Untuk SMS-SMS berisi salam kocak di pagi hari maupun ucapan tidur sederhana yang selalu berhasil menarik garis lengkung di bibir saya:
Terima kasih.
Untuk percakapan hangat hingga jam 4 pagi via telepon; jam 2:30 subuh di kasur yang nyaman; jam 3 dinihari sambil nonton TV yang menyiarkan acara-acara nggak jelas (siapa juga yang masih melek jam segitu?!): Terima kasih.
Untuk obrolan santai di Starbucks, JCo, warung tenda pinggir jalan, mobil, kamar tidur, sofa ruang tamu, dan tempat-tempat lainnya: Terima kasih.
Untuk lelucon-lelucon konyol yang selalu membuat kita ngakak bak orang gila: Terima kasih.
Untuk berbagi tawa saat kita bicara tentang ‘ngeceng’, ‘brondong lucu’, ‘kabur-kaburan’, dan saling mencela tanpa pernah memasukkannya ke hati: Terima kasih.
Untuk celaan-celaan yang tabu di telinga yang lain, namun justru menjadikan kita lebih dekat dari saudara: Terima kasih.
Untuk telinga yang selalu mendengar dengan sabar dan tak pernah menghakimi: Terima kasih.
Untuk menceritakan rahasia-rahasia terdalam yang tak seorang pun selain kita yang tahu: Terima kasih.
Untuk mempercayai saya dengan membuka diri dan mengizinkan saya melihat diri kalian apa adanya: Terima kasih.
Untuk membuat saya merasa nyaman, diterima dan mampu menjadi diri sendiri tanpa perlu ‘berpura-pura’: Terima kasih.
Untuk mengenal saya luar-dalam, lengkap dengan segala hal ‘ajaib’ yang tersembunyi dari tatapan orang lain dan tetap mengasihi saya seutuhnya: Terima kasih.
Untuk setiap koreksi, kritik dan teguran atas kekurangan-kekurangan saya, dan tetap menghargai apapun keputusan saya: Terima kasih.
Untuk tidak menuntut dan memaksa saya menjadi ‘seperti yang seharusnya’, namun memandang perbedaan yang ada sebagai warna yang menjadikan hidup lebih semarak: Terima kasih.
Untuk mengulurkan tangan saat saya terjerembab dan menarik saya berdiri tanpa mengatakan “Tuh, apa gue bilang!”: Terima kasih.
Untuk tidak mengizinkan perbedaan (suku, konsep pikir, sifat, selera, dan sebagainya) menciptakan jurang pemisah di antara kita: Terima kasih.
Untuk mengizinkan saya menjadi diri sendiri dan menemukan separuh jiwa saya yang lain dalam diri kalian: Terima kasih.
Untuk secercah kehangatan di sisi terdalam hati saya ketika mengingat kalian, dan untuk rasa syukur bahwa saya memiliki makna terindah dari persahabatan: Terima kasih.
... untuk setiap senyum, airmata, tawa, senang, takut, dan khawatir yang kita bagi bersama:
Untuk percakapan hangat hingga jam 4 pagi via telepon; jam 2:30 subuh di kasur yang nyaman; jam 3 dinihari sambil nonton TV yang menyiarkan acara-acara nggak jelas (siapa juga yang masih melek jam segitu?!): Terima kasih.
Untuk obrolan santai di Starbucks, JCo, warung tenda pinggir jalan, mobil, kamar tidur, sofa ruang tamu, dan tempat-tempat lainnya: Terima kasih.
Untuk lelucon-lelucon konyol yang selalu membuat kita ngakak bak orang gila: Terima kasih.
Untuk berbagi tawa saat kita bicara tentang ‘ngeceng’, ‘brondong lucu’, ‘kabur-kaburan’, dan saling mencela tanpa pernah memasukkannya ke hati: Terima kasih.
Untuk celaan-celaan yang tabu di telinga yang lain, namun justru menjadikan kita lebih dekat dari saudara: Terima kasih.
Untuk telinga yang selalu mendengar dengan sabar dan tak pernah menghakimi: Terima kasih.
Untuk menceritakan rahasia-rahasia terdalam yang tak seorang pun selain kita yang tahu: Terima kasih.
Untuk mempercayai saya dengan membuka diri dan mengizinkan saya melihat diri kalian apa adanya: Terima kasih.
Untuk membuat saya merasa nyaman, diterima dan mampu menjadi diri sendiri tanpa perlu ‘berpura-pura’: Terima kasih.
Untuk mengenal saya luar-dalam, lengkap dengan segala hal ‘ajaib’ yang tersembunyi dari tatapan orang lain dan tetap mengasihi saya seutuhnya: Terima kasih.
Untuk setiap koreksi, kritik dan teguran atas kekurangan-kekurangan saya, dan tetap menghargai apapun keputusan saya: Terima kasih.
Untuk tidak menuntut dan memaksa saya menjadi ‘seperti yang seharusnya’, namun memandang perbedaan yang ada sebagai warna yang menjadikan hidup lebih semarak: Terima kasih.
Untuk mengulurkan tangan saat saya terjerembab dan menarik saya berdiri tanpa mengatakan “Tuh, apa gue bilang!”: Terima kasih.
Untuk tidak mengizinkan perbedaan (suku, konsep pikir, sifat, selera, dan sebagainya) menciptakan jurang pemisah di antara kita: Terima kasih.
Untuk mengizinkan saya menjadi diri sendiri dan menemukan separuh jiwa saya yang lain dalam diri kalian: Terima kasih.
Untuk secercah kehangatan di sisi terdalam hati saya ketika mengingat kalian, dan untuk rasa syukur bahwa saya memiliki makna terindah dari persahabatan: Terima kasih.
... untuk setiap senyum, airmata, tawa, senang, takut, dan khawatir yang kita bagi bersama:
Terima kasih.
Starbucks picture taken from: http://aishanatasha.multiply.com
No comments:
Post a Comment