupun saya punya jawaban atas pertanyaan tersebut (dan emang punya sih, sebenernya.. *wink*), nggak mungkin kaleee saya membocorkan urusan pribadi sahabat sendiri!
Don’t get me wrong here. Kritik dan tuntutan tersebut tidak sepenuhnya salah. Saya percaya hal-hal ini muncul dari niat baik (dan tulus) orang-orang yang bersangkutan. Masalahnya, sahabat saya sedang berada dalam kondisi yang sangat rapuh dan tidak siap dibombardir dengan berbagai hal yang terlampau berat.
Kasarnya, simpati yang dijalankan tanpa dibarengi empati.
Selama masa-masa sulit itu saya hanya bisa membantu semampunya. Saya memberikan advice secara ringan, yang sering kali saya ‘bungkus’ dalam candaan. Buat apa lagi menuntutnya macam-macam? Ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan, dan ia memiliki kehendak bebas untuk membuat keputusan demi kebaikannya sendiri. Tugas saya sebagai sahabat adalah mengingatkannya agar selalu memilih yang terbaik, menghormati keputusannya, mendukung dan mendoakannya; bukan ngomel maupun nuntut ini-itu yang akhirnya malah menambah barisan sakit hati.
Akhir Desember, saya menerima SMS berisi ucapan selamat natal darinya. Isinya sedikit out of topic, tapi cukup ampuh untuk membuat saya senyum-senyum terharu:
Met natal jen..jujur gw seneng bget pny temen yg ga jaim n ngertiin gw bnget..n btw thanks jg y buat smua waktu yg elo sediain buat gw waktu gw ada di titik terendah dalam hidup gw,n thanks buat pengertian yg elo ksih ktika lo ga nuntut gw tuk bgini n bgitu..thanks y jen..
Beberapa hari lalu, saya ngobrol via telepon dengan seorang teman (who seems to be my next best friend ^_^ hai, jeng!), dan ia melontarkan 1 istilah yang nempel di otak saya detik itu juga: Permisif.
“Gue mah orangnya permisif banget, apa-apa boleh!” Cetusnya.
Saya tergelak dan langsung merasa lega.
Ternyata masih ada juga orang yang permisif di dunia ini (baca: di lingkup pergaulan saya) -- yang tidak memandang tuntutan, perintah dan omelan sebagai hal terpenting yang harus segera dijatuhkan pada orang-orang yang ‘sedang berada di titik terendah’.
Percayalah, kadang yang mereka butuhkan bukan vonis, kritik pedas maupun teguran mentah-mentah. Yang mereka perlukan hanya telinga yang mendengar dan hati yang cukup luas untuk memberi arahan terbaik -- untuk kemudian mengembalikan keputusan ke tangan mereka, membiarkan mereka memilih dan menghormati (serta tetap menerima) mereka, apapun hasilnya.
Saya sendiri sudah mengalaminya.
‘Tuk djeng OP (eh, boleh nyebut nama gak sih?), thanks so much, yup… for being permissive!! :) Our conversation made me feel 'accepted' for who I am and it was sooo relieving. Thanks for helping me gain my confidence back! (dan kayaknya gue udah ketularan lo nih.. cari gara-gara –-plus cari ribut-- nulis beginian segala! ^_^)
Untuk para penuntut jaya (jika kalian membaca entry ini – walau saya berharap TIDAK), please, understand us. Give us some space. Kami bukan pemberontak, kok. Cuma segelintir orang yang pengen sekali-sekali bisa hidup ‘bebas’ tanpa dibebani urusan-urusan riweh… (dan please jangan bilang, “kalau gitu ngapain masih bareng-bareng kita?!”)
Last but not least, untuk pengunjung blog tercinta yang mungkin sudah penasaran, dari tadi ngomong ‘tuntutan’, ‘tuntutan’ melulu.. emang kayak apa sih tuntutannya? Maaf saya enggak bisa menjabarkannya di sini, karena: (1) kepanjangan (2) tindakan mempublikasikan hal tersebut secara detil hanya akan menambah kesulitan saya seandainya entry ini dibaca oleh pihak-pihak tertentu. (I know, I know.. 'kalo takut ngapain ditulis?!') Ya maabbb… :)