Itu yang diucapkan seorang kawan kepada saya belum lama ini, ketika kami terlibat percakapan santai sambil melahap pastel, ditemani sebotol air mineral.
‘Mereka’ yang dimaksud oleh kawan saya adalah dua oknum *halah* berinisial M dan T, teman kami berdua.
Saya bengong, sesaat tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, reaksi pertama saya adalah geli, karena topik itu tidak cocok untuk dibahas dalam obrolan ringan, apalagi diucapkan dengan nada sangat serius. Saya menutupi tawa sebisanya demi tidak menyinggung si lawan bicara.
Mengubah orang? Saya?
Yaelaaah bok, salah orang kaleee.
M dan T yang disebutkan lawan bicara saya adalah salah dua dari teman-teman terbaik saya, yang selalu membuat saya merasa nyaman dan bisa menjadi diri sendiri setiap kali berkumpul dengan mereka – entah sekadar ngobrol kesana-kemari, berbincang serius, atau bercanda gila-gilaan sambil ketawa ngakak yang membuat kami merasa jadi kuntilanak dadakan.
Dengan kata lain… saya setali tiga uang dengan mereka. ;-D
“Mereka perlu berubah, Jen. Hidupnya masih kayak gitu itu...” sambung lawan bicara saya, sementara saya
Mau ngubah apaan, Neng? Situ siape? Ingin sekali saya mencetuskan itu, yang lagi-lagi saya tahan demi terjaganya perdamaian dunia.
Saya hanya tersenyum. Dan terus menjaga senyuman itu selama beberapa saat, sampai lawan bicara saya beranjak pergi.
Pesan nyentrik itu saya terima lebih dari dua kali, oleh orang yang sama. Dan setiap saat pula saya tergoda untuk nyeletuk, “Bo, elo salah orang banget kalo nyuruh gue khotbah supaya mereka bisa berubah. Lha gue sama aja kayak mereka.”
;-D
Tapi, kejadian itu lantas membuat saya berpikir.
Memangnya penting, ya, mengubah orang lain untuk menjadi seperti yang
Bukannya kebenaran itu relatif ya, dan apa yang cocok buat seseorang, belum tentu cocok untuk yang lain? Dan apa kabarnya kepribadian serta karakter manusia yang beragam dan ‘sudah dari sononya’ (lepas dari usaha orang yang bersangkutan untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu)?
Lalu, saya mencoba mengingat-ingat, apa saja yang pernah dilakukan M dan T selama kami berteman -kelakuan, tindak-tanduk, sikap, dan sebagainya- yang sampai membuat kawan saya begitu ‘bernafsu’ mengubah mereka?
Menurut pengamatan saya, tidak ada yang salah dengan mereka berdua. Mereka adalah perempuan-perempuan masa kini yang tengah sibuk meniti karir dan menjalani kehidupan lengkap dengan berbagai rutinitas dan segala warnanya, sama seperti saya dan kebanyakan dari kita. Perempuan baik-baik dan normal seratus persen, samasekali tidak ada yang salah.
Lalu, kenapa kawan saya sangat ‘ngotot’ ingin mengubah mereka?
Ternyata penyebabnya sederhana saja: menurut kawan saya yang bijaksana-arif-baik-budi-lagi-rajin-menabung, M dan T kurang santun dalam berbicara, sering melontarkan kalimat-kalimat bernada nyelekit, bercanda melampaui batas, dan memiliki ‘ketidakberesan’ dalam beberapa aspek hidup.
Mendadak, saya merasa geli. Dan lebih geli lagi ketika kami berempat (saya, kawan saya, M, dan T) benar-benar ngumpul bareng, ngobrol kesana-kemari sambil bersenda gurau.
Kenapa geli? Karena di sepanjang percakapan (yang seharusnya santai dan menyenangkan) itu, kawan saya tidak henti-hentinya berusaha mengoreksi kalimat-kalimat yang dilontarkan dengan ringan oleh M dan T, juga saya sendiri. Candaan yang sebetulnya sangat lumrah dan biasa; seperti mengomentari kebiasaan satu sama lain, tertawa-tawa sambil bertukar cerita tentang kejadian-kejadian konyol di kantor, tayangan infotainmen, sampai berita kriminal yang nggak jelas juntrungannya, dan banyak lagi.
“T mulutnya yaaa, bercandanya gitu.” (Ketika T menceritakan kelakuan kocak teman sekantornya)
“Haduh haduh, M, ngomong apa ituuu?” (Ketika M curhat tentang aktivitas di tempat kerjanya, entah apa saya lupa)
“Jenny ya, menyesatkan orang.” (Ini ketika saya sedang bercanda sambil cekikikan, topiknya lupa, tapi berani sumpah nggak ada kaitannya dengan usaha menyesatkan keyakinan atau menanamkan racun di pikiran orang).
Sepeninggalnya, saya, M dan T saling bertukar pandang, lalu geleng-geleng kepala dan tertawa kecut. Sebal, jengkel sekaligus geli.
Tidak sulit ditebak, percakapan langsung berbelok ke betapa antik, nyentrik dan ‘aneh’nya kelakuan kawan kami yang satu itu.
Atas nama kejujuran, saya mengaku bahwa saya samasekali tidak membela kawan saya. Saya bahkan ikut tersenyum ketika muncul berbagai celaan atas sikapnya yang dipandang berlebihan dan ‘tidak pada tempatnya’. Bukan karena saya tersinggung oleh teguran di atas, namun karena saya merasa kekesalan kami cukup beralasan: sikap merasa diri paling benar dan menganggap orang lain salah (serta harus berubah) itu memang menyebalkan.
Koreksi. SANGAT menyebalkan.
Deuuuh, hari giniiii... *gaabispikir*
Anyway, peristiwa kecil itu jadi mengingatkan saya pada sebuah kasus yang saya temui di blog pribadi seorang artis yang baru-baru ini mengklarifikasi berita perceraiannya. Bukan, bukan masalah perceraiannya yang menarik perhatian saya, melainkan komentar dari para pembaca blog tersebut yang jumlahnya ratusan.
Ada yang mendukung, ada yang netral-netral saja, ada yang tidak setuju, menyebutnya arogan dan egois, mempertanyakan hubungannya dengan Tuhan, membantah alasan yang dikemukakan si selebriti dengan dalil A-B-C, menentang perspektifnya, dan cukup banyak yang ‘berkhotbah’ kesana-kemari tentang Cinta, Tuhan, Hubungan dan Perpisahan dengan tulisan yang puanjang dan bisa jadi satu entri sendiri.
Lucunya, artis yang bersangkutan tampaknya tidak terlalu ambil pusing dengan pendapat orang maupun pemberitaan media yang menggembar-gemborkan perceraiannya secara hiperbola (menurut saya sih berlebihan, nggak tahu ya untuk orang lain). Yang menjadikan kasus ini menarik untuk disimak (lagi-lagi untuk saya pribadi) justru para pengunjung blog yang sibuk berkomentar ini-itu, berpanjang-panjang memprotes keputusan dari seseorang yang belum tentu mereka kenal, di blog pribadi yang samasekali bukan milik mereka.
Membaca komentar-komentar tersebut menjadi sebuah ‘hiburan’ tersendiri untuk saya. Dagelan yang membuahkan senyum kecut, karena ternyata hare gene masih banyak orang yang ‘nekat’ memaksakan persepsi, pendapat dan keyakinan kepada orang lain, bahkan yang tidak dikenal secara pribadi.
Meski komentar-komentar yang masuk dimoderasi, si empunya blog tampaknya cukup berbesar hati mempublikasikan semua pendapat dan ‘khotbah’ yang terang-terangan menyudutkan dirinya, dan sejujurnya, saya malah salut akan hal itu.
Kalau saya jadi dia, mungkin saya akan menutup comment box selamanya. Toh blog itu adalah milik saya pribadi, wadah personal yang bebas diisi apa saja sesuka saya, dengan apa yang saya anggap penting dan layak muat (syukur kalau orang lain kecipratan manfaat, kalau tidak ya sudah). Toh, saya yang bercerai. Saya yang paling tahu kondisi rumah tangga saya, saya yang paling mengerti masalah di dalamnya, saya yang berjuang mati-matian mempertahankan pernikahan dan akhirnya harus menyerah – tentunya karena alasan yang sangat signifikan... dan para komentator bijaksana ini samasekali tidak mengenal saya secara pribadi untuk bisa mengetahui dengan objektif duduk perkara sebenarnya. Who are you to judge?
Itu kalau saya jadi dia. *wink*
Lalu, ada lagi kasus yang lumayan bikin ‘bengong’, yakni ketika sahabat saya memutuskan untuk keluar dari sebuah komunitas beberapa tahun silam karena ia diterima bekerja di luar pulau. Ketika ia mengambil keputusan itu (yang notabene murni karena pekerjaan, bukan karena konflik atau apapun yang negatif), semua orang beramai-ramai menghakimi dan menjauhinya. Bahkan ada yang tega berkata, “Bakal jadi apa kamu kalau keluar dari sini?”
Hal ini sempat membuat sahabat saya stres, tapi (untungnya) ia sadar bahwa hidup harus terus berlanjut dan ia tetap konsisten di jalur yang dipilihnya. Sekitar 3 tahun kemudian, ketika ia berhasil ‘membuktikan diri’ dengan meraih jabatan manajer di kantornya, barulah orang-orang di komunitas lamanya ‘mengakui’ pencapaian sahabat saya dengan kalimat, “Yah... mungkin memang jatahnya dia di situ, mungkin memang tempatnya.”
HALAH.
Bo, kenapa nggak dari dulu ngomong gituuuu? Kenapa tidak sejak awal kalimat itu diucapkan, sehingga tidak perlu membuat sahabat saya ‘berdarahdarah’ dan stres berat? Begitu sulitkah mempercayai seseorang untuk mengambil sebuah keputusan pribadi (yang by the way, tidak merugikan orang lain samasekali) dan sekadar mendukungnya tanpa menjatuhkan penghakiman?
Atau contoh kasus lain, dimana seorang teman (sebut saja namanya E) dikucilkan oleh lingkungannya karena memilih untuk menikah dengan seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang di lingkungan tersebut. Selama mereka berpacaran, berkali-kali saya melihat E stres karena berbagai perlakuan yang memojokkannya, sampai berat badannya menyusut dan wajah gantengnya *ehem* jadi tampak lebih tua. Pada hari pernikahan E, tidak ada satu pun sahabat dari komunitasnya yang hadir.
Drama.
Hidup ini memang panggung drama. Penulis favorit sekaligus guru saya pernah berkata, “Dalam perjalanan ini, kita punya peran-peran untuk dimainkan. Di sinilah pentingnya kesadaran, keelingan. Lakon apa pun yang kita pilih, lakukan dengan sepenuh-penuhnya hati. Jalankan dengan kesadaran sebisa-bisanya.”
Di pentas raksasa ini, setiap orang berusaha memainkan lakon masing-masing dengan sebaik mungkin. Dan itu bukan hal yang gampang. Lalu, jika memainkan peran sendiri pun tidak mudah, mengapa harus berpusing-pusing mengurusi peran orang lain? Mengapa harus ribet dengan dialog, pembawaan dan lakon orang lain, sementara mengurus lakon sendiri saja belum tentu becus?
Atau, barangkali, kita melakukannya demi secercah kepastian yang
Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan kebenaran sejati? Dan siapakah yang sedang berbicara di balik setiap komentar dan penilaian yang kita jatuhkan pada lakon yang diperankan orang lain di pentas ini? Kejujuran murni dari hati yang senantiasa terbuka lebar, atau ego yang berlomba memenangkan diri?
Saya bukan pengkhotbah dan tak ingin menjadi guru bagi siapapun, namun sebagai seorang teman, izinkan saya mengajak kita semua meluangkan waktu untuk sesaat merenung. Sejenak, dalam keheningan, mari menengok ke dalam diri sendiri untuk bercermin pada sosok paling jujur yang kita temui di sana, dan cobalah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas serealistis mungkin.
Bila kita tak dapat menjawabnya dengan sempurna, mungkin ini saatnya memalingkan perhatian dari hal-hal yang bukan urusan kita dan mulai mengurusi diri masing-masing. Memainkan lakon kita sebaik-baiknya, dengan kesadaran dan sepenuh hati, sambil terus membuka mata batin. Mencari kebenaran sejati yang otentik dan tidak menjejalkan kebenaran personal yang kita miliki ke dalam wadah yang samasekali bukan milik kita.
Ya, ini juga berlaku untuk saya. :-)
*Terinspirasi dari entri ini dan percakapan jelang tengah malam dengan ibu yang sama, difasilitasi oleh promo-telepon-gratis dari sebuah provider seluler yang mati tiap 3 menit sekali. ;-D
5 comments:
setuju bgts! Ho5x
btw ga takut kebaca ama temennya kak?
Mungkin memang lebih baik kebaca, Nov. Hehehe ;-P
tentang artis yg baru bercerai itu, gue sih cukup ninggal satu komen aja di sana, abis itu ya udah. dia bukan tuhan yang selalu benar, bukan, jadi sah-sah aja kita mempertanyakan apa yang dianggapnya benar. tapi gue gak butuh jawaban darinya, siapa sih dia.
sebenarnya kita semua sama 'kan. termasuk artis itu. pecinta drama. secara hidup itu sawang sinawang. ngomentarin rumput tetangga yang lebih hijau, rasanya udah jadi kebiasaan.
jadi si A berkomentar tentang si B, dan si C mengomentari A, dan D mengomentari A dan B dan C, dan begitulah.
tapi apa berkomentar itu identik dengan 'mengubah'? gue rasa masih ada kesenjangan di antara keduanya.
maaf, terlalu bernafsu kesannya nih comment... :)
Wah Jen, seru juga tuh tapi kamu benar juga, ngga usah telalu benar lah hehe, namun kadang-kadang kita harus menyadari juga, orang yang terlalu idealis emang rada nyebelin! tetapi bila dia dapat melihat hal itu, pada saatnya orang tsb pasti berubah, kitapun harus beri kesempatan padanya. C U.
jd pengen pastel n balik jd diri sendiri, Jen .. .
Post a Comment