Dalam entri ini, saya sengaja tidak berkomentar tentang Luna *ehmm, mungkin iya, tapi sedikiiit banget*. Sejujurnya, saya tidak kaget dengan reaksi yang dimunculkannya. Bagi saya, kemarahan Luna sama sekali tidak berlebihan, kendati dilontarkan dengan ceroboh. Bukan ceroboh dalam arti kurang bijak dalam
Sebelum entri ini semakin mirip dengan artikel-artikel gosip, mari saya jelaskan bahwa tujuan saya menulis entri ini adalah untuk membagi beberapa peristiwa yang pernah saya alami saat berurusan secara langsung dengan media gosip. Artikel ini pertama kali saya tulis pada akhir tahun 2008. Saat itu, saya memutuskan untuk tidak menyelesaikannya, karena semakin ditulis, kemarahan saya semakin menumpuk. Demi kesehatan jiwa, saya memutuskan untuk menyimpan draft setengah jadi itu dan mempublikasikan tulisan ini sebagai gantinya. Bagaimanapun, insiden Luna dengan infotainment kembali menyulut niat saya untuk membagi cerita ini dengan Anda, yang (barangkali) selama ini terpaksa puas dengan suguhan satu arah dari media gosip.
Kenapa ‘satu arah’? Karena apa yang Anda lihat, dengar dan baca selama ini adalah hasil ramuan media gosip—pencampuran antara fakta, fiksi, skenario, dan narasi yang dirajut dengan apik membentuk ‘informasi faktual’. Sebagai penonton, kita hanya melihat hasil liputan yang sudah jadi. Yang tertangkap oleh indera penglihatan dan pendengaran kita hanya apa yang tampak di layar televisi dan tabloid. Kita tidak pernah betul-betul tahu apa yang sesungguhnya terjadi ketika kamera berhenti merekam, ketika halaman terakhir selesai kita baca, ketika proses penyuntingan berlangsung.
Saya bercerita bukan dari sudut pandang seorang selebriti. Bukan juga dari sudut pandang media. Saya hanya orang biasa yang—kebetulan—bekerja dengan figur publik dan saya tidak memihak siapa-siapa. Semoga apa yang saya ceritakan di sini bisa memberikan perspektif segar untuk kita semua agar lebih bijak dalam menyikapi pemberitaan media gosip.
1.
Pertengahan November 2008, tidak lama setelah Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan di Australia, mereka kembali ke Jakarta dan beristirahat di rumah selama beberapa hari. Saya belum bertemu dengan mereka berdua dan komunikasi sepenuhnya kami lakukan melalui telepon dan SMS. Kami belum sempat bertukar cerita mengenai pernikahan yang baru saja berlangsung, dan sangat sedikit yang saya ketahui tentang pernikahan tersebut.
Malam itu, ponsel saya tak henti-hentinya berdering. Pukul sepuluh malam, seorang pekerja infotainment dari program ‘S’ meminta saya untuk bersedia diwawancarai saat itu juga.
“Posisi Mbak di mana sekarang? Kami sudah siap kamera dan peralatan, Mbak tinggal sebut Mbak ada di mana.” Ketika saya menjelaskan bahwa saya tidak bisa menyanggupi permintaan tersebut, mereka mendesak, “Kami butuh sekarang karena liputannya mau ditayangkan besok pagi. Nggak bisa ditunda lagi. Mbak cuma perlu mengonfirmasi apakah betul Reza dan Dewi sudah menikah.”
Saya menjawab, “Kalau hanya butuh konfirmasi, saya bisa berikan sekarang tanpa perlu pengambilan gambar. Lagipula ini sudah malam.”
Namun mereka bersikeras mengambil gambar saya. Saya pun menolak dan memutuskan sambungan telepon. Ponsel saya kembali berdering tanpa henti. Akhirnya saya menegaskan bahwa saya HANYA bersedia memberi konfirmasi via telepon, tanpa pengambilan gambar. Pertanyaan yang akan saya jawab pun hanya pertanyaan mengenai benar atau tidaknya Reza dan Dewi melangsungkan pernikahan. Sejurus kemudian, sambungan telepon kembali terputus—tanpa ada kepastian dari pihak infotainment.
Beberapa menit setelahnya, ponsel saya kembali berdering, namun yang berbicara di seberang sana adalah orang yang berbeda. Suaranya halus, tutur katanya sopan dan terjaga; sementara orang yang sebelumnya berbicara dengan nada mendesak dan memaksa. Mendadak, saya merasa ada yang tidak beres, namun tidak tahu apa.
Pertanyaan pertama yang diajukan adalah benar atau tidaknya Reza dan Dewi menikah pada tanggal 11 November. Saya mengiyakan pertanyaan itu.
Pertanyaan kedua adalah apakah pernikahan tersebut memang berlangsung di Australia. Saya kembali mengiyakan, namun entah bagaimana, saya merasa wawancara ini direkam tanpa seizin saya, dan pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan berhenti sampai sebatas ‘memberi konfirmasi’. Saya pun berpura-pura kehilangan sinyal dan memutuskan sambungan telepon.
Esok paginya, wawancara tersebut ditayangkan di ‘S’. Wawancara itu memang direkam tanpa seizin saya. Nama saya tertulis besar-besar, dan karena mereka tidak berhasil mendapatkan gambar saya, yang tampak di layar hanya sebuah pesawat telepon yang memperdengarkan wawancara tersebut.
Setelah dua pertanyaan pertama (berikut jawabannya) diperdengarkan, pertanyaan ketiga, keempat dan seterusnya pun bermunculan. Saya terperanjat karena orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan saya. Suara tersebut bukan suara saya. Saya tidak tahu siapa yang meneruskan wawancara tersebut. ‘Jenny’ menjelaskan bahwa pernikahan tersebut berlangsung di Sydney, di rumah paman Reza, dan seterusnya. Saya menyimak semuanya sambil terbengong-bengong, karena saya sendiri TIDAK TAHU di kota mana Dewi dan Reza menikah, di rumah siapa, dan dihadiri siapa.
2.
Peristiwa berikutnya terjadi ketika Dewi menyanyi di sebuah stasiun televisi dalam program yang ditayangkan secara live. Dewi dijadwalkan untuk menyanyikan dua lagu. Setelah lagu pertama selesai dan jeda iklan tiba, kami kembali ke backstage karena Dewi perlu merapikan rambutnya. Di tengah jalan, kami ditemui beberapa orang berseragam hitam yang meminta kesempatan untuk wawancara. Di belakang mereka, seorang juru kamera mengambil gambar kami tanpa izin.
Sambil tersenyum Reza dan Dewi menolak permintaan tersebut. Ketika mereka mendesak, Reza menjelaskan bahwa mereka tidak bersedia diwawancarai dan Dewi harus merapikan riasan wajah dan rambutnya di backstage.
Ketika kami kembali ke panggung, si juru kamera membuntuti kami. Ia mengambil gambar dari jarak yang sangat dekat. Kemana pun Reza dan Dewi melangkah, kamera ikut bergerak. Reza mengulurkan selembar tisu. Dewi menghapus keringatnya. Kami berbincang-bincang. Kami bergurau. Kami tertawa. Semuanya diabadikan dari jarak sangat dekat, kurang dari tigapuluh sentimeter.
Setelah beberapa menit, Reza yang merasa terganggu meminta juru kamera itu mengambil gambar dari jarak yang lebih jauh. Ia pun melipir dan duduk bersama rekan-rekannya, sekitar empat meter dari tempat kami berdiri.
Ketika Dewi selesai menyanyi dan kembali ke backstage, sejumlah pekerja infotainment merubung dan mencoba menerobos masuk ke backstage—area yang seharusnya bersih dari media. Manajer Dewi dan beberapa staff dari stasiun televisi yang bersangkutan menghalau mereka, namun satu orang berhasil masuk dan menempatkan kameranya tepat di depan ruangan kecil tempat kami menunggu. Setiap kali kami memandang melalui celah pintu, terlihat mikrofon dan kamera yang bergeming dengan lensa terbuka. Reza pun menelepon supir untuk menjemput kami agar kami bisa langsung naik ke mobil sekeluarnya dari backstage.
Ketika kami keluar dari backstage, sejumlah pekerja infotainment—lengkap dengan mikrofon dan kamera masing-masing—langsung memburu kami. Mereka menjajari langkah kami seraya berusaha menempatkan mikrofon sedekat mungkin dengan kami. Seorang wartawan bahkan menempelkan mikrofonnya di punggung Dewi. Seorang lagi menempatkan mikrofonnya di lengan kiri saya. Saya melirik cepat ke atas, sebuah mikrofon tepat berada di atas kepala saya. Seorang juru kamera mengambil gambar sambil berjalan mundur di depan Reza.
Sambil menjajari kami, mereka berteriak-teriak. Sebagian mengajukan pertanyaan, sebagian minta agar kami berhenti, sebagian lagi marah karena kami terus berjalan secepat mungkin. Saya berusaha memusatkan perhatian pada punggung Dewi yang berada tepat di depan saya. Tidak mudah. Seseorang nekat menyelinap di celah sempit antara saya dan Dewi. Saya mendorongnya dan menggunakan lengan kiri saya sebagai tameng untuk menciptakan jarak antara mereka, Dewi, dan diri saya sendiri.
Ketika akhirnya kami tiba di mobil, mereka merangsek maju. Reza mencoba menghindar dari seorang juru kamera yang berdiri terlalu dekat dan menutupi lensanya dengan telapak tangan. Ia membuka pintu agar Dewi bisa masuk lebih dulu ke dalam mobil. Saya berusaha membuka pintu depan dan gagal, karena seorang juru kamera bertubuh besar menghalangi pintu dengan badannya sambil terus menyorotkan kamera.
“Permisi, Mas,” tegur saya sedikit gugup. Teriakan-teriakan dari belakang kami semakin keras dan bernada tidak sabar. Sang juru kamera bergeming. Saya menarik handel lebih keras. Pintu terbuka sedikit. Saya merangsek maju dan akhirnya ia mengalah—bergerak ke pinggir sambil tetap menyorotkan kamera, mencoba mengambil gambar Reza dan Dewi yang sudah duduk di kursi belakang.
Kami telah aman berada dalam mobil, namun seruan-seruan di luar makin menjadi. Beberapa dari mereka tampak gusar. Seorang juru kamera berteriak, “WOY! GAK BISA BEGITU DONG! LU KAN ARTIS!” Seolah tak cukup, seruan itu diulangnya berkali-kali. “EH, LU ITU ARTIS! LU ITU ARTIS!!” Demikian, terus-menerus. Sebagai aksi penutup, ia mengakhirinya dengan memukul mobil dengan kamera yang dibawanya.
Mobil melaju meninggalkan tempat itu. Saya mengira mereka akan berhenti ketika mobil mulai berjalan, namun teriakan para pekerja infotainment itu masih terdengar hingga belasan meter jauhnya.
Esoknya, infotainment beramai-ramai mempublikasikan peristiwa itu dengan berbagai julukan yang dialamatkan kepada Reza dan Dewi. Arogan, tidak etis, angkuh, kasar, temperamental, dan sebagainya. Sebuah situs media gosip bahkan menyatakan tindakan Reza menutup lensa kamera sebagai kemarahan tanpa sebab, dan terbenturnya kamera di mobil adalah perbuatan Reza—bukan ulah juru kamera yang dengan sengaja memukulkannya.
3.
Beberapa minggu berselang, Dewi menyanyi di stasiun televisi lain. Tidak lama setelah kami memasuki ruang tunggu artis, wartawan infotainment dan juru kamera menghampiri kami dan minta diberikan waktu untuk wawancara tentang album dan buku terbaru Dewi (Rectoverso). Dewi pun menyetujui dengan catatan pertanyaan yang diajukan HANYA seputar album dan buku—bukan kehidupan pribadi.
Setelah selesai dirias, Dewi keluar dari ruang tunggu untuk diwawancara. Wawancara berlangsung kurang-lebih duapuluh menit. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar tentang proses penciptaan lagu, penulisan cerpen, serta proses produksi Rectoverso secara keseluruhan. Memasuki lima menit terakhir, sang wartawan bertanya, “Dari 11 lagu yang ada di album ini, adakah yang Dewi buat untuk orang terdekat?”
Dengan halus, wawancara pun bergulir memasuki ranah personal Dewi. Kehidupan setelah pernikahan, rencana ke depan, dan si kecil Keenan pun turut dikulik. Esoknya, wawancara tersebut ditayangkan di stasiun televisi yang sama. Namun wawancara mengenai proses pembuatan album dan buku Dewi tidak ditayangkan. Bagian yang ditayangkan dimulai dari pertanyaan yang saya tuliskan di atas, serta pertanyaan-pertanyaan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau album terbaru Dewi. Wawancara asli sepanjang duapuluh menit disunat menjadi lima menit dengan topik yang berkebalikan dengan apa yang telah disepakati Dewi dan pekerja infotainment sebelumnya.
***
Semua yang saya ceritakan di atas tidak dapat Anda temukan di layar kaca maupun di tabloid yang Anda baca. Hanya orang-orang yang terlibat dan berada langsung di lokasi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi—apa yang berada di balik pemberitaan media gosip. Sayangnya, tidak seperti gosip dan skandal yang memperoleh tempat begitu luas di ranah hiburan tanah air, kenyataan yang faktual seringkali tidak mendapat kesempatan untuk bersuara. Itu sebabnya saya memutuskan untuk membaginya di sini.
Saat ini, saya tidak lagi menaruh perhatian secara khusus pada pemberitaan media gosip. Sesekali saya menyempatkan diri untuk menonton, namun saya tidak pernah menanggapinya dengan serius. Bukan karena saya tidak peduli dengan apa yang sedang ramai dibicarakan orang, bukan pula karena saya tidak mau tahu apa yang sedang berlangsung di ranah hiburan, namun karena saya paham apa yang sesungguhnya terjadi di balik pemberitaan penuh sensasi itu—secuil fakta yang dipelintir di sana-sini dan diramu sedemikian rupa dengan banyak bumbu.
Jika ada pelajaran yang saya tarik dari pengalaman di atas, maka itu adalah bagaimana menyikapi begitu banyak pilihan yang disodorkan di tengah kebebasan yang kita miliki. Pada akhirnya, keputusan memang berada di tangan kita. Sejauh remote control yang kita genggam, dan sejauh akal sehat yang bersemayam di balik tempurung kepala ini.
-----
*Gambar dipinjam dari http://gettyimages.com