Friday, November 23, 2007

Ramah-Tamah

“Penting ya, beramah-tamah sama pimpinan?”

Meta berhenti mengaduk vanilla latte-nya yang baru dituangi brown sugar. Ia nyengir sambil menatap Ninda yang balik menatapnya dengan sedikit cemberut.

“Emang kenapa?”

“…”

“Kantor elo, ya?”

“He eh. Malesin.”

Meta menyesap vanilla latte-nya. Ia meletakkan gelas styrofoam sambil memaki kecil. “Sial! Panas banget.”

“Beramah-tamah itu penting kaliii, Nin. Dalam hidup bersosialisasi, kita per…”

“Gak usah sok bijak,” tukas Ninda, bertahan dalam ekspresi sebalnya. “Lo tau apa yang gue maksud.”

Lagi-lagi Meta nyengir innocent. “Idealisme lo?”

Ninda tidak menjawab. Ia menyeruput mochacinno-nya seraya membuang pandangan ke luar jendela. Suasana Coffee Corner sore itu sangat comfy. Café mungil ini adalah tempat favorit Meta dan Ninda. Ambiance-nya selalu membuat mereka kangen ngopi-ngopi sambil curhat sana-sini.

Beberapa bulan terakhir, kebanyakan sesi ngopi Meta-Ninda diwarnai curhat Ninda tentang suasana kantor yang ditempatinya 10 bulan ini. Meta hanya nyengir-nyengir kuda mendengar curhat sahabatnya yang kali ini bukan tentang cowok super ganteng pacar barunya, dosen nyebelin nan genit yang hobi colak-colek seenak jidat atau cardigan Zara yang sudah lama diincarnya, melainkan setumpuk cerita tentang rasanya kerja kantoran, senangnya menerima gaji pertama, serunya belanja dengan uang hasil keringat sendiri, sampai tingkah rekan-rekan sekantor yang (menurutnya) super-duper-ngeselin.

“Gue gak ngerti kenapa orang-orang itu demen banget beramah-tamah sampe berlebihan sama pimpinan. Bikin sakit mata. Gerah.” Omel Ninda.

“Menjilat, maksud lo?”

Sort of.”

“Ngapain dipusingin, Neng. Biarin aja. Yang penting kan elo nggak,” cetus Meta geli.

“Gue gerah aja,” Ninda melipat kedua tangannya di dada, persis anak kecil yang merajuk. “Awalnya gue berusaha cuek. Tapi karena gue seruangan rame-rame, lama-lama ganggu banget. Dan mereka ngelakuin itu terang-terangan tiap kali atasan nongol. Pengen gue sambitin satu-satu,” Ninda bersungut-sungut, membuat Meta ingin sekali ngakak sepuasnya di depan fresh grad berlidah cabe rawit itu.

“Lo bayangin, ada gitu, yang tiap boss nongol, cara ngomongnya udah kayak ketemu menteri. Ngerunduk-runduk, nada dibikin semanis mungkin, intonasi direndah-rendahin biar terkesan hormat.”

“Hehehehe…”

“Ada juga yang kerjaannya ketawaaa melulu. Gue rasa dia digaji buat ketawa daripada buat kerja.”

“He?” Meta melongo bodoh. “Maksud lo?”

“Yaaa… boss gue kan orangnya ramah. Suka banget cerita. Apa aja diceritain. Jadi tiap boss gue cerita, lucu ga lucu, seru ga seru, dia selalu KETAWA. All the time.”

“Kok aneh sih?”

“Tau. Biar disayang, kali.”

“HUAHAHAHAHAHA.”

“Trus ada juga yang pendekatannya lewat anak boss.”

“Hah?”

“Iya. Pimpinan gue punya anak perempuan umur 5 tahun. Abis pulang sekolah, ‘ni anak sering diajak ke kantor. Ada satu staff yang selalu nurutin kemauan ‘tu anak. Minta apapun dikasih, mau apapun dibolehin. Padahal ya bo, gue ngeliat sendiri boss gue justru ngelarang hal-hal yang dibolehin itu. Otomatis ‘tu anak jadi deket sama staff yang satu itu. Nempel mulu. Dan ‘tu anak cerita deh ke nyokapnya kalo staff itu baik banget sama dia.” Ninda misuh-misuh panjang lebar. Embun di gelasnya sudah lama membentuk genangan di atas meja.

“Ya biarin aja lah, Say. Mau mereka licking ass pemimpin, itu urusan mereka. Yang penting kan lo nggak gitu.”

“Iyaaa, tapi gue jadi ngerasa gak fair ajaaa.” Bibir Ninda semakin maju. Meta tertawa geli. Di saat-saat seperti ini Ninda lebih mirip anak SMU yang lagi ngambek sama pacar ketimbang karyawan perusahaan swasta.

“Gak fair gimana maksud lo?”

“Gak fair, karena mereka ngedapetin perhatian lebih dari pimpinan dengan cara-cara kayak gitu, sementara mereka-mereka itu sebenernya pada gak becus kerja.”

“Dih, segitunya amat sih,” Meta menukas. “Sah-sah aja lo sebel, tapi ga usah segitunya kali.”

Seriously, Met.” Ekspresi Ninda berubah sungguh-sungguh. ”Gue kan seruangan sama mereka. Gue tau kualitas dan cara kerja mereka kayak gimana. Tipe yang dikit-dikit nanya, dikit-dikit minta tolong, dikit-dikit ngeluh. Trus kalo diajak diskusi, keliatan banget telminya. Gue sampe capek.”

“HUAHAHAHAHAHA. Nasib lo, Nin.”

Yeah,” Ninda menghela nafas pasrah. “Itu sebabnya gue mati-matian nge-push kapasitas gue. Pokoknya kinerja dan kualitas gue harus di atas rata-rata. Gue pengen –dan harus- nunjukin prestasi lebih dari mereka-mereka itu.”

“Supaya lo eksis di mata boss?”

“Sebagian, iya. Sebagiannya lagi, karena gue pengen buktiin kalo gue bisa berhasil tanpa perlu licking ass.” Ninda menuntaskan mochacinno-nya. Ia menghempaskan gelas kosong ke atas meja, membuat genangan air di atasnya terpercik kemana-mana.

Meta manggut-manggut sambil menyapukan tisu ke lengannya yang basah kena air. “Moral of the story…” ia mengembangkan senyum kocak, “Kalo gak bisa beramah-tamah sama pimpinan, mendingan punya prestasi.”

“Ember.” Ninda mengangkat alis sambil bertopang dagu. “I know I can do it.” sambungnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Buktinya, ada satu produk -namanya Concept- yang sama anak-anak disebut produk gagal. Penjualannya amblas, tapi sejak gue handle 3 bulan ini, penjualan mulai naik dan ordernya lumayan.”

Meta tersenyum. Bangga akan pencapaian sang sahabat yang belum genap setahun bekerja di kantor barunya. Bangga akan sifat keras kepala Ninda yang tidak takut menentang arus dan berani berkompeten secara sehat. Sesuatu yang sama sekali tidak mudah -- Meta tahu itu, karena ia pernah tersingkir dari area persaingan yang sama, di mana ia tidak sanggup bertahan. Tapi Ninda adalah cerita lain. Ninda, dengan kapasitas otak dan idealismenya yang sekeras batu, akan mampu bertahan, bahkan terus naik.

I know you can.”

3 comments:

rina said...

Jenny, kamu produktif sekali dalam menulis. salut ya. Whether tulisan kamu bakal dipublish, atau nggak, keep on writing :-)
Kalau sempet, main - main ke blog-ku ya Jen. Di ceritaombak.blogspot.com
ada cuplikan dari cerita-ku juga. Dan kalau nggak repot, please comment. Hahaha. Ini kalau nggak nyusahin aja kok. Anyway, good luck

Anonymous said...

Thanks, Rina.. that's very sweet of you. Sukses untuk kamu juga ya :)

Anonymous said...

Kadang kala kita perlu "luwes." Walau pun punya otak encer dan pendirian sekeras batu, tetapi "keluwesan" tetap perlu.

Salam.