Saya mengenalnya beberapa tahun lalu, ketika kami datang ke sebuah acara yang sama dan saya melihatnya dikerumuni perempuan-perempuan yang heboh meminta tips seputar kecantikan dan kesehatan kulit. Karena penasaran, saya ikut mendekat.
Informasi yang dipaparkan beliau tentang banyaknya penderita kanker kulit di Indonesia akibat pemakaian produk perawatan dan make-up yang mengandung merkuri sangat menarik perhatian (kala itu belum banyak orang yang tahu bahwa sebagian besar produk kecantikan yang beredar di pasaran mengandung zat berbahaya ini). Jadilah saya bergabung dalam kerumunan kecil itu, menjadi salah satu perempuan bawel yang bertanya ini-itu tentang perawatan kulit -- walau pada akhirnya informasi tetaplah informasi, alias nggak dilakukan, hehehe.
Ketika acara itu selesai, pertemanan kami berlanjut. Seorang wanita kharismatik yang usianya menginjak pertengahan limapuluh dengan perempuan yang baru menamatkan masa ABG. Dua ‘dunia’ yang sangat nggak nyambung, sebetulnya, karena usia beliau bahkan jauh di atas Ibu saya. Tapi herannya, saya betah-betah saja bergaul dengan beliau (malah enjoy!), begitu pula sebaliknya. Believe it or not, kami bisa menghabiskan 3 sampai 5 jam sekali ngobrol.
Beliau selalu bermurah hati memberikan tips dan nasehat berharga mengenai perawatan kulit dan berbagai aspek kesehatan ditinjau dari segi medis *sedap, bahasa gua!*. Dan kami, perempuan-perempuan haus informasi ini, selalu mendengarkan dengan senang hati, karena tips-tips canggih seperti itu tidak mudah didapatkan secara gratis dari pakar kecantikan sekaliber beliau *ihiwww*.
Beliau telah beberapa kali memperoleh penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasanya dalam dunia medis, secara spesifik dalam bidang kosmetologi. Beberapa bulan yang lalu, atas undangan dari Oom Bush, beliau menginjakkan kaki di Gedung Putih. Meski begitu, di tengah kesibukannya yang segudang beliau selalu bersedia meluangkan waktu untuk menolong kami-kami yang buta ilmu kesehatan.
Ketika seorang kawan melahirkan anak pertama, beliau memonitor perkembangan si calon ibu dan jabang bayi melalui teman baiknya -seorang dokter kandungan- untuk memastikan proses persalinan berjalan dengan lancar sesuai keinginan si ibu: melahirkan dengan normal. Ketika putra sahabat saya menderita penyakit berbahaya Stevens-Johnson syndrome, beliau ikut repot mencari informasi mengenai penyakit yang terbilang langka itu dan menghubungi teman-temannya sesama dokter untuk mencari penanganan terbaik yang dapat ditempuh demi kesehatan si bayi. Ketika tante seorang teman lain menderita tumor otak ganas, beliau memberi rujukan ke rumah sakit terpercaya (baca: kemungkinan malprakteknya bisa diminimalkan) dan dengan sukarela memantau perkembangan si pasien yang notabene tidak dikenalnya sama sekali.
Salah satu omelan favoritnya setiap bertemu saya adalah, “ITU MUKA KENAPA MERAH-MERAH LAGI? Kemarin perasaan udah mulusan! Pasti makan donat lagi ya?”
Hehehe.
Yup, beliau ‘mengharamkan’ saya sering-sering makan donat dan telur demi mengendalikan populasi jerawat di wajah saya. Masalahnya oh masalahnya, sebagai penggemar sejati donat –khususnya yang dijual di mal-mal dengan brand berupa inisial seorang tukang cukur yang berkonversi jadi tukang roti dan donat- saya sangat sulit menahan keinginan untuk tidak nyemil kue bolong itu. Dan buat saya, tidak ada yang bisa menyamai kenikmatan makan telur ceplok pakai kecap asin dan cabe rawit. Alhasil, jerawat pun terus berkembang biak. Setiap kali diomeli, saya cuma cengar-cengir sambil minta ampun dan mencoba mengurangi konsumsi 2 makanan ‘haram’ itu, yang biasanya cuma bertahan beberapa bulan sebelum saya kembali memamahnya secara konsisten. Hihihi. (duhhh, maap, Tan!)
Kemarin siang kami kembali bertemu. Saya, beliau dan beberapa teman duduk membentuk kerumunan kecil yang superberisik. Beliau memukul saya dengan bercanda ketika saya berkomentar bahwa larangannya makan donat dan telur sangat menyiksa kesejahteraan jiwa. Seorang teman yang wajahnya sedang jerawatan parah juga tidak luput dari omelan. Kami sedang sibuk ngeles sambil tertawa-tawa heboh, ketika seorang kawan mendadak menyeruak ke dalam kerumunan sambil mengulurkan sebuah bungkusan kepada si Tante.
“Titipan dari Edo,” ia menyebut nama anak bungsu Tante yang sedang menempuh pendidikan di London. Rupanya si kawan baru kembali dari perjalanan dinas di kota yang sama.
“Oh, dari Edo?!” wajah si Tante berubah sumringah. Surprised campur senang.
Kawan tersebut hanya mampir sebentar untuk menyerahkan titipan. Setelah ngobrol beberapa jenak, ia pamit dan Tante memasukkan bungkusan itu ke dalam tasnya. Saat saya mengira obrolan akan kembali berlanjut, Tante membatalkan niatnya menutup tas. Ia melongok ke dalam tas dan membuka bungkusan itu, mengintip isinya cepat-cepat. Ketika mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca.
“Makasih ya, Pepi,” serunya pada si kawan yang sudah beranjak menjauh. Beliau mengeluarkan bungkusan itu dari tas dan mendekapnya erat-erat di dada dengan kedua tangan.
“Aduh, senengnya…” komentarnya lirih. “Baiknya… dia inget sama Tante. Kalo yang dua lagi kan udah cuek, udah pada gede…” ia merujuk pada dua putrinya yang tinggal di Eropa.
Obrolan tidak jadi berlanjut. Tante terus mendekap bungkusan itu di dadanya. Saya memperhatikan beliau menyusut airmata dengan ujung jari, sementara sepasang manik itu terus berbinar dengan kebahagiaan yang sulit dideskripsikan.
Tanpa bermaksud mengecilkan makna sebuah pemberian, saya yakin isi bungkusan itu tidaklah seberapa dibandingkan tas buatan perancang yang disandang beliau maupun perhiasan yang sangat mencolok dan tidak pernah absen dikenakannya.
Bertahun-tahun mengenalnya, saya tidak pernah melihat beliau memegang sertifikat penghargaan dari pemerintah maupun trofi bergrafir indah -yang menunjukkan catatan prestasi nan fantastis dan selalu mengundang decak kagum orang- seperti mendekap hadiah sederhana dari putra tersayangnya.
Ia adalah seorang wanita berkharisma yang memancarkan aura kesuksesan sejati. Namanya tercatat dalam kumpulan profil orang-orang yang berjasa memberikan kontribusi secara langsung bagi kemajuan Negara, dan prestasinya telah menghantarnya ke Gedung Putih untuk bertemu orang nomor 1 di Amerika.
Kemarin siang, jauh di balik pesona gemerlap nan berkilau yang disandang beliau sebagai figur masyarakat -dengan segala pencapaiannya- saya memandang dengan kagum ketika sosok yang bersembunyi di lapisan terdalam itu memunculkan diri.
Sosok sejati itu adalah seorang Ibu.
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago
2 comments:
Boleh tau dong siapa nama sang ibu...
Tulisannya menyentuh!
Bagus...
Post a Comment