Pukul 20:15. Sebuah cafè di bilangan Jakarta Selatan. Jarum detik yang terus bergulir.
Lampu dipadamkan. Setiap peserta berdiri berhadapan, dengan pasangan masing-masing yang tak saling mengenal satu sama lain. Termasuk saya, yang baru mengetahui nama pasangan saya semenit yang lalu. Asing dan canggung terhadap satu sama lain.
Ketika kami diminta saling menatap, yang saya lakukan hanya tersenyum rikuh. Aneh rasanya berhadap-hadapan dengan seseorang yang tidak dikenal, dan saya samasekali tidak tahu apa yang saya harapkan dari momen-momen semacam ini, apalagi membayangkan apa yang akan terjadi. Amatiran kelas berat.
Separuh benak saya mengembara ke tanggung jawab (baca: konsekuensi) yang menanti saya setelah ‘kegilaan’ malam ini usai. Kegilaan yang menggerakkan kaki saya untuk pergi menjemput sesuatu yang bahkan tak saya ketahui dengan pasti. Satu hal yang saya harapkan, seperti yang sudah-sudah, mudah-mudahan kegilaan ini akan membawa manfaat – setidaknya untuk saya pribadi.
Lalu, datanglah momen itu. Sambil terus berhadapan, saya dan pasangan saya melakukan gerakan yang diinstruksikan oleh pengajar. Menarik nafas, menghembuskannya dengan bersuara, membagi gelombang energi kepada satu sama lain. Tanpa ekspektasi apa pun, tanpa berkata-kata sedikit pun, hanya sekadar merasakan, mengamati, membagi dan menerima.
Hanya dalam hitungan detik, saya merasakan kenyamanan dan kelegaan yang sulit dideskripsikan. Tiba-tiba, saya merasa begitu menyatu dengan jagat raya dan seluruh isinya. Seakan-akan alam semesta dan jiwa saya sedang beresonansi dengan sebuah cara yang sangat indah sekaligus tak tertampung akal (tulisan ini hanya sebentuk upaya saya untuk menjabarkan apa yang saya rasakan, yang tentunya masih jauh dari mencukupi).
Saya membuka mata, dan terperanjat melihat sosok di depan saya. Matanya terpejam, namun wajahnya seakan bersinar dengan sebentuk damai yang susah diterangkan dengan bahasa verbal.
Saya terpukau. Barangkali, dari sekian pengalaman yang saya temukan selama beberapa kali mengikuti ‘kelas hening’ ini, inilah pengalaman yang paling meninggalkan bekas, karena saya tak hanya mengalaminya seorang diri – saya membaginya dengan orang lain. Memberi dan menerima dalam setiap helaan dan hembusan nafas.
Selama proses menghayati, mengamati, memberi dan menerima itu berlangsung, tak henti-hentinya saya terpukau. Kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan apa yang saya rasakan ketika jiwa saya mereguk ‘pencerahan’ itu dengan rakus. Seperti musafir yang tersesat di Sahara, hampir mati kehausan, lalu menemukan mata air yang bukan fatamorgana.
Instruktur memberi isyarat untuk berhenti. Lampu dinyalakan. Saya dan pasangan saya kembali bertatap-tatapan, lalu pecahlah gelak tawa kami. Menit-menit berikutnya kami habiskan dengan bertukar cerita, apa saja yang kami alami dalam momen hening tadi, ketika kami saling membagi dan menerima, mengungkap apa yang kami rasakan tentang satu sama lain.
Sepasang manik di wajah pasangan saya berbinar-binar, dan kedamaian itu terus menghangatkan hati saya dengan cara yang tak saya pahami. Baru kali inilah saya membuka hati sejujurnya, setulusnya, dengan seseorang yang baru saya kenal... dan menemukan cinta di sana. Bahkan menuliskan pengalaman ini menjadi sesuatu yang menantang, karena tak pernah sebelumnya saya mencoba menjabarkan peristiwa seotentik ini melalui kalimat-kalimat baku.
Kendati amat sulit diceritakan dengan bahasa tekstual, rasanya tak berlebihan jika saya berkata momen sederhana itu telah menjelma menjadi sebuah pengalaman yang amat menakjubkan untuk saya. Ketika saya menatap seseorang yang tidak saya kenal dan menemukan kesempurnaan di sana. Ketika tangan-tangan kami saling terulur tanpa bersentuhan –memberi dan menerima apa adanya, tanpa secuil pun ekspektasi—dan saya menemukan separuh jiwa saya dalam diri si empunya tangan. Ketika saya membuka mata dan menemukan kedamaian yang tak mungkin dijabarkan dengan kosakata tingkat tinggi. Ketika saya memandang sosok di depan saya yang namanya baru saya ketahui beberapa menit lalu, dan secara ajaib mendapati refleksi diri saya di sana.
It was such a profound and magical moment.
Barangkali kalimat itulah yang paling pas untuk menggambarkan pengalaman sekian menit saya. Dan kalimat yang sama terus bergaung ketika saya membungkukkan tubuh dengan tangan terdekap di depan dada, menghaturkan terima kasih kepada sosok di depan saya. Jiwa saya menaikkan syukur atas sebentuk nikmat tak terduga yang saya temukan dalam keheningan.
Ketika masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan kami ke lantai dasar, saya masih termangu dan tercengang-cengang seperti anak kecil yang baru dibangunkan dari tidur panjang.
Dalam perjalanan pulang bersama dua sahabat saya, di tengah percakapan dan tawa yang saling terlontar, separuh pikiran saya terus mengembara, tak mau diam. Mempertanyakan sesuatu yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak ini: mungkinkah konflik, prasangka, amarah, kebencian dan segala friksi yang kita alami sebagai individu yang saling terkait satu sama lain dalam hubungan personal (entah pasangan, sahabat, anak, orangtua, dan sebagainya) dapat diminimalkan, seandainya kita bersedia meluangkan waktu dan melapangkan hati untuk duduk berhadapan, berdua, saling menatap, tanpa ekspektasi dan pencitraan apapun, demi melihat sosok yang berada di hadapan kita apa adanya? Menemukan kesempurnaan dan pantulan diri kita di sana tanpa perlu menjatuhkan penilaian apa pun? Menyingkirkan lapis demi lapis citra demi menyibak kesejatian di hadapan kita?
Mendadak, saya teringat pada kawan-kawan, para sahabat, keluarga dan orang-orang yang saya cintai. Mereka yang dengannya saya membagi hidup. Mereka yang pernah (dan sedang) bersilangan jalan dengan saya. Mereka yang telah mengisi relung-relung hati saya. Mereka yang senantiasa menjadi penerang jiwa kala hidup ini memasuki fase kelamnya. Mereka yang telah menjadi guru sekaligus teman dalam sekolah raksasa bernama Kehidupan ini.
Bila biasanya saya mengenang hal-hal baik dan lebih suka memelihara memori indah, kali ini saya membiarkan ingatan saya tergali lebih dalam; kepada friksi yang pernah timbul (dan tidak terselesaikan, karena seringkali kami memilih untuk mengesampingkan friksi lantaran merasa tak nyaman mengungkapnya terang-terangan), konflik terpendam yang belum tuntas, kesalahpahaman yang disebabkan oleh harapan yang tak terpenuhi, kekecewaan karena pencitraan yang tak sesuai dengan realitas, penghakiman yang kadang terasa begitu absurd, ego yang saling beradu, dan banyak lagi.
Malam ini, sepenuh hati saya berdoa. Semoga kesempatan itu bisa datang lagi – bagi saya dan mereka yang pernah (dan sedang) bersilangan jalan dengan saya di setapak panjang ini.
Semoga akan tiba momen dimana saya dapat duduk bersama orang-orang yang saya cintai, berhadap-hadapan berdua, menatap ke dalam mata mereka, dan menemukan separuh jiwa saya di sana. Mendapati kesempurnaan tanpa perlu berusaha jadi sempurna. Merayakan kehidupan seutuhnya dengan orang-orang yang telah mengisi hidup saya. Mereguk keindahan ketika hati kami bersua tanpa perlu bersentuhan. Menghayati kedamaian yang menyeruak ketika hati ini mampu menerima setiap orang apa adanya, dengan sepenuh cinta, tanpa pretensi, tanpa ekspektasi, tanpa sebentuk citra.
Ya, apa adanya.
*Ngemeng-ngemeng, kalimat pembuka entri ini kok mirip novel-novel keluaran ‘penerbit pabrik’ itu ya? Hihihi.
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago
4 comments:
Jen, tak terbantahkan lagi. Saya penggemarmu. Dari dulu. Tapi biasanya saya hanya lewat tanpa meningalkan jejak. Kali ini rasanya kok harus. Karena tulisan ini bagus sekali
Terima kasih sudah meninggalkan jejak, Pipit :-) Salam kenal ya..
postingnya sangat bagus sekali.
pengalaman pribadi ya mbak..
terima kasih ya postingan2nya.. sangat inspiratif buat kita2 ini :)
numpang blog walking..
salam kenal,
kelas hening yg jeni ikut itu,
kelas nya mas reza gunawan?
thanks 4 sharing
Post a Comment