Friday, January 4, 2008

PR Liburan

16 hari. Cukup panjang untuk liburan akhir tahun. Saya dan beberapa rekan sekantor langsung membayangkan, enaknya liburan ini diisi dengan apa, mau apa, dan kemana.

17 Desember. Hari terakhir masuk kerja di tahun 2007. Kami semua dipanggil -- rapat akhir tahun, sekaligus pembagian hadiah natal. Kado-kado dalam bungkus cantik dibagikan, dengan nama setiap orang di atasnya. Semua hadiah itu berbentuk persegi panjang. Isinya buku.

“Baca di rumah, jadikan PR, dan buat ringkasannya. Dikumpul pada hari pertama kerja, awal tahun depan.” Itulah kalimat penutup rapat akhir tahun yang diucapkan atasan kami.

Yang pertama terlintas di otak saya adalah, “PR? Nggak salah?” Berasa balik ke jaman SD. ;D

Kami kembali ke ruangan masing-masing. Kertas kado disobek. Buku dikeluarkan. Hal pertama yang dilihat? Tentu tebal bukunya.

“Punya gue tebal banget,” cetus seorang rekan.

“Punya gue juga lumayan, nih,” cetus yang lain. “Lo, Jen?”

“Lumayan,” sahut saya, setengah nggak konsen.

Saya membolak-balik buku saya, mengamati isinya sejenak sebelum menutupnya kembali. Pikiran saya masih terfokus pada stok opnam yang harus saya lakukan, first thing in the morning. Dan laporan-laporan yang menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi komputer yang mendadak ngadat dan berpotensi menyebabkan gangguan jiwa. Seandainya bisa, saya ingin berteriak pada komputer itu, “TOLONG JANGAN RUSAK SEKARANG. GUE MAU LIBURAN!!!”

Minggu berikutnya, saya berkutat dengan kartu stok dan timbunan barang di gudang, sementara kantor sudah sepi. Sejujurnya, saya malah senang, karena suasana sepi membuat saya lebih mudah berkonsentrasi. Tak lupa, demi menghibur diri karena masih masuk saat yang lain sudah libur, saya meluangkan waktu untuk nonton di mal yang tak jauh dari kantor.

Pikiran saya terus beradu. Pada komputer pengacau yang tak berbelaskasihan. Pada laporan yang tak kunjung selesai. Pada stok opnam yang melelahkan. Pada pernikahan seorang saudara yang tinggal menjelang hari, di mana saya bertugas sebagai penerima tamu (dan meskipun judulnya ‘cuma’ menerima tamu, minimal saya harus menyiapkan tenaga untuk stand by seharian penuh, dengan high heels dan kebaya). Belum lagi ringkasan buku ini.

Ah, sudahlah. Makin dipikir, makin numpuk rasanya. Tak usahlah dipusingkan. Kerjakan saja.

Stok opnam selesai. Laporan selesai. Komputer saya crash (aaaarrrghhhh!). Saya hanya punya waktu sehari untuk pulang (yup, selama lembur saya menginap di kantor) dan beristirahat, untuk kembali menggeber tenaga esok harinya di pernikahan saudara.

Saya meriang. Mungkin karena pergantian cuaca. Mungkin juga karena kecapekan. Apa pun penyebabnya, saya tak mungkin minta dikeroki, seperti kebiasaan saya jika masuk angin. Kebaya yang sudah dimodifikasi itu akan menampilkan sebagian punggung atas saya. Tak mungkin saya memperlihatkan loreng-loreng merah dalam resepsi pernikahan.

Sehari setelah pesta usai, saya pergi ke gereja. Bertemu dengan beberapa rekan kantor (yup, kami beribadah di tempat yang sama). Pertanyaan pertama yang saya dengar bukan “Apa kabar?”, melainkan “Bukunya sudah sampai mana?”

Saya cuma cengar-cengir dan menjawab seadanya. Buku saya baru tersentuh seperempatnya.

Esok paginya, saya berangkat ke Puncak untuk liburan selama 5 hari. Tanpa buku. Tanpa ingat bahwa saya punya PR yang harus dikumpulkan pada hari pertama masuk kantor. Saya ingin menikmati liburan dan tak ingin terdistraksi oleh apa pun.

Begitu bis yang saya tumpangi –sekembalinya dari perjalanan- berhenti di terminal, saya jelalatan mencari ojek. Di benak saya hanya ada 1 kalimat: Pulang, mandi air hangat, baca buku. Buku PR, tentunya.

Ternyata, buku PR tidak se’rumit’ yang saya bayangkan. Awalnya saya ketar-ketir membandingkan tebalnya dengan sisa waktu yang saya punyai sebelum masuk kerja. Keburu nggak, ya?

Namun kekhawatiran itu tidak terjadi. Ternyata saya bisa menikmati buku itu, jauh melebihi yang saya bayangkan. Isinya bagus dan sangat cocok untuk saya, sampai saya berpikir jangan-jangan atasan saya punya indra keenam. Sekejap saja saya sudah tenggelam dalam keasyikan membaca. Saya lupa bahwa buku itu adalah PR. Yang saya tahu, saya menyukainya. Buku ini sangat bermanfaat dan akan banyak gunanya di kemudian hari.

Lalu saya mulai menulis.

Tulis, tulis, tulis. Ketik, ketik, ketik.

Saya menikmatinya, dan bertekad menjadikan PR ini bukan sekedar ‘tugas’ maupun ‘ringkasan’ belaka. Saya akan membaca ulang hasil pekerjaan saya di kemudian hari, dan saya akan menjadikannya berguna untuk kemajuan diri saya sendiri. Performa dan kinerja saya akan mengalami peningkatan drastis setelah ini, itulah yang saya pikirkan. Dan pemikiran itu menyuntikkan semangat baru bagi saya -- setiap waktu, setiap saat.

Tiba-tiba saya sadar: untuk itulah pemimpin saya memberikan buku sebagai hadiah sekaligus pekerjaan rumah.

Buku itu bukan sekadar tugas. Ringkasan itu bukan sekadar PR untuk mengisi liburan. Buku itu berisi prinsip-prinsip dan ‘bekal’ yang besar faedahnya bagi kami semua. Kenapa harus dijadikan PR? Ya iyalah. Kalau saya diberi buku semacam itu ‘hanya sambil lalu’, yang akan saya lakukan paling banter hanya membacanya sebagian, setelah itu bosan dan membiarkannya tertumpuk bersalut debu. Karena ada deadline di penghujung hari, saya jadi terpacu menyelesaikannya dan berhasil memetik manfaatnya.

Saya salah. Atasan saya tidak punya indra keenam. Yang mereka punyai adalah hati yang peduli.

:)

Hari Minggu tiba lagi. Saya kembali bertemu dengan rekan-rekan sekantor. Pertanyaan yang diajukan masih sama.

“Bukunya sudah sampai mana?”
“Sudah bab berapa?”
“Udah mulai ngeringkas, atau masih baca-baca?”

Saya menjawab sekenanya, dengan cengar-cengir yang sama. Entah kenapa, mendadak saya tak lagi menganggapnya sebagai tugas. Sisa liburan yang sedianya akan saya manfaatkan untuk facial dan potong rambut memang jadi terpakai untuk menyelesaikan dan meringkas buku, tapi rasanya saya tak keberatan. Saya sedang berinvestasi.

Ringkasan tersebut selesai tepat sehari sebelum saya kembali bekerja. Saya sangat bangga. Saya' menang' terhadap diri sendiri, walau dalam skala yang kecil.

Lagi-lagi, pertanyaan senada memenuhi udara pagi yang segar di awal Januari, ketika rekan-rekan saya saling bertukar ‘informasi’: sudah sampai bab berapa, sudah meringkas atau belum, bagaimana cara menulisnya, harus sepanjang apa, dan sebagainya.

Pimpinan saya masuk ke ruang meeting. Pertanyaan pertamanya adalah, “Bagaimana PR-nya, sudah dikerjakan atau belum?”.
Selesai rapat, semua segera berhamburan ke meja masing-masing. Berkutat dengan buku dan komputer sampai jelang makan siang, bahkan ada yang lembur sampai malam, lantaran bukunya nyaris belum tersentuh sama sekali.
Atasan saya geleng-geleng kepala. Saya sempat mendengar beliau bergumam, "Gimana sih.. itu buku kan dikasih buat dikerjain di rumah."

Saya tersenyum lebar.

Ringkasan saya, sepanjang 6 halaman dengan font 11 dan spasi 1,5, sudah tergeletak manis di atas meja.

:)

3 comments:

Dodol Surodol said...

Elu tuh kerja di man man sih? Berani-beraninya bos ngasih PR segala. Ini bukan masalah berguna atau nggak berguna, menarik atau nggak menarik. Ini masalah prinsip.

Jenny Jusuf said...

Gw kerja di Serpong. Gyahahahah :D

Dodol Surodol said...

Pantesan, Serpong sih.