Kali pertama (dan terakhir) saya bertemu dengannya adalah dalam bis antar kota jurusan Sukabumi-Jakarta.
Setelah dengan cakepnya ketinggalan travel, saya memilih untuk pulang naik bis. Ternyata angkutan umum itu penuh. Saya salah satu yang beruntung mendapatkan kursi terakhir. Beberapa penumpang terpaksa berdiri. Tukang jualan hilir-mudik di sepanjang lorong bis yang sempit, mengundang makian dari beberapa penumpang yang tersenggol atau terinjak, sementara asap rokok tidak berhenti menguar bagai kabut tebal. Belum lagi pengamen yang tidak berhenti naik-turun dengan penuh semangat. Tidak ada AC, jendela pun sulit dibuka. Lagipula, gerimis di luar membuat beberapa orang yang berdiri protes ketika kaca jendela digeser. Kena tampias, katanya.
Saya memangku tas berisi pakaian dan
postman bag, memeluknya erat-erat dengan paranoia berlebihan. Jujur, rasanya agak gimanaa gitu. Saya yang terbiasa manja dengan kenyamanan mobil travel, mendadak merasa risih.
“Jam berapa, Kak?” pertanyaan itu membuat saya menoleh.
“9 kurang 10.” jawab saya kepada gadis berpostur imut dengan rambut pendek yang duduk berselang 1 kursi dari saya.
Ia beringsut dari tempat duduknya. “Titip tas ya, Kak. Pengen pipis,” katanya polos. Saya cuma mengangguk.
Tidak lama setelah ia kembali, seorang laki-laki setengah baya masuk dan duduk di antara kami. Mengingat sempitnya bangku yang saya duduki, saya sempat berpikir untuk meletakkan tas di rak atas kursi. Tapi niat itu gagal, karena tas saya terlalu gendut untuk dijejalkan di situ. Sama sekali tidak muat.
Udara panas mulai membuat saya gerah. Teriakan-teriakan pedagang asongan dan pekatnya asap rokok membuat saya menghela nafas. Ini bakal jadi perjalanan yang tidak menyenangkan.
Pengamen selesai mendendangkan lagu. Kantong bekas permen mulai diedarkan. Saya ingat ada beberapa lembar ribuan di dompet, tapi dompet itu ada dalam postman bag (di dalam kantung ber-
retsluiting pula) yang sedang saya dekap erat-erat di celah sempit antara perut saya dan tas pakaian.
Ah, bodo deh.
Saya hanya menjawab sodoran kantung permen dengan gelengan.
Si gadis rambut pendek membungkuk-bungkuk, merogoh tas yang ditaruh di lantai bis sebagai pijakan kaki. Tidak lama, sekeping ratusan berpindah tangan.
“TAHU, TAHU, TAHU! Lima
sarebu, masih anget!!!”
“KACANG! KACANG REBUS!”
“PERMEN, TISU, ROKOK! Aqua-nya, Neng?”
Saya kembali menggeleng.
“Buat di jalan? Kalo haus?”
“Nggak, Bang.” Saya mulai menyesali keputusan untuk duduk di pinggir. Sudah beberapa kali peti asongan menyerempet kepala saya, dan entah berapa kali kaki saya terinjak pedagang-pedagang
slebor.
“Tisunya, Neng? Permen buat di jalan?”
“NGGAK.”
Saya memejamkan mata, berusaha tidur.
“SELAMAT PAGI BAPAK-IBU SEKALIAN, SENANG JUMPA DENGAN ANDA SEMUA, IZINKAN KAMI MENGHIBUR ANDA DENGAN TEMBANG-TEMBANG MERDU…”
D-A-R-N. This is going to be a long day.Saya adalah tukang tidur, terutama dalam kendaraan yang sedang bergerak. Saya bahkan biasa tidur pulas di angkot (yang menurut teman-teman saya berbahaya,
which is true, hahaha!). Di mobil, angkot, taksi, travel, ojek (!), saya selalu terlelap dengan mudahnya. Tapi hari ini adalah pengecualian.
Lagi-lagi saya menampik ketika kantung uang diedarkan, meski dompet saya ada di balik kain hijau penutup tas. Males, males, males.
Saya melirik ke samping. Si gadis berambut pendek kembali membungkuk-bungkuk, meraih ransel di bawah kaki. Kali ini dua keping ratusan berpindah tangan.
Dan itulah yang terjadi selama sisa perjalanan. Sekali waktu, saya ingat bahwa saya masih punya uang ribuan dalam saku celana dan memberikannya untuk seorang pengamen bersuara merdu. Tapi cuma itu. Si gadis berulang kali merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa keping rupiah untuk SETIAP pengamen yang naik ke bis. Semua pengamen dikasih!
Hebat, batin saya. Saya, tanpa alasan yang benar-benar spesifik, tiba-tiba merasa salut padanya. Entah kenapa. Mungkin karena keikhlasannya memberi. Mungkin karena kerelaannya mengulurkan rupiah demi rupiah, sementara ia sendiri hanya berbalut sehelai kaus hitam lusuh dan ransel merah kotor. Mungkin karena nurani saya ikut terketuk oleh tindakannya memberi tanpa terhalang kepapaan.
Tiba-tiba saya merasa sejuk, meski udara panas semakin menggigit.
Bis berhenti sejenak di halte Grogol. Lelaki yang duduk di antara saya dan si gadis beranjak turun. Dengan lega kami menggeser tubuh agar lebih leluasa duduk.
Pengamen terakhir meloncat naik: 3 orang bocah berumur sekitar 8 sampai 4 tahun yang membawa kecrekan dan amplop-amplop putih. Saya tersenyum geli. Mengamati tingkah mereka jauh lebih menghibur daripada mendengar nyanyiannya, karena suara mereka ...sumpah
fals, bo.
Tapi mereka lucu dan menggemaskan. Beda dengan anak jalanan yang sering saya jumpai, ketiga bocah ini justru asyik bercanda dan tertawa-tawa ribut.
Saya mengambil dompet dan baru mengeluarkan selembar rupiah, ketika siku saya disenggol.
Si gadis menyodorkan uang seribuan kepada saya. “Titip ya, Kak,” ucapnya sambil menunjuk amplop putih yang saya pegang.
Saya memasukkan uang ke dalam amplop dan memberikannya kepada bocah yang paling besar. Lalu saya berpaling pada si gadis yang sudah asyik memperhatikan kendaraan di luar jendela.
Penasaran, saya mengajaknya ngobrol. Ternyata ia gadis yang supel dan tidak segan-segan bertanya balik. Ia bekerja di Sukabumi dan sedang dalam perjalanan pulang ke Pandeglang, Banten.
“Sampe sananya bisa malem, Kak. Lumayan jauh,” ungkapnya. Saya manggut-manggut sambil nyengir.
Ingatan saya cukup payah. Saya memiliki kapasitas otak yang sangat terbatas untuk mengingat nama orang. Jangankan nama, wajah aja suka nggak hafal. Bahkan setelah ngobrol cukup panjang, sampai detik ini saya tidak bisa mengingat namanya.
Yang saya ingat hanya jawaban terakhir yang diberikannya sebelum kami berpisah di terminal. Didorong penasaran, saya bertanya apa pekerjaannya di Sukabumi. Dugaan saya, dia bekerja di pabrik atau toko.
Ia memandangi saya dengan polos. Rambutnya kusut dan kelelahan membayang di matanya, tapi dia tetap tersenyum.
“Saya pembantu rumah tangga, Kak.”