Thursday, June 11, 2009

A Ship That Never Sinks

Hari ini, saya masuk ke teras rumah mayanya, dan tersenyum membaca guratan terbarunya. Perlahan, airmata saya mengembang. Dan saya tertegun sendiri. Sejak kapan kebahagiaannya menjadi kebahagiaan saya, dan kesedihannya kesedihan saya? Sejak kapan tawanya menjelma menjadi tawa saya, dan lukanya luka saya?

Saya tak pernah tahu. Kami tak pernah sadar. Namun cinta telah memungkinkan segalanya. Dalam persahabatan yang terus tumbuh, jarak hati itu tak lagi ada, meski kami terpisah ruang dan waktu.

Tahun ini adalah tahun kesepuluh kami, dua sosok yang amat berbeda; yang seringkali membuat kami tertawa sendiri karena rentang yang terlampau mencolok justru mampu mengawetkan persahabatan selama satu dekade. Persahabatan yang tak terduga, setelah sekian banyak pertengkaran dan adu mulut yang seolah tiada habisnya. Persahabatan yang dulu kerap dipandang sebelah mata, karena kami tak ubahnya hitam dan putih digandengkan jadi satu.

Perbedaan itu nyata dalam segala hal: usia, warna kulit, selera, karakter, pembawaan. Satu-satunya kesamaan di antara kami barangkali hanya apresiasi terhadap keberadaan satu sama lain; sebuah ikrar tak tersurat yang tersimpan di hati masing-masing untuk saling menyayangi dan menerima apa adanya, meski kejujuran kadang bisa jadi hal paling menyakitkan di dunia.

Dia orang pertama yang hadir ketika Ibu saya meninggal bertahun-tahun silam. Dia menemani saya hampir setiap hari, menyisihkan waktu sepulang kantor dan menunda jam istirahat agar saya punya tempat menuangkan segala sedih dan lelah.

Dia satu-satunya orang yang berkata, “Apapun keputusan yang lo buat, gue bakal tetap jadi sahabat lo,” ketika kawan-kawan saya yang lain ‘gugur’ satu persatu karena tak bisa menerima pilihan saya yang berseberangan dengan keyakinan mereka.

Dia satu dari sedikit sahabat yang saya percayai untuk mendengar segala rahasia yang tak berani saya bagi kepada dunia. Bukan karena petuah sakti maupun wejangan berharganya, namun semata karena ia pendengar yang baik. Dan saya tahu, kepercayaan saya terjaga aman dalam tangannya, begitu pula sebaliknya.

Dia orang pertama yang menerima SMS saya dalam begitu banyak hal, mulai dari tebakan tak penting, lelucon garing, celoteh absurd, diskusi serius, sampai curhat patah hati. Meski saya tak selalu menjawab telepon-teleponnya, nomornya selalu berada di urutan teratas daftar prioritas –berjajar dengan keluarga saya— untuk dihubungi kembali segera setelah saya punya waktu.

Dan dia satu dari sangat sedikit orang yang betul-betul tahu luar dan dalamnya seorang Jenny Jusuf. Bukan karena persahabatan yang terjalin selama satu dekade, melainkan karena keterbukaan untuk saling menerima apa adanya telah memberi ruang yang cukup bagi terciptanya kebebasan dan rasa nyaman.

Kami tak perlu tahu segalanya tentang satu sama lain. Ranah privat itu tak perlu dipangkas. Saling menyayangi tidak lantas menjadi alasan untuk menghakimi dan menjajah area paling pribadi yang sama-sama kami miliki. Pada akhirnya, rasa sayang itu tak lagi mengenal kata 'karena', karena tak ada syarat di sana. Dari sanalah persahabatan ini tumbuh. Dari dermaga itulah perahu mungil ini meluncur.

Kini, saat angka itu genap sepuluh, begitu banyak hal telah kami lalui bersama. Hidup membawa kami menempuh jalur masing-masing, dan sebelas digit nomor telepon adalah satu-satunya penghubung kami sekarang. Kendati terbatas, jalur itu tak pernah tertutup. Kendati terpisah, senyum dan cerita itu tak pernah habis untuk dibagi. Dengan cinta, Jakarta-Batam tak terlampau jauh untuk diseberangi.

Persahabatan adalah perahu yang tak pernah tenggelam. Saya tak tahu apakah itu benar. Tapi satu hal yang saya tahu pasti, dari berjuta perahu bernama persahabatan yang ada di dunia, milik kami masih tetap mengapung hingga hari ini. Dan saya mensyukuri setiap detiknya.

Congratulations, Ine. To you. To us. I am so proud.


*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

7 comments:

Poppus said...

j, gw langsung kunjungin link yang lu kasih, gw merindinnggg!!!

natazya said...

baca juga yang punya mbak ine kemarin... what a tough girl ;)

saya juga punya satu sahabat yang udah 9 tahun sahabatan dan sejak 6 tahunan yang lalu jarang sekali ketemu

tapi yang namanya persahabatan memang ga perlu buat selalu bertatapan kan ;)

ine said...

I'm so proud of you.

Karena lo Tak tergantikan.
Karena lo apa adanya
Karena lo selalu menjadi diri lo sendiri.

Gak perduli apapun kata mereka. Lo tetap yang terbaik.

Love u much, dear

mel@ said...

Skr klo dipikir2..tmn dkt emg byk..tp sahabat cm sdkt..yg bs ngerti luar dlm diri kita tanpa kita perlu byk omong..dan sebaliknya..

okke! said...

congrats for both of you. ;-)

Biar konteksnya bukan evolusi biologi, tapi gw mo nyolong slogannya Herbert Spencer ah : survival of the fittest.

Yang cocok, yang bertahan.

Anonymous said...

coolz..
buat merinding baca na!!
Tapi sempat sedih krn baru-baru ini kehilangan sumone yang uda dianggap sahabat tanpa alasan yang jelas..
huff..

Kalo nyolong kata-kata mbak Okee
" Memang hanya yang cocok, yang bertahan .. "

congrats aja buat sahabat satu dekade!
that's really a treasure.. >,<

Indah said...

Selamat yaa buat kalian berdua :)

Mm.. kalo gua nganggap sih yang "berbeda" belon tentu ngga bisa cocok and yang "sama" belon tentu pasti akur, ahahaha :D

Tergantung sama and beda-nya dalam hal apa, hehehe :p