Saturday, October 20, 2007

Menjaga Hati

Saya selalu nggak habis pikir kagum dengan orang-orang yang bisa selalu menahan diri dalam menghadapi sesuatu yang tidak enak atau menyakitkan tanpa pernah terpancing untuk membalas, atau setidaknya melampiaskan emosi. Jujur, walau saya nggak suka berantem, saya termasuk manusia yang tidak sabaran dan mudah naik darah, walau sering kali kekesalan saya hanya terlafalkan dalam hati, tidak sampai terucap.

Saya punya beberapa teman yang seperti itu: supersabar, nggak pernah marah, tutur katanya selalu halus, ramah budi bahasa, nggak pernah mengucapkan atau melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, ringan tangan (dalam arti suka menolong, bukan ngegampar orang)… pokoknya TOP lah, sampai saya sering merasa minder sendiri berdekatan dengan mereka, karena meski termasuk golongan Pencinta Damai, tidak jarang saya mengeluarkan kalimat protes maupun celaan *uuups* dalam menghadapi hal-hal tertentu yang melanggar batas kesabaran saya, mulai dari yang paling nggak waras (komat-kamit ngedumel nggak jelas), curhat ke teman, sampai ngomel langsung ke orang yang bersangkutan.

Sejujurnya, tiap selesai menyalurkan kejengkelan, sering saya menyesal dan berpikir, “Ya elah Jen, segitu aja kok dibawa kesel…” dan saya lantas membuat janji pada diri sendiri untuk lebih menguasai temperamen dan menjaga lidah, walau seringnya… gagal lagi.

Salah 1 hal yang paling cepat memancing emosi saya adalah jika saya merasa sudah melakukan yang terbaik, namun tindakan itu justru disalahpahami oleh orang yang bersangkutan, apalagi jika diembel-embeli prasangka. Duuuh, berasa disilet, hehehe. Menyangkut hal ini, seorang teman pernah berkata dengan bijaknya, “Kalau kita melakukan yang terbaik dan disalahpahami, biarkan saja. Itu malah bisa menguji keikhlasan kita. Kalau kita-nya betul-betul ikhlas, mau dianggap bagaimana pun, diperlakukan kayak apapun seharusnya nggak terpengaruh.”

Dia mengucapkan itu setahun yang lalu, ketika kami bercakap-cakap persis sehari setelah lebaran. Saya terdiam. Sampai hari ini, 12 bulan setelah mendengar kalimat itu, saya masih mengakui: itu nggak gampang, bok.

Sama sekali tidak gampang.

Menjaga nurani agar selalu bersih dan murni bukanlah sesuatu yang mudah. Menjaga hati dari kontaminasi agenda pribadi, walau terdengar sepele, sama sekali bukan hal remeh yang dapat dilakukan sekejap mata. Berkali-kali, dalam banyak hal, saya merasa tertohok menyadari bahwa tindakan saya dimotori oleh ketidaktulusan yang meski tidak kasat mata, tetap diketahui oleh suara kecil bernama nurani ini. Berkali-kali juga saya menegur diri agar lebih mampu melindungi hati dari motif terselubung, setiap kali saya melakukan sesuatu yang (menurut saya) baik.

Menjaga hati, lidah, tindakan dan khususnya menjaga nurani adalah sesuatu yang masih terus saya ‘gumuli’ hingga detik ini. Bukan untuk menjadi manusia serba sempurna yang tidak pernah berbuat kesalahan, namun untuk menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Saya ingin menjadi manusia yang lebih baik, terutama dalam hal-hal sederhana seperti lebih banyak bersyukur, bermurah hati memberi maaf, melupakan kesalahan (it’s easier to forgive than forget, right?), tidak mudah terbawa emosi, menjaga perkataan, sikap, tindakan maupun pikiran agar senantiasa tulus, melapangkan hati, dan yang terpenting, terus mendengarkan bisikan kecil yang bersemayam jauh di dalam kalbu tanpa tergoda untuk menepisnya demi sesuatu yang bernama ego.

Semoga saya bisa… :)

*Dedicated to Steven & Elly Agustinus, manusia-manusia terbaik yang saya kenal, yang telah menjadi 'rumah' bagi begitu banyak orang. Terima kasih karena tak pernah lelah mengingatkan, menegur serta memberi inspirasi. Dan terima kasih untuk sebuah 'kamar' yang senantiasa tersedia bagi saya... :)

2 comments:

Dody Kudji Lede said...
This comment has been removed by the author.
Dody Kudji Lede said...

Ketika kita memutuskan untuk berbuat sesuatu, kita harus berkata dan yakinkan dalam hati kita bahwa "saya pasti bisa". tapi jika kita berkata semoga bisa, berarti kita belum siap untuk melangkah ke jalan yang kita putuskan untuk jalani itu (baca: ragu-ragu).
kalaupun ditengah jalan kita harus bertemu dengan yang namanya kegagalan, mari kita berpikir bahwa itulah bagian dari corak hidup yang harus kita ukir dalam sejarah panjang hidup ini. Simpan itu dalam catatan kecil di hati kita tanpa perlu bersungut-sungut dan bertanya kenapa saya gagal.
Singkatnya seperti yang dibilang sama okke "sepatu merah", kita sedang kuliah di universitas kehidupan, entah kapan kita lulus, kita tidak pernah tau berapa nilai yang kita dapat disetiap ujian, yang jelasnya ketika kita berhasil melewati satu ujian, kita masih akan berhadapan dengan ujian berikutnya lagi. dan kita tak pernah tau kapan saat ujian itu, yang harus kita lakukan hanyalah mempersiapkan diri sebaik mungkin, agar ketika tiba saatnya nanti kita sudah siap.
satu hal lagi, saat kita menempuh ujian ini, tidak akan ada pengumuman "MOHON TENANG, ADA UJIAN".