Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk hengkang sejenak dari kos-kosan dan pulang ke rumah. Di sana, saya menyempatkan diri membongkar koleksi novel yang sudah lama tidak tersentuh. Ini salah satu kegiatan favorit saya setiap pulang ke rumah: membaca tumpukan novel yang tersimpan di kamar, karena saya terlalu malas membawa buku-buku tersebut ke kos-kosan.
Saya memilih sebuah novel dan membaca sambil
leyeh-leyeh di tempat tidur. Belum sampai setengahnya, saya berhenti. Saya merasa ada yang ‘aneh’ dengan novel tersebut, dan perasaan itu cukup mengganjal. Tapi saya tidak tahu apa.
Sejurus kemudian, baru saya sadar. Novel itu memuat begitu banyak pesan dan nilai moral. Saking ‘padat’nya, tidak jarang dalam sebuah adegan diselipkan beberapa paragraf berisi petuah bijak yang tidak ada hubungannya dengan cerita. Si penulis juga menyisipkan konsep idealnya di sana-sini, yang meski terbungkus rapi dalam kemasan fiksi, tetap saja (bagi saya) terkesan dipaksakan. Sejujurnya, saya merasa digurui. Dan itu cukup mengganggu, meski akhirnya saya tetap menamatkannya.
Itu kasus pertama.
Kasus kedua, beberapa waktu lalu saya membaca sebuah diskusi kecil-kecilan di Facebook yang membahas seorang penulis yang karya-karyanya pernah dijuluki ‘sastra selangkangan’ lantaran banyak memuat isu seks dan perempuan. Di forum mini tersebut, beberapa orang mengkritiknya dengan tajam. Salah satu pemicunya (barangkali) karena selain blak-blakan mengedepankan isu seputar ranjang dalam novelnya, penulis ini juga kerap tampil dengan minuman keras dalam acara-acara publik yang menggunakan jasanya.
Membaca kritik-kritik pedas itu, saya termenung. Lambat laun, saya merasa menemukan benang merah antara kedua peristiwa di atas dengan novel-novel saya yang tak kunjung selesai. FYI, beberapa hari sebelum menulis artikel ini, saya membongkar
harddisk dan menemukan sepuluh
draft (!). Sebagian sudah nganggur bertahun-tahun lamanya, sebagian sudah memiliki
outline yang jelas dan lengkap, sebagian lagi sudah jadi, hanya membutuhkan revisi, dan tetap tidak selesai.
Berhari-hari saya merenung dan bertanya-tanya, sampai
eneg sendiri. Akhirnya saya mendapati bahwa salah satu faktor yang menyebabkan saya tidak kunjung menyelesaikan novel saya adalah, karena setiap kali saya menulis, di kepala saya selalu muncul berbagai rambu yang mengingatkan saya akan banyaknya batasan yang harus ‘dipatuhi’ dan ‘tidak boleh dilanggar’ demi menciptakan suatu karya yang tidak hanya bermutu, namun
juga mengandung pesan moral yang baik dan membangun bangsa. *Halah*
Setelah sekian tahun berkutat dengan
draft yang tidak selesai, saya baru menyadari ada begitu banyak batasan yang menghalangi saya untuk menulis apa adanya, seutuh-utuhnya. Dan keterbatasan itu mendorong saya ke titik jenuh, bahkan sampai pada satu titik dimana saya berpikir untuk mengaborsi semua naskah fiksi saya dan memusatkan diri pada tulisan non-fiksi. Saya ‘mendengar’ begitu banyak suara di pikiran yang mengingatkan saya akan kewajiban dan tanggung jawab saya kepada pembaca. Ada semacam ‘kesadaran palsu’ yang akhirnya membuat saya lebih mendengarkan apa kata orang dan merasa khawatir berlebihan untuk ‘melanggar’ rambu-rambu tertentu yang berlaku di masyarakat.
Pertanyaan-pertanyaan berikutnya membombardir otak saya seperti senapan mesin: kenapa juga saya harus merasa bertanggung jawab kepada pembaca? Apakah saya sanggup mengubah pemikiran orang dengan tulisan-tulisan saya? Kalaupun ya, berapa persen tingkat keberhasilannya? Kalaupun ya, apakah benar orang tersebut berubah karena tulisan saya
thok, dan bukan karena faktor-faktor lain seperti –katakanlah— memang dia sedang ingin berubah, habis dinasehati oleh orangtua, dikompori teman, dan sebagainya. Kalaupun tidak, apakah saya harus merasa bersalah jika tulisan saya tidak memberi dampak positif bagi orang lain? Apakah saya harus merasa berdosa jika tulisan saya dianggap tidak bermanfaat? Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu benar? Apa itu salah? Mengapa sastra selangkangan dianggap nista sedangkan tulisan berpetuah bijak dipuji-puji? (RETORIS,
by the way. ^_^)
Dan mengapa saya begitu sulit merampungkan naskah fiksi, sementara saya telah menyelesaikan ratusan artikel di blog ini? Apakah perbedaannya hanya terletak di ‘ngeblog nggak perlu pakai plot’ atau ‘ngeblog nggak butuh banyak imajinasi’? Mungkin iya. Tapi, setelah saya meluangkan waktu untuk ‘mengamati ke dalam’, saya mendapati, yang membuat saya bertahan dengan rumah maya ini dan bisa terus menulis adalah, karena di blog saya mampu jujur kepada diri sendiri.
Di blog, saya bisa menuangkan apa saja yang saya mau. Saya bisa
nyolot sepuas hati dan tinggal melirik kepada orang yang mencela sambil bilang, “Blog, blog gue.” Saya menulis untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya, saya tidak terlalu peduli pada mereka yang tidak menyukai tulisan saya, pun tidak terlalu ambil pusing ketika ada yang mengecam tulisan saya ‘sesat’ lantaran saya menceritakan berbagai pengalaman spiritual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut agama tertentu. Karena, sekali lagi, blog, blog gue. ;-)
Beberapa bulan lalu, saya berbincang dengan seorang sahabat via telepon. Ia sempat melontarkan pertanyaan yang membuat saya merenung.
“Apa lo mau seterusnya nulis tentang meditasi kayak gini?”
Waktu itu, bulan Maret tepatnya, saya mendedikasikan lima entri untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya selama mengikuti
retreat di Bali. Selama sebulan penuh, isi blog saya berkisar di topik meditasi, pengalaman spiritual, dan
insight yang saya dapatkan dalam
retreat.Saya tertawa, “Nggak, lah. Ini lagi
special edition aja. Blog gue bukan tentang meditasi..."
Saya terdiam sejenak.
Apa yang sebenarnya ingin saya tulis di blog? Tidak sedikit yang berkomentar bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi. Tapi, apa memang itu tujuan utama saya? Untuk menginspirasi? Untuk menyebarkan pesan-pesan kebaikan? Untuk menanamkan nilai-nilai moral?
Jawaban saya berikutnya adalah, “Gue cuma nulis apa yang ingin gue tulis. Apa pun yang lagi nyangkut di pikiran dan hati. Nggak masalah apakah itu tentang pengalaman spiritual, meditasi, pemikiran, curhat, hal-hal remeh, bahkan kalau perlu, omelan-omelan gue.”
Dan saya ingat betul, kalimat terakhir yang saya ucapkan adalah, “Gue nulis bukan buat siapa-siapa, dan bukan untuk menginspirasi atau menanamkan nilai ke siapa pun. Gue nulis buat gue. Kalau ada yang merasa tulisan gue bermanfaat, syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa.”
Lantas, apa yang membedakan ngeblog jujur dengan menulis (fiksi) jujur? Kenapa saya bisa membongkar-bongkar isi perut di blog, sedangkan di buku tidak? Kenapa saya mampu curhat di blog, namun sukar menulis apa adanya di buku? Kenapa saya sanggup
ngebacot sesukanya di blog, namun kesulitan untuk menuangkan kejujuran dalam manuskrip fiksi saya, padahal kedua-duanya punya akses tak terbatas untuk dibaca orang? Saya tidak bisa mengontrol siapa yang mengunjungi blog saya, sama seperti saya tidak bisa mengontrol siapa yang membaca buku saya. Tidak banyak bedanya, sungguh. Tapi…
kenapa?
Pertanyaan ini kembali membuat saya pusing. Dan lagi-lagi butuh waktu yang tidak sedikit untuk ‘menyelam’ dan menemukan jawabannya.
Jawabannya ternyata sederhana saja: untuk mengakses blog saya, para pengunjung tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Untuk membeli buku saya, diperlukan puluhan ribu rupiah. Dan itu pula yang membuat saya begitu
concern dengan
draft-draft saya. Saya merasa bertanggungjawab kepada orang-orang yang (nantinya akan) mengeluarkan uang untuk membeli buku saya. Saya merasa berkewajiban untuk menulis sesuatu yang bermanfaat, agar setidaknya, ada nilai positif yang bisa dinikmati oleh pembaca. Syukur-syukur bisa membuat mereka punya kehidupan yang lebih baik. Blog? Hanya dibutuhkan lima ribu perak untuk mendapatkan akses internet berkecepatan tinggi di warnet. Itu pun sudah bonus Aqua gratis, dan bisa sambil buka Facebook, Friendster, Yahoo!, dan Google.
;-)
Perlahan-lahan, sebuah kesadaran baru muncul di benak saya. Selama ini, selama bertahun-tahun, saya telah bersikap tidak adil. Kepada diri saya sendiri. Kepada Jenny yang menanti-nanti untuk bisa bersuara dengan bebas. Kepada berbagai ide kreatif yang terus-menerus diaborsi dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjenguk dunia. Kepada dorongan hati yang begitu sering saya tekan setiap kali muncul ke permukaan.
Seseorang pernah berkata, “Sebuah pilihan akan menjadi benar apabila pilihan itu sesuai dengan isi hati
dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”
Sebuah pernyataan yang barangkali sangat layak diaminkan dan dijadikan
quote of the day. Tidak bagi saya. Saya memilih untuk berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena, pada kenyataannya, apa yang saya lakukan, apa yang saya pilih, apa yang saya putuskan, tidak pernah betul-betul bisa mengubah apa pun dalam hidup seseorang – entah itu mendatangkan manfaat, atau menghilangkan manfaat.
Jika ada enam juta orang di muka Bumi, maka ada enam juta ukuran kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya, juga ada enam juta ukuran keburukan dan kesengsaraan, yang menjadikan semuanya amat relatif, tergantung dari kondisi hati dan persepsi tiap-tiap orang.
Kita bisa bilang, “Saya bahagia karena dia melakukan ini untuk saya,” namun sesungguhnya kita tidak berbahagia karena perlakuan dari orang yang bersangkutan. Kita bisa mengatakan “Saya berubah karena dia,” namun sesungguhnya kita tidak pernah berubah karena orang lain. Dan kita bisa menempelkan label ‘baik-buruk-benar-salah’ pada ribuan hal di dunia, dan pada saat yang sama, tidak pernah ada yang betul-betul ‘baik’ atau ‘buruk’, ‘benar’ atau salah’. Semua hanya dibatasi oleh lapisan persepsi dan konsep ideal yang kita bawa.
Itu sebabnya, saya berhenti sebelum kata ‘dan’. Karena saya tidak percaya bahwa pilihan yang benar HARUS mengandung azas-sosial-manfaat-bagi-banyak-orang. Mungkin kedengarannya egois, namun bagi saya, pilihan yang saya ambil menjadi benar karena itulah yang cocok untuk saya saat ini. Yang terbaik. Yang paling pas. Sejauh mana kecocokan tersebut, hanya saya yang tahu, sama halnya dengan enam juta orang lain di dunia – hanya diri mereka yang paling tahu. Bukan saya.
Kenapa saya harus berpikir bahwa apa yang saya tulis bermanfaat bagi pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang terbaik bagi mereka? Kenapa saya harus berpikir bahwa tulisan saya punya pengaruh signifikan atas hidup pembaca, sedangkan saya tidak tahu apa yang bisa membuat mereka bahagia? Kenapa saya harus bertanggungjawab atas buah pikiran saya, sedangkan saya tidak pernah tahu isi pikiran pembaca?
Kejujuran kadang memiliki harga, dan harga itu tidak murah.
But for once in my life, I want to be honest. To myself. Saya ingin bebas dari ‘kewajiban’ bertanggungjawab terhadap hasil persepsi orang lain, dan saya tidak ingin merasa bersalah hanya karena ‘gagal’ melunasi ‘tanggung jawab moral’ saya. Saya ingin merasa puas karena saya menulis apa yang saya inginkan. Menulis demi Jenny, bukan demi Anu, Inu, atau Uni.
Dan itulah yang terpenting buat saya, setidaknya untuk saat ini. Menulis bukan untuk siapa-siapa. Menulis untuk saya sendiri. Cuma itu.
Saya ingin memberi kesempatan pada Jenny Jusuf. Saya ingin membiarkannya bersuara. Saya ingin mengijinkannya menyampaikan apa pun yang ia mau katakan. Dalam wadah apa pun. Fiksi atau non-fiksi. Buku atau blog. Apa saja.
Saya, hanya ingin jujur.
------
Gambar dari sxc.hu.