Itulah yang saya cetuskan ketika sedang duduk sambil ngobrol santai dengan Mbak ini di sebuah restoran Jepang. Waktu itu, kami sedang membahas Fan Page dan komentar-komentar di dalamnya.
Sebagai salah satu administrator Fan Page, saya membuka account tersebut minimal dua kali sehari. Lebih sering dari minum obat. Jika dibandingkan dengan total anggota yang sudah mencapai belasan ribu, jumlah komentar yang masuk ke Fan Page setiap hari memang tidak sampai satu persennya, namun bukan jumlah komentator juga yang membuat saya bengong jaya, melainkan isi komentarnya.
Tidak sedikit penggemar yang bisa dimasukkan dalam kategori hardcore dari caranya memuji-muji, keinginan menggebu untuk bertemu, apresiasi pribadi terhadap Mbak ini, dan sebagainya. Sedikit banyak, membaca komentar-komentar mereka membuat saya merenung dan berpikir, dulu saya kayak gitu nggak, ya? Bukan bermaksud membanding-bandingkan, hanya saja, saya pernah merasakan kekaguman yang serupa, jauh sebelum berkenalan dengannya.
Saya jatuh cinta dengan karya-karya beliau sejak Filosofi Kopi terbit. Kekaguman itu semakin bertambah ketika saya menemukan blog-nya, meski saya tidak paham isinya. Yang ada di pikiran saya waktu itu hanya, “Keren bener bisa merangkai kata kayak gini.” Jadilah saya penggemar setia yang tidak pernah melewatkan satu pun entrinya dan sesekali memberanikan diri berkomentar… supaya eksis di memorinya. Siapa tahu, dengan rajin berkomentar, lama kelamaan ia akan hafal nama saya. Gunanya? Nggak ada, sih – namanya juga ngefans, harap maklum. :-)
Layaknya fans pada umumnya, saya sering sekali berkhayal, seandainya saja saya bisa bertemu langsung dengannya. Di luar kota pun akan saya bela-belain, demi bertatap muka dengan idola. Sayangnya, saat itu ia sedang vakum meluncurkan buku, sehingga acara-acara seperti bedah buku –yang memungkinkan penggemar berjumpa langsung dengan penulis—tidak ada sama sekali. Atau, kalaupun ada, informasinya tidak sampai ke telinga saya.
Ketika akhirnya kami bertemu langsung —di rumahnya pula— jangan ditanya bagaimana rasanya. Badan gemetar, telapak tangan berkeringat dingin, dan saya tidak bisa duduk rileks. Malam itu saya bergulingan di kasur tanpa bisa tidur, dan esok paginya terbangun dengan pertanyaan, yang kemarin itu mimpi bukan ya? Saya memeriksa ponsel untuk memastikan nomor beliau tersimpan di sana, sebagai bukti bahwa saya tidak bermimpi.
Beberapa hari kemudian, melampaui mimpi ketiban duren, kejatuhan bulan dan segala perlambang rezeki lainnya, saya mendapat kabar bahwa beliau berniat merekrut saya menjadi asisten pribadi. Lagi-lagi saya tidak bisa tidur saking senangnya. Saya menunda sekian hari untuk mengabarkannya kepada keluarga, for the sake of… jaga-jaga aja, siapa tahu kali ini beneran cuma mimpi. Ternyata saya tidak bermimpi, dan keluarga saya menyambut kabar bahagia tersebut dengan kendurian tujuh hari tujuh malam.
*You don’t seriously believe that, do you?*
Teman-teman saya yang mengetahui perekrutan tersebut mengulang pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu: “Gimana caranya lo bisa kerja sama dia?”, “Ketemu di mana?”, “Sejak kapan kenalnya?” dan sebagainya, dengan nada kagum plus penasaran. Dan saya selalu memberi jawaban yang sama, diawali dengan kalimat, “Ceritanya, gue kan ngefans banget…”.
Yes, I considered myself a very lucky girl.
Sepuluh bulan sudah berlalu sejak perjumpaan pertama saya dengannya. Hari itu, dalam obrolan remeh mengenai Fan Page, ingatan demi ingatan kembali berkilasan di benak saya. Hanya saja, kali ini, saya merasa ada yang ‘kurang’.
Saya masih menggemari karya-karya beliau, namun kekaguman terhadap penulis sekaligus penyanyi favorit saya itu lenyap sudah. Saya mencoba menggali ingatan, sejak kapan, kok bisa, dan sebagainya, tapi saya tidak berhasil menemukan jawaban.
Saya pun menduga-duga: apakah karena kami terlalu sering bertemu? Perjumpaan fisik memang tidak setiap hari, bahkan kadang tidak seminggu sekali, tapi komunikasi melalui e-mail dan SMS kami lakukan setiap hari. Apakah itu yang membuat saya ‘mati rasa’?
Apakah percikan itu hilang karena akses yang ada memungkinkan saya untuk mengenal beliau dengan lebih mendalam, dan saya menemukan begitu banyak hal biasa dari sosok yang pernah saya anggap luar biasa?
Apakah kedekatan bisa memapas rasa kagum? Apakah percikan itu hilang karena saya mengetahui seorang Dewi Lestari ternyata begini dan begitu, atau tidak begini dan tidak begitu?
Apakah kekaguman itu hilang karena saya lebih sering
Entahlah. Mungkin iya. Yang pasti, percikan itu lenyap entah kemana.
Di satu sisi, saya bersyukur. Somehow, saya justru merasa lebih jernih dalam berelasi dan bekerja ketika saya tidak lagi menganggap beliau sebagai sosok panutan. Pun ketika saya berada seruangan dengannya dimana ‘peran’ yang saya jalankan bukan lagi sebagai bawahan, melainkan ‘sesama’ – contohnya ketika kami sama-sama menjadi peserta meditasi mingguan.
Dulu, saya selalu ragu bersuara dalam sesi-sesi diskusi, karena saya berpikir, “Duh, kalo gue bilang gini, ntar apa pendapatnya, ya? Salah nggak, ya? Konyol nggak, ya?”.
Dulu, saya sering sekali sungkan menyampaikan pendapat, apalagi yang berseberangan dengan pendapatnya, karena saya berpikir, “Siapalah gue? Yang ada juga dia yang bener, gue yang salah” – bukan karena beliau atasan saya, namun karena saya merasa kecil bila dibandingkan dengan idola saya.
Dulu, saya selalu berhati-hati melontarkan lelucon, bukan karena takut menyinggung dirinya, melainkan karena saya tidak mau dianggap aneh olehnya.
Sekarang? Bablas rek. Jangankan beda pendapat, berselisih aja sudah lebih dari sekali. :-)
Lepas dari itu semua, saya bersyukur bahwa pudarnya percikan itu justru membuat saya bisa melihat sosoknya dengan lebih natural. Seiring dengan lunturnya citra demi citra yang terkonstruksi di benak saya tentang ‘Dee sebagai penulis favorit’ dan ‘Dewi Lestari sebagai penyanyi idola’, saya menemukan banyak pelajaran, baik dari keberadaannya sebagai orang biasa maupun dari relasi kami sebagai atasan dan bawahan. Terkadang, saya melihat beliau bukan lagi sebagai atasan belaka, melainkan teman yang bisa diajak bercanda konyol dan bertukar cerita-cerita remeh. Ketika citra ‘idola-penggemar’ mulai tersingkir, yang tersisa adalah sebentuk relasi yang terasa nyata dan apa adanya. Bisa menyenangkan, bisa menjengkelkan, bisa membuat tertawa terpingkal-pingkal, bisa juga membuat sebal.
*Sebal? Emang pernah? Ya pernah, lah. Namanya juga berhubungan dengan sesama manusia.*
Seiring berjalannya waktu, saya mulai mampu mengintip berbagai ruang di hati dan menelusuri lebih jauh: mengapa saya merasa begitu membutuhkan kehadiran seseorang yang lebih tinggi, lebih hebat dan lebih segala-galanya untuk dijadikan panutan, daripada melihat ke dalam diri dan mempercayai kemampuan saya sendiri? Mengapa saya selalu merasa perlu ‘mengikuti’ seseorang daripada berjalan dengan tuntunan kaki sendiri? Mengapa saya merasa ada yang kurang jika saya tidak punya figur idola yang bisa saya puja-puji?
Everyone needs someone to look up to, kata Tante Whitney. Kalimat itu telah saya jadikan pembelaan, namun saya merasa ada yang kurang pas dengan justifikasi parsial itu. Benarkah saya selalu membutuhkan sosok panutan sebagai penerang jalan dalam hidup ini?
*HALAH*
Saya belajar banyak.
Tidak ada yang salah dengan menjadikan seseorang sebagai idola, apalagi jika yang bersangkutan memang punya seribu satu kualifikasi untuk menjunjung predikat tersebut. Tidak ada yang salah juga dengan mengagumi orang lain dan bertekad ingin menjadi seperti dia. Hanya saja, dalam proses tersebut, terkadang kita lupa, bahwa citra yang terbentuk di pikiran kita seringkali tidak sama dengan realita yang sesungguhnya.
Yang sering terjadi adalah, ketika kita mengidolakan seseorang, benak kita dengan kreatifnya menyusun begitu banyak persepsi –bahkan definisi— tentang sosok yang kita kagumi, berdasarkan informasi sepotong-sepotong yang kita kumpulkan dari mana-mana – majalah, televisi, cerita orang, pertemuan langsung yang hanya sekian menit, dan sebagainya. Faktanya, jangankan yang mengidolakan, orang yang tidak mengidolakan saja bisa punya begitu banyak persepsi yang belum tentu sejalan dengan kenyataan.
Kejernihan yang terdistorsi ini lantas membuat kita memiliki penilaian yang kurang akurat. Tidak heran kita begitu mudah ‘disesatkan’. Tidak heran kita begitu mudah menjatuhkan penghakiman atas orang yang tidak kita kenal secara pribadi, hanya dengan menontoninya di televisi atau membaca beritanya di tabloid. Tidak heran kita begitu mudah terpancing dengan berbagai pemberitaan dan isu seputar kehidupan si idola, yang sebenarnya bukan urusan kita. Yang lebih ekstrim lagi, tidak jarang kita merasa ‘memiliki hak’ atas idola yang bersangkutan, karena kita telah ‘menginvestasikan’ begitu banyak perhatian dan rasa kagum atas figurnya. Ingat kasus Aa’ Gym? :-)
Tidak ada yang salah juga dengan berharap bisa bertemu idola, berdekatan dengannya, menjalin pertemanan, bahkan, kalau bisa, menyebutnya sahabat. Trust me, been there done that. Hanya saja, harapan-harapan ini dapat menyedot begitu banyak energi tanpa kita sadari, sekaligus menciptakan beragam ilusi dan mimpi yang tak kalah dahsyat dari Indonesia menang Piala Dunia. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan itu semua, dan tidak ada yang salah dengan meyakini Persija bisa mengalahkan Manchester United, namun sungguhkah kita ingin hidup dalam ilusi?
Ada kalanya pula, kita mendapatkan rasa ‘aman’ dengan ‘berlindung’ di balik sosok yang dipuja, dan menganggap perspektif kita tentang dirinya adalah gambaran yang sudah pasti benar. Tanpa sadar, kita menabung begitu banyak ekspektasi dalam diri seseorang yang tidak kita kenal secara langsung. Orang-orang yang hanya kita lihat di televisi, kita dengar suaranya, kita baca tulisannya. Kita menerjemahkan kekaguman tersebut dengan pemahaman kita sendiri, ke dalam bahasa kita sendiri, dan menganggapnya sah. Tidak heran kita begitu mudah kecewa ketika mendapati sosok idola kita ternyata tidak sesuai dengan gambaran ideal itu, atau memunculkan reaksi berlebihan ketika sang idola berbuat sesuatu yang sebetulnya amat wajar dan biasa dilakukan semua orang.
Atau, pernah dengar yang seperti ini: bertengkar dengan orang lain karena tidak terima idola kita dijelek-jelekkan? Kekeuh jumekeuh berdebat sampai mulut berbusa demi membela idola? Menjadikan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan idola sebagai patokan standar tingkah laku dan perkataan – bahkan menjadikannya prinsip hidup? Menghabiskan tabungan untuk memburu idola ke ujung dunia, lalu pingsan ketika melihatnya? Yang terakhir ini dialami oleh teman dari kenalan saya, yang bela-belain nonton konser Michael Jackson di luar negeri dan langsung pingsan begitu melihat MJ muncul (bahkan nggak sempat nonton!) . :-D
Itulah yang saya sebut fan(s)atisme.
Nggak bisa tidur setelah bertemu idola di mal, memaksa anak berfoto dengan idola padahal anaknya nggak mau, ngebet ingin berjumpa sampai kebawa mimpi tiga hari tiga malam, dan memuja-muji idola sesering mungkin dimana pun ada kesempatan juga berpotensi bagus untuk berkembang menjadi fan(s)atisme. Hehehe.
I’ve lost the sparks. Dan itu pula yang saya katakan dengan terus terang. Setelah mengucapkannya, saya menatapnya dengan deg-degan sambil membatin, kelar deh kerjaan gue abis ini.
Otak saya membantah, lo nggak bilang juga dia nggak tahu. Toh, nggak penting juga. Lo jujur atau nggak, nggak bakal ngaruh. Saya tidak tahu apakah saya melakukan hal yang benar, namun entah bagaimana, saya merasa dia berhak tahu.
Ternyata, reaksinya di luar dugaan.
“Baguslah,” ucapnya ringan, kemudian melanjutkan makan dengan santai.
Saya nyengir sendiri, lalu mereguk ocha yang mulai dingin. Belakangan saya tahu, ia sependapat bahwa tiadanya percikan justru menyehatkan relasi yang kami jalani, dengan segala dinamikanya.
:-)
Ada yang bilang, percikan adalah sesuatu yang harus terus dijaga, dipelihara, bahkan dikobarkan, karena ‘api’ membuat kita ‘menyala’ – hidup, bertenaga dan penuh semangat. Memiliki idola memang bisa memberi berbagai manfaat positif, seperti memacu kita untuk meraih impian, berusaha memiliki kehidupan yang lebih baik, dan banyak lagi. Namun, bagi saya, yang terpenting bukanlah berupaya mempertahankan percikan tersebut, karena seperti air, nafas, dan segala bentuk energi lain, api merupakan energi yang punya siklus masuk dan keluar. Bisa surut dan membuncah, bisa redup dan berkobar.
Mungkin –hanya mungkin— ada baiknya percikan itu sesekali padam. Barangkali, ada baiknya api itu tak senantiasa berpijar. Tanpa ‘pendar-pendar api’, kita akan mampu melihat dengan jelas sosok yang berada di baliknya, yang selama ini tertutup oleh sinar menyilaukan. Ketika kita dapat melihatnya, barangkali kita juga bisa memperoleh kesempatan untuk mengintip lebih jauh ke dalam kamar hati dan menyadari beragam isi yang tersimpan di sana.
*Dengan mempublikasikan tulisan ini, resmi sudah saya melanggar satu lagi pakem tak tertulis dalam dunia kerja: haram hukumnya ngomongin bos di internet! Semoga bulan depan masih bisa gajian... *crossing fingers* :-D
**Mudah-mudahan nggak ada pendukung Persija yang baca tulisan ini.
***Gambar dipinjam dari gettyimages.com.
16 comments:
Eh, Neng, bahasan tentang Aa Gym itu bikin gw deja vu :) Ternyata benar, gw pernah nulis sesuatu yang mirip di sesi pemancingan [keributan] tertaut ;-)
Eniweiii.... don't worry, the sparks will return when your idol is longer around :) Seperti the old sparks yang muncul karena harapan, akan ada sparks yang muncul karena kenangan :) Saat ini seolah2 loe kehilangan sparks, karena sebuah kenangan sedang dalam proses :)
Word verification: ovanc ;)
ihihihi, masi inget pondok indah mol kan mbak jen.. pas itu sy juga deg2an bgt, gemeteran, dll hohhoho
*jd malu xp*
gak tau deh kalo ketemu lagi tar gimana wkkk
i like the last 2 paragraphs..
btw, "...melanggar satu lagi.."
emang sebelumnya pernah juga yah? jd pengen baca ;pp
Baca komen Maya, gw keinget OSPEK. Pas ngalaminnya rasanya ilfil, sebel dan segala macem, cuma begitu lewat, bahkan sampe sekarang pun, masih aja suka diomongin. :D
heu, kepencet publish sebelum selesai.
kasus kayak gini ga cuma berlaku di soal idola2 doang, tapi segala sesuatu yang jadi idaman, ya sekolah, ya kerjaan, perjalanan hardcore nan rock n roll etc. Pas belum tercapai, sibuk beromantisme, begitu ngadepin kenyataan ilfil/sebel. Tapi, begitu lewat, pijar-pijarnya muncul lagi, dalam bentuk lain. Kenangan.
Gw yakin lu gitu juga kalo udah lewat. OSPEK aja, yang (sebenernya) ga dipengen bisa jadi kenangan, apalagi yang lo pengen. :)
hehe, jadi ingat crita Dee...
awakmu numpa' ojek kluntung-kluntung sowan ke rumah de'e en matur langsung kalo pengen kerja. kalo ada alat pengukur kaget, saat itu mungkin tembus rekor, hihi
awakmu langka bin nekat;)
nekater javanicus tenin;)
salut deh!
en lebih salut lagi untuk tulisan yang jujur ini, phei fu ni!
Maya: iye, gue pas nulis ini juga kepikir, kayaknya elo pernah mosting tentang si Aa' ;-)
Lista: hai dear, iya saya masih inget kok, hehehe..
Okke: iya ya? tapi kok gue ga pernah kangen ospek ya? masih inget beneur tuh segala 'penyiksaan'nya, kayaknya gue pendendam, ahahah
Chindy: hyahahaha. masih ketawa2 baca komen ini, padahal udah di-DP via telepon ;-D
jenny : bok, kenangan ma kangen beda. :)
ah, mirip sama pacaran kan. waktu prtama kenal, rasanya dia adalah makhluk terindah. tapi lama-lama, walopun ketauan dia suka ngupil atau farting sembarang tempat pun kita tetap bersamanya dan suka nyariin kalo lama ga ktemu. hehe..
all i'm saying is.. percikan itu tdk benar-benar lenyap, hanya berubah bentuk. sperti energi, ia tdk pernah hilang, hanya berubah wujud.
btw, jadi kepikiran, kalo ada orang yg ngefans sama kita tanpa alasan apapun, maka ada kemungkinan ada orang yg membenci kita tanpa alasan apapun jg.
that's why i give up trying to be an actor (selain alasan karena sinetron indonesia stripping, jadinya ga ada waktu buat menghapal dialog sih)
ahahaha..
verifikasi: goingly, bintang film hongkong tahun 90-an
Ezra: BOK! Gue sampe mikir, siapa bintang film yang lu maksud, huahahah.
BTW, kata gue sih gak mungkin ngefans tanpa alasan, pasti ada. Sama kayak naksir orang, gak mungkin tanpa alasan kan? ;-)
kenapa juga harus kaget?
toh bosmu juga manusia biasa :D
hm... kalau soal nge-fan atau mengagumi seseorang sampai lebih dari biasa sih saya ga pernah lho... eh, paling sama Mba Clara Ng saja saya pernah sedikit mengkategorikan diri saya sebagai fans nya :D
kebayang juga sih rasanya, mungkin dengan adanya perasaan respek yang berlebih bakal bikin apa yang dikerjakan dan pendapat yang dikeluarkan juga sedikit banyak jadi agak subjektif mungkin ya?
eh eh salam buat mbak dee... smoga kau gajian :D
ntar... diinget-inget lagi...
pernah ga yah ngefans sama artis sampe kemimpi-mimpi...
kalo mimpi misua... termasuk ngefans ga siy apalagi LDR kayak gini?... atau por*****... hihihi...
Ahahaha.. makanya gua salut dhe ama para seleb yang bisa menemukan pasangan yang bisa melihat dirinya di balik embel2 selebritis-nya :)
Btw, Jen, psssttt.. bos dikau cool yaa, ngga marah dipublikasikan gini, ahahaha :D
Just to confirm: bulan depan masih gajian kok :)
~ D ~
emang apapun itu yang penting jangan terlalu berlebihan lah...
ngefans itu ok ok aja, asal jangan jadi fanatik. ya kan... :D
titip salam buat mbak dewi, tanyain dong kenapa itu serian supernova nya gak keluar2 lagi lanjutannya... :P
*sedang menanti peng-impor-an buku dan cd rectoverso dari indonesia akhir bulan ini* :D
Hahaha….. Saya tertawa setelah selesai membaca tulisan ini. Untungnya, tidak ada ketukan di pintu kamar pasca tawa itu. Saya sempat khawatir, orang rumah yang sedang menonton berita hasil penghitungan suara PEMILU presiden di ruang tengah mendengarnya kemudian datang untuk memastikan bahwa saya belum gila.
Membaca kata demi kata dalam ‘Fan(s)atisme’ membuat saya merasa seperti menelusuri lembar jawaban sebuah soal Fisika yang tadi siang saya kerjakan. Merasa sanggup mengerjakannya namun baru tersempurnakan setelah melihat lembar jawaban di bawah soal tersebut. Beberapa kali, ungkapan seperti ‘ah, ini dia’, ‘iya yahhh’ dan ‘mmmmhhhhh’ muncul di kepala saya. Akhirnya, ekspresi ‘hahaha’ muncul. Bukan karena ada yang lucu, tapi itulah reaksi spontan yang sanggup tubuh saya lakukan.
Sejam yang lalu, saya YMan dengan seorang ‘Dee’ dalam fisik yang lain. Akhir Mei lalu kami saling mengenal lewat situs facebook setelah saya meng-addnya menjadi teman saya. Sebulan pertama, hampir tiap hari kami selalu mengobrol dengan seru. Posisi saya sebagai penikmat salah satu novelnya membuat percakapan menjadi sangat menarik. Keingintahuan seputar proses kreatif pembuatan novel itu menjadi topik chat yang seolah tak pernah selesai. Takdir (sementara katakanlah begitu) kemudian membawa kami menjadi sahabat (label terbaik yang bisa saya berikan saat ini). Saya pun akhirnya mengenalnya lebih dalam. Saya tak lagi berada pada posisi sebagai sekedar penikmat novelnya tapi kini ‘upgraded’ menjadi ‘sahabat’ yang bisa berekspresi sebebasnya di hadapan dia.
Topik ‘kurang penting’ bahkan terkesan dipaksakan memenuhi obrolan kami tadi. Saya sempat geregetan, ada apa ini? Kenapa jadi ‘garing’ kayak gini? Akhirnya, ‘kegaringan’ itu berlanjut hingga dia pamit untuk sign out. Jari saya tiba-tiba saja tergerak untuk membuka blog Dee (dalam fisik yang sebenarnya). Sekedar memastikan bahwa komentar saya tadi malam sudah di-approve, hehe. Begitu melihat nama saya tercantum di situ, saya pun kembali ke halaman depan blog Dee. Iseng, saya menggeser kursor agak ke bawah dan sampai di bagian The Fellow Bloggers. Sesuatu mendorong jari saya mengklik ikon keempat dari atas di daftar itu. Masuklah saya ke blog Jenny Jusuf dan bertemu dengan ‘Fan(s)atisme’ yang akhirnya membuat saya hanya sanggup ber-’hahaha’.
Tak ada kata-kata lagi. Semuanya sudah ada di ‘Fan(s)atisme’. Senyum mengembang di bibir saya. Jawabannya sudah ketemu. (Semoga) tak akan ada lagi ‘garing’ sesudah ini.
Terima kasih mbak Jenny sudah menulis ‘Fan(s)atisme’ untuk saya. Sepertinya, mbak Jenny sudah tahu bahwa sebulan setelah mem-posting tulisan ini akan ada seseorang yang berjodoh dengannya (hahaha…. Kali ini dengan maksud yang berbeda).
Salam,
Rampa Maega
Post a Comment