Kemarin siang, dalam perjalanan ke toilet dari ruang seminar di sebuah mall, saya melihat pemandangan mengerikan.
Okay, hiperbola. Bukan pemandangan seram ala Hantu Jeruk Purut atau Suster Ngesot, melainkan (hanya) lomba fashion show anak-anak.
Tapi baju-bajunya dong booooo…
Kebanyakan mengenakan busana model bikini (yeppp, hanya menutupi dada dan bagian bawahnya paling panjang sepaha) berwarna mencolok (merang terang, kuning cerah, hijau ngejreng) dengan pengikat berupa spaghetti strap di punggung. Make-up mereka pun abnormal untuk ukuran anak usia 8-12 tahun, karena tidak jauh beda dari yang sering saya lihat di wajah-wajah penerima tamu pada resepsi pernikahan (kenapa, ya, penerima tamu selalu dirias secara berlebihan?) dengan warna yang lebih mendekati putih-pink (hasil sapuan foundation, bedak dan blush on) ketimbang warna kulit normal layaknya.
Seakan itu semua belum cukup menyebabkan halusinasi penglihatan, model-model cilik ini bergaya sensual dan meliuk-liukkan tubuh di atas panggung, dalam kilatan blitz kamera para orangtua yang bangga. Sejujurnya, saya malah gerah.
Saya tidak anti dengan lomba peragaan busana, kegiatan modeling, pemilihan Miss Universe, atau apapun. Ketika heboh-heboh RUU APP saya nggak ikutan ribut, pun saat Mbak Inul dicerca orang sejagat raya gara-gara goyang ngebornya yang bombastis. Saya tidak peduli dengan semua itu, dan selalu berprinsip ada banyak hal di dunia ini yang lebih penting untuk diributkan dan dipusingkan.
Tapi, ketika melihat anak-anak kecil itu berjalan di panggung dengan gaya sensual yang over-PeDe, mendadak saya jengah.
Mereka terlalu polos untuk bergaya setua itu. Kostum yang melekat di tubuh mereka seharusnya pakaian yang cocok dipakai bermain tanpa perlu takut kotor, bukannya spaghetti strap bikini dengan aksen bulu-bulu yang memamerkan tubuh dan membuat masuk angin (plus terlihat seperti -maaf- pudel). Alas kaki mereka seharusnya sandal/sepatu yang nyaman, bukannya boots setinggi lutut berwarna metalik. Wajah-wajah itu seharusnya tertawa riang, ceria apa adanya tanpa senyum genit yang dibuat-buat. Mata-mata itu seharusnya bersinar gembira sewajarnya seorang bocah, bukannya menatapi penampilan saingan-saingan mereka dengan cemas campur sirik.
Siapapun yang menang dalam lomba itu akan membawa pulang piala simbol kebanggaan yang semu maknanya. Kemenangan itu hanya diukur dari seberapa piawai si bocah berjalan meliuk di panggung dan seberapa heboh busana yang dikenakannya; tidak lebih.
Sisanya, yang kalah, mungkin akan menangis dan menghabiskan beberapa jam (atau hari) untuk berpikir, kok dia yang menang? Kenapa bukan aku? Bajuku kurang dimananya? Gayaku kurang apanya?
Atau lebih buruk, aku nggak cantik, ya? Makanya nggak menang.
Okay, ini memang imajinasi saya semata. Tapi sepertinya tidak terlalu muluk untuk jadi realita, kan?
Dan kalau memang itu yang terjadi, konsep apakah yang (selanjutnya) akan terbentuk di otak anak-anak ini tentang ‘kriteria’ sebuah penerimaan, kesuksesan dan standar cantik masa kini?
Apa yang terjadi 20 tahun dari sekarang, kalau hare gene bocah-bocah sekecil ini sudah ‘dicekoki’ paham bahwa apa yang tampak secara lahiriah-lah yang menentukan ‘kelayakan’ mereka untuk diterima dan dianggap berhasil?
Apa yang akan terbentuk?
Generasi yang hedonis, konsumtif, insecure dan self-centered dengan kadar humanisme yang rendah? Semoga tidak.
Kalaupun iya, jangan salahkan mereka. Mereka mewarisinya dari kita, sadar atau tidak.
5 Destinasi Wisata Otentik Bali
2 months ago
5 comments:
setuju !!
ya itu hasilnya... anak kecil jaman sekarang udah bisa bilang : "lu gak selevel sama saya". Soe Hok Gie (alm) aja bilang, "saya selevel dengan tukang becak, dalam kodrat saya sebagai manusia".
Mungkin besarnya, tuh anak-anak jadi Cinta Laura yang baru :D
Keep writing ^^, saya suka sama tulisan-tulisanmu. Lugas dan jelas (Kompas kali :p)
tulisannya keren mbakk..
aq baru belajar2 ngeblock nuiy mbak, follow me back yah..
makasih.
:))
http://justnewblogs.blogspot.com/2010/12/kecantikan.html .
:).
ah, entah kenapa saya langsung keinget Diva (karakter dlm Supernova-nya Dee). Mbak punya perspektif yang serupa :)
Post a Comment