Ya, akhirnya saya mengakui bahwa saya ini ternyata orang yang bawel (halo, djeng :DD), karena percakapan ringan di meja makan yang tadinya hanya berkisar ‘cuaca kok panas banget ya hari ini?’ secara ajaib berubah menjadi diskusi panjang-lebar mengenai kehidupan pernikahan. Jauh ya, bo. :) Entah bagaimana, yang jelas saya jadi menyadari bahwa saya memang cerewet, haha! Maklum, kodrat wanita (halah! Nyalahin kodrat).
Sahabat saya bercerita, ia sering terlibat percakapan dengan sesama ibu muda saat sedang menunggui anak-anaknya di sekolah. Yang menarik perhatian saya adalah celetukannya, “Kalo denger yang lain pada ngobrol tentang keluarga masing-masing, urang teh suka bingung, kok ceritanya pada kayak Cosmo(politan) ya? Permasalahannya ada-adaaa aja, persis di majalah. Tapi perasaan kok kita adem-ayem aja ya Pi, nggak ada kasus yang aneh-aneh…”
Selanjutnya, topik berkembang menjadi ‘betapa pentingnya membangun sebuah fondasi dalam kehidupan pernikahan’ – sedemikian rupa, sampai ketika kita masuk ke dalamnya, pernikahan yang ada akan menjadi kokoh dan terbentengi dari segala bentuk perpecahan (shaelah!).
Bukan berarti tidak ada konflik atau perbedaan lho, ya; itu mah nggak riil. Yang namanya menikah adalah mempersatukan 2 orang yang berbeda. Pasti akan ada friksi. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana mempertemukan perbedaan (prinsip, nilai hidup, perspektif, de-es-be) tersebut dan mengambil keputusan yang terbaik bagi masing-masing pihak.
Saya pikir, inilah pentingnya berpasangan dengan orang yang seiman (yang sering kali ditentang sebagian orang). Saya nggak bermasalah dengan mereka yang tidak menyetujui pemikiran tersebut, hanya saja, saya berpendapat, keyakinan yang sama dalam hal iman dapat dijadikan acuan untuk mempertemukan 2 pemikiran yang berbeda di tengah-tengah dan memakainya sebagai tolok ukur keseimbangan sebuah pengambilan keputusan, sehingga pilihan yang dihasilkan dapat membawa kebaikan bagi masing-masing pihak. Tidak ada yang merasa dirugikan, tidak ada yang merasa dikalahkan, juga tidak ada yang merasa disalahkan, karena pengambilan keputusan itu jelas dasarnya dan ‘sah hukumnya’ – ya berdasarkan kesamaan iman itu.
First off, salah dua ‘kriteria’ yang -menurut saya- dibutuhkan untuk menjalani hubungan yang serius (kalau masih dalam taraf main-main atau ‘for fun’ ya nggak masyalah, bebasss.. =D) adalah adanya kematangan dan kedewasaan dari masing-masing pihak. Dan 2 hal ini tidak serta-merta didapat dari usia yang terus bertambah. Usia sangat menentukan banyaknya asam-garam yang telah dicicipi seseorang, tapi tidak bisa dijadikan patokan dalam menilai kedewasaan seseorang.
Berdasarkan pemikiran saya pribadi, ada 3 hal yang bisa dipakai untuk mengukur seberapa matang/dewasa pasangan kita (dan kita sendiri, tentunya!). Perlu diingat lho, entry ini tidak bertujuan untuk dipakai meneropong kelemahan dan kekurangan calon pasangan. Saran saya, pakailah untuk menilik keberadaan kita lebih dahulu, sebelum menujukan pandangan ke orang lain. Halah, jadi panjang. Menang betul saya ini bawel, ya. :) Anywaaaay, balik lagi, 3 hal yang dapat dijadikan tolok ukur dalam menilik tingkat kedewasaan seseorang adalah: cara kita meresponi suatu masalah, cara kita menanggulangi sebuah tantangan dan cara kita bereaksi dalam menghadapi sesuatu yang buruk.
Yep, it’s all about how you respond. Bukan tentang seberapa banyak yang kita tahu, bukan seberapa banyak pengalaman yang kita punya, bukan seberapa cerdas kita dalam menganalisa sesuatu, bukan seberapa pintar kita melihat akar masalah, namun seberapa baik respon yang kita tunjukkan saat menghadapi sesuatu. Dan biasanya hal ini baru sungguh-sungguh terlihat saat seseorang ada di bawah pressure maupun masalah yang berat.
Saya selalu percaya, ‘tekanan’ dapat memunculkan keaslian seseorang -- lepas dari apapun yang kelihatan secara lahiriah. Sebongkah batubara akan muncul sebagai berlian ketika selesai melewati proses yang panjang dan berat. Sebentuk cincin emas, walaupun dibuang (maaf) ke kotoran babi dan diinjak-injak, tetaplah emas. Kualitasnya tidak akan berubah. Tekanan yang kita alami akan menentukan, kita ini emas betulan atau sekedar perhiasan imitasi. Sama, dalam hal memilih pasangan. Jangan nilai seseorang dari seberapa fasih dia merayu sambil ngegombal, dan jangan lihat dari seberapa cepat dia mampu menaklukkan hati kita dengan rangkaian kata-kata menyentuh hati. Itu semua tidak menjamin, trust me. Justru Anda harus ‘alert’ kalau ada orang yang terlampau menggebu-gebu menyatakan cinta dalam berbagai bentuk gesture. Bisa jadi ‘pengalaman’nya udah segudang, bo!
Secondly, saya menyebutnya dengan istilah memiliki hati yang lembut dan mau berubah (‘berubah’ di sini maksudnya ke arah yang positif lho, ya). Ini penting, bo. Seenggaknya, dengan patokan ini kita tidak akan mendapatkan (atau menjadi orang) yang kepala batu, egois dan mau menang sendiri. Seseorang yang lembut hatinya dapat dengan mudah membuka diri terhadap prinsip yang esensial, dan tidak sulit menerima perspektif baru (walau sudut pandang itu mungkin berbeda dengan apa yang dipercayainya selama ini). Secara otomatis penilaiannya akan jauh lebih objektif, dan caranya menyikapi suatu masalah (balik lagi ke respon, deh) akan jauh lebih bijak. Andai tidak setuju pun, orang yang lembut hati tidak akan main bantah atau bersikap seenak jidat. He/she is not a slonong kind of guy/woman (apa sih, Jen? =D). Hati yang lembut akan meminimalkan konflik dan luka dalam sebuah hubungan.
Please don’t get me wrong... Saya tidak bilang bahwa kita harus mengkompromikan segala sesuatu. Ada hal-hal tertentu dalam hidup yang tidak akan bisa dikompromikan, contohnya panggilan hidup (yang bisa sangat esensial bagi tiap-tiap orang, dan kalau nggak ada bisa bikin ‘mati’) dan idealisme. Yang mau saya tekankan, hati yang lembut dan mau berubah akan mengkondisikan kita untuk melihat segala sesuatu dengan objektif dan terbuka. Punya idealisme itu penting, tapi kalau sampai nyerempet saklek (dan kebablasan cupet), malah akan menimbulkan ranjau dalam sebuah hubungan. Dan jangan bilang, “Ah, tapi selama kita bisa saling menghormati, ya nggak masyalah kan, tetap jalan dengan prinsip sendiri-sendiri?” Pertanyaan selanjutnya, kalau di kemudian hari timbul masalah yang berkaitan dengan paham esensial tersebut, bagaimana mencari jalan keluarnya? Pertanyaan yang tidak kalah penting untuk persiapan hari tua, anak lo nanti mau diajarin ngikut prinsipnya siapa? Percayalah, cepat atau lambat pasti akan terjadi perang mulut, itu minimal.
Thirdly, lihat dan amati cara calon pasangan kita menjalin hubungan dan bersikap pada orang-orang terdekatnya (keluarga dan sahabat-sahabatnya). Kalau ia care dan sungguh-sungguh tulus menyayangi mereka, Anda aman. Kalau ia cuek bin acuh (bahkan cenderung kasar, manipulatif dan tidak menghargai) orang-orang terdekatnya, berhati-hatilah.
Sederhana saja. Sebagaimana ia memperlakukan mereka, seperti itulah ia akan memperlakukan Anda (vice versa. Kalau sekarang toh elo cinta mati sama dia, suatu saat nanti lo pasti akan memperlakukannya sama seperti memperlakukan orang-orang terdekat lo selama ini). Logikanya, kalau ia bersikap ‘kurang baik’ pada orang-orang yang seumur hidup dikenalnya (yang notabene merupakan bagian dari dirinya dan yang paling dekat dengannya), kenapa ia harus bersikap ‘lebih baik’ pada Anda yang baru memasuki kehidupannya selama sekian bulan – atau sekian tahun?
Saran saya, amati juga cara ia bergaul dengan sahabat-sahabatnya.
“Heh, kemana aja lu? Anjing, baru keliatan sekarang!”
Cepat atau lambat, Anda akan menerima perlakuan yang (kurang-lebih) serupa. Dan percayalah, ketika hal itu terjadi dalam sebuah hubungan (or worse, marriage), rasanya akan menyakitkan. Baginya, itu tidak lebih dari panggilan akrab. Candaan semata. Buat Anda belum tentu, kan? Demikian pula sebaliknya.
Don’t get me wrong here. People can change, saya percaya itu. Saya tidak menyarankan Anda untuk bersikap ‘paranoid’. Hanya saja, jika Anda merasa tidak nyaman dengan kelakuannya, sebaiknya bicarakan dari awal. Jika titik tengahnya tidak ketemu, pertimbangkan ulang keputusan Anda untuk memilihnya -- kecuali jika Anda bersedia mengesampingkan faktor yang satu itu, tentunya. Kalau memang seperti itu, ya silakeun-silakeun saja diteruskan (permisif mode: ON). :)
Selanjutnya, jangan menjadikan hal-hal eksternal sebagai patokan dalam memilih pasangan. Saya tidak menentang pemilihan berdasarkan fisik. Percayalah, saya nggak akan menampik jika disodori brondong tampan, dan tidak akan menentang hubungan yang didasari pertimbangan secara fisik -- secara saya termasuk manusia berspesies Permisifus Bangetus yang mencintai para Brondongus Lucus, haha! (Nyontek istilahnya ya, jeng. ^_^) Tapi sekali lagi, menurut saya hal ini seyogianya tidak dijadikan acuan utama dalam sebuah hubungan yang serius -- yang dijalankan dengan kesungguhan. Pertimbangan kemapanan secara materi juga sebaiknya tidak dijadikan tolok ukur dalam menetapkan calon pasangan. Dan maaf, walau mungkin agak bikin gerah bagi beberapa orang, faktor latar belakang keluarga (maupun orang yang bersangkutan itu sendiri) tidak dapat dijadikan patokan untuk menilai keberadaannya secara utuh dan objektif. Jika kita mendasarkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang tampak secara lahiriah belaka, besar kemungkinan kita mengalami kekecewaan setelah menikah.
Saya memiliki seorang teman yang kehilangan kegadisannya pada usia 13 tahun, dan sejak itu tidak henti-hentinya ‘berpindah’ dari satu pria ke pria lainnya dan menyerahkan tubuhnya dengan alasan yang sangat sederhana, “Gue pengen diterima.” Bisa dibayangkan betapa ‘hancur’ kondisinya secara emosional, walau ia selalu bisa menutupinya dengan baik. Sekali waktu, ia bertemu seorang pria dan sungguh-sungguh jatuh cinta. Saya ingat betul kalimatnya yang diucapkan dengan mata berbinar-binar, “Dia sayang gue apa adanya, gue nggak perlu ngelakuin gituan cuma untuk diterima…” Ketika hubungan mereka mulai ‘menanjak’, teman saya memutuskan untuk bersikap jujur. Ia membuka masa lalunya yang kelam dan mengembalikan keputusan pada sang calon pasangan. Guess what? Si calon pasangan tidak keberatan. Sebaliknya, ia membantu teman saya melalui masa-masa sukar di mana ia bergumul dengan trauma, konflik batin, dan gejolak emosi yang naik-turun bagaikan rollercoaster. Tidak lama kemudian, pria baik hati itu melamarnya. Mereka menikah Juni 2006 lalu.
Kawan adik saya dengan teganya mengumbar kejelekan sang istri di depan teman-temannya. Istrinya adalah wanita yang sangat cantik, semua orang mengakui itu. Tapi tidak semua orang sadar bahwa zaman sekarang, apa sih yang nggak bisa ‘dibagusin’ dengan pertolongan make-up? Kawan adik saya terpikat pada kecantikan sang calon istri, dan entah bagaimana tidak pernah melihat wajah asli yang tersembunyi di balik lapisan foundation dan bedak itu… sampai malam pertama pernikahan mereka. Ia shocked mendapati wajah istrinya ‘berubah’ setelah make-upnya dicuci bersih. Entah karena kekecewaan yang besar atau emang dasarnya ‘jahat’, dengan teganya ia menyebarkan kisah malam pertama mereka pada teman-temannya disertai imbuhan, “Gila, taunya bini gua jelek banget!”
Saya cuma bisa geleng-geleng prihatin, kok ada ya suami yang tega membongkar kekurangan istri sendiri sampai sebegitunya? Tapi, apapun alasan di baliknya, saya yakin sumbernya sederhana saja: kecewa dan merasa ‘tertipu’. Kenapa bisa begitu? Karena ‘pengharapan’ sang suami hanya didasarkan pada apa yang kelihatan secara lahiriah. Ketika sang istri gagal memenuhi pengharapan tersebut dan keasliannya tersingkap, semua rasa cinta, kagum dan hormat (yang seharusnya ditujukan kepada si istri) serta-merta lenyap begitu saja.
Such things happened, ya know.
Studi kasus ketiga adalah sahabat saya yang lain. Mereka memulai kehidupan rumah tangga dengan kondisi yang bisa dibilang minus. Setelah menikah, mereka tinggal di rumah kontrakan sederhana dan hanya memiliki sebuah tempat tidur, meja rias, dan karpet. Hanya itu. Mereka memilih tidak membeli barang menggunakan sistem kredit, melainkan menabung untuk ‘mencicil’ perabotan sedikit demi sedikit. Beberapa kali saya melihat dengan mata kepala sendiri, uang yang tersisa di dompet mereka tidak lebih dari selembar limapuluh ribuan. Bahkan pernah, bo, dua ribu perak! Biasanya, perempuan lah yang paling cerewet dalam hal-hal seperti ini, namun sahabat saya tidak pernah mengeluh. Dari mulutnya tidak pernah sedikitpun terlontar kata penyesalan, apalagi omelan. Baginya, inilah proses yang harus mereka lalui, dan ia bersedia menjalani porsi yang masih sedikit itu dengan sukacita. Beberapa tahun kemudian, sang istri hamil dan melahirkan. Bentuk tubuhnya berubah, dan karena memang dari sono-nya punya bakat gemuk, setelah melahirkan tubuhnya sulit kembali ke postur semula. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit, dan selama itu pula sang istri ‘bergumul’ dengan rasa tidak percaya diri. Di saat-saat yang tidak mudah itu, dukungan terbesar datang dari suaminya yang tidak pernah menjadikan hal lahiriah sebagai bagian terpenting dalam kehidupan pernikahan.
‘Hal-hal lahiriah’ di sini juga termasuk perilaku dan pembawaan yang ditunjukkan selama masa pendekatan maupun proses penjajakan. Saat seseorang sudah kepalang cinta, ia akan rela melakukan ‘apa saja’ dan menjadi ‘siapa saja’ demi orang yang ia cintai. Persoalannya, hal-hal yang membuat mabuk kepayang itu sering kali tidak permanen dan ‘tidak riil’. Akibatnya, saat pernikahan betul2 dilangsungkan; saat kita mulai melihat pasangan kita dari dekat 24 jam sehari, barulah semua ‘penyamaran’ (pardon my words!) yang dilakukan salah satu pihak akan tersingkap dan kita dapat melihat diri pasangan kita seutuhnya -- demikian pula sebaliknya. Pada saat ini, seluruh sifat, perilaku dan keberadaannya yang sesungguhnya akan terlihat jelas, dan itulah yang menetukan apakah kita merasa bersyukur telah mendapatkannya, atau justru merasa ‘terjebak’ dalam penyesalan seumur hidup. Hal ini berpotensi menimbulkan luka baru, dan fondasi terkuat yang bisa dimiliki sebuah pernikahan –rasa saling mempercayai—dapat menjadi goyah karena salah satu pihak merasa ‘tertipu’ dengan keberadaan si pasangan yang ternyata tidak sesempurna yang dilihat/dialaminya selama masa-masa pacaran!
Last but not least, hal yang sering dianggap sepele tapi (sebetulnya) amat besar artinya:
Libatkan orangtua dalam pengambilan keputusan. Intuisi orangtua sangatlah penting dan dapat dipercaya. Kita-nya aja yang kadang-kadang songong karena merasa ‘lebih’ dari mereka. Padahal sejatinya, seorang Presiden sekalipun, ketika pulang ke rumah orangtuanya ya tetaplah kembali pada posisinya sebagai anak -- nothing more.
Walaupun orangtua kita (mungkin) tidak lebih pandai/terpelajar dari kita, mereka tetap memiliki segudang pengalaman dan telah merasakan pahit-manis kehidupan yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan pilihan. Dan kalau itu semua dirasa belum cukup, ingatlah, sebagai orangtua yang melahirkan, merawat dan membesarkan kita dengan segenap cinta dan pengorbanan, mereka memiliki naluri yang lebih tajam dibanding kita. Hormati mereka. Mintalah pendapat mereka, dan dengar apa yang mereka katakan.
Dengan melakukan ini, Anda juga akan membuat mereka merasa jadi orangtua paling bahagia sedunia. Percayalah.. :)
Izinkan saya menutup entry ini dengan definisi yang saya simpulkan secara pribadi:
'Mencari pasangan berbicara tentang menemukan orang yang dapat kita sebut sebagai ‘belahan jiwa’, yaitu seseorang yang akan dapat melengkapi dan menyempurnakan hidup kita, untuk kemudian mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan untuk menjalani kehidupan ini bersama-sama dan mencapai apa yang telah digariskan Sang Pencipta pada hari kita dilahirkan ke dunia – maksud, tujuan dan panggilan yang ditetapkanNya atas hidup kita masing-masing.'
I know, it’s easier said than done. Sebagai orang yang sejak dulu sampai kini masih masuk kategori Kejora (kelompok jomblo ceria), sejujurnya saya tidak berani cuap-cuap seakan sayalah yang paling benar. Setiap orang berhak punya persepsi, definisi dan pendapat sendiri, dan masing-masing bebas menentukan pilihan berdasarkan apa yang ia percayai. Saya hanya menawarkan alternatif berpikir dari apa yang saya anggap benar, dan semoga apa yang saya jabarkan ini bisa menolong kita dalam proses pencarian yang panjang… :)
Weleh, weleh… kok jadi dalem gini ya, bo? ;)
Ya suds… sampai ketemu di entry mengenai ‘proses menjalin hubungan (sampai ke tahap pranikah)’.
Terima kasih untuk para sahabat yang telah membuka diri dan mengizinkan saya
melihat realita sebuah hubungan (bahkan sampai ke jenjang pernikahan), dan
belajar daripadanya.
6 comments:
setubuhhhhh... ups* setuju maksudnya. jadi intinya pengendalian diri ya Jen? ;) salam kenal! -Hary
buat saya, lebih simple ..
Dulu, pernah suatu pagi saya bangun dan berpikir :'hmm..kayanya saya ngga kuat deh hidup dengan cewe ini'
Besoknya langsung putusin pacar waktu itu..
Ngga, saya ngga putusin cewe hanya karena pikiran bangun tidur. Masalah utamanya, ini cewe hobinya berkeluh kesah tentang masalah keluarganya, soal kuliah dia dll .. pokoknya kalo deket dia, hidup rasanya jadi suram deh. Lama lama be te juga sih....tapi saya kuat kuatin, hibur dia dll dll .. sampai saya bangun di pagi hari itu.
Dan yah, sejak itu soal pasangan hidup jadi lebih simple buat saya.... tinggal jawab :
'bisakah saya hidup dengan orang ini?
Sampai saya ketemu calon istri.. perasaan saya bilang 'bisa' .... dan setelah 6 tahun dan 2 ekor anak, perasaan saya tidak salah.
Meskipun istri saya itu klutz dan suka ketinggalan barang, atau lupa taruh barang .. sedang saya paling jengkel kalo ada yang begitu.. tapi ya bukan masalah besar..
salam-Rudy-
'Bisakah saya hidup dengan orang ini?'
Gue suka pertanyaan itu :))
masalah pasangan hidu emang ga akan mudah dapetinnya. secara (harapannya) sekali seumur hidu gitu. Tengkyu udah ngebahas panjang lebar. Boleh niy dijadikan salah 1 panduan ;)
BAGUZZZZ....
TOP ABIEZ
saya tidak percaya kebetulan. saya percaya saya bisa lebih mengerti hidup ketika membaca blog ini..
dan setiap post yg saya baca sepertinya salah satu cara Tuhan untuk menjawab kegelisahan saya.
Can't stop reading your blog :)
Post a Comment