kawanlama: Untuk ukuran cewek, loe udah ada umur lah.
kawanlama: Cewek umur 25 – 27 biasanya udah merit.
jennyjusuf: ? Emangnya kenapa?
kawanlama: Karena kalo nggak, nanti punya anaknya susah.
Kalimat terakhir itu membuat saya cengar-cengir di depan monitor persis orang sinting. Kalimat yang diucapkan seorang teman
FYI, saya menghindar bukan karena nggak bisa menjawab… tapi ya karena malas aja.
Saya membuka diri seluas-luasnya untuk makhluk bernama Bina Hubungan. Tapi (saat ini), saya masih memilih untuk tutup mata dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Pernikahan.
Alasannya sederhana saja: Saya belum siap.
Walau secara medis kantung rahim saya sudah matang dan siap dibuahi untuk menghasilkan calon penerus bangsa, sumpah, hal terakhir yang ada di pikiran saya (sekali lagi, untuk saat ini) adalah pernikahan. Nanti dulu, Jendral. Itu masih jauh sekali.
Kenapa?
Karena bagi saya, pernikahan membutuhkan tingkat kematangan dan kedewasaan tertentu dari masing-masing pihak yang terlibat (baca: calon suami dan calon istri). Saya termasuk spesies yang selalu percaya bahwa kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dari umur belaka. Karenanya, tolong jangan kutuk saya bila saya tidak setuju dengan dalil ‘menikah-karena-desakan-usia’ atau ‘kantong-rahim-tuh-punya-expired-date-makanya-buruan-kawin’. Saya adalah pendukung sejati konsep ‘menikah-karena-sudah-siap’.
Saya tidak membantah fakta bahwa usia 25-27 tahun adalah usia reproduksi paling ideal bagi perempuan (lagian, emangnya bisa gitu, membantah fakta medis? *wink*). Tapi, kalaupun di usia 35 tahun saya belum juga
kawanlama: Gua rasa pendidikan yang kita tempuh udah cukup membantu dalam proses kematangan dan kedewasaan.
jennyjusuf: Pendidikan gak menentukan kematangan. How a person live his/her life, that does.
kawanlama: Tapi seiring dengan waktu, pasti kita terus berkembang.
jennyjusuf: That’s right. Makanya sekarang gue mengizinkan WAKTU untuk mendidik gue. Gue berkembang dalam WAKTU. Makanya gue gak merasa perlu cepet-cepet married hanya karena desakan umur.
kawanlama: Tapi gua tetep sama pendirian gua (cewek umur 25 – 27).
kawanlama: Untuk cewek, maksimal 30 lah. Udah korting tuh.
@$#@$#^&...!!!
KORTIIIIING??
GIGI LO KERITING!! LO KIRA NAWAR BAYEM DI PASAAAR???
Halah.
Jujur, saya sempat tergoda untuk bilang, “Dasar COWOK!” dengan gaya nyolot-hiperbolis. Tapi, mendadak sebuah pemikiran mampir di kepala saya.
Ini kali, ya, yang menyebabkan banyak perempuan lajang berusaha
Karena 30 angka kiamat. Karena 30 identik dengan stempel perawan tua. Karena 30 adalah …well, let’s say… saat untuk menggelar mid-life sale?
Saya lantas teringat pada seorang teman yang ngotot ingin menikah sebelum usia 30 tahun. Ketika 'deadline' itu belum tercapai, ia mengundur tenggat waktu sampai 30 pas. Semacam tawar-menawar yang sering terdengar di antara pembeli dan penjual di ITC Mangga Dua:
“Tigapuluh, Neng.”
“Ah, mahal banget! Limabelas aja!”
“Nggak dapet, Neng. Modalnya aja gak segitu.”
“Ya udah, pas-nya aja deh berapa…”
:))
Ketika deadline tidak terpenuhi menjelang ulang tahun ke-30, teman saya mengundur tenggat waktunya lagi: maksimal sampai 31 tahun. Kali ini, karena tidak sudi kebablasan untuk kesekian kali, ia melakukan usaha preventif dengan mengumpulkan brosur wedding organizer, mengoleksi foto gaun pengantin dan mencari informasi tentang kisaran harga wedding package.
Masalahnya cuma satu: dia belum punya pacar, bow. Mau nikah sama siapa, mbuh. Pokoknya sedia payung sebelum hujan. Karena itu tadi, 30 bagaikan angka kiamat. Identik dengan cap perawan tua. Identik dengan mid-life sale. Identik dengan Top Three Questions yang diajukan secara intimidatif pada setiap reuni dan acara keluarga: Pacarnya mana? Kok nggak dibawa? Kapan nikah??
kawanlama: Jangan-jangan loe nyari cowok yang nurut sama kemauan loe.
kawanlama: Kacau, kacau...
jennyjusuf: Nggak. Gue nyari cowok yang bisa jadi partner dalam hidup.
jennyjusuf: Gue nyari cowok yang bisa jadi suami buat gue, dan ayah untuk anak-anak.
kawanlama: Loh, tapi kan tiap cowok kalo udah merit ya jadi suami, dan kalo udah punya anak ya jadi ayah.
Saya terdiam. Maafkan kalimat saya, tapi gara-gara konversasi terakhir ini, somehow saya merasa sudah salah memilih teman berdebat. :)
Life is a process.
Itu yang selalu saya percayai. Dan dalam proses tidak ada kata instan, kecuali dalam pembuatan semangkuk mie. Bahkan mie instan pun memerlukan setidaknya 3 menit untuk betul-betul matang.
Karena menikah, otomatis menjadi suami (atau istri).
Karena punya anak, otomatis menjadi ayah (atau ibu).
Plis dong ah.
Sekali lagi maafkan saya, tapi untuk urusan satu ini, saya memilih untuk tidak menggunakan kata ‘menjadi’. Saya lebih suka memakai kata ‘disebut’.
Karena menikah, otomatis disebut suami (atau istri).
Karena punya anak, otomatis disebut ayah (atau ibu).
Hmmmpfff…
Setelah percakapan di kanal maya itu berakhir, saya termenung lama. Memuaskan diri dengan memikirkan hal-hal
Kenapa oh kenapa status lajang di usia tertentu bisa membuat seseorang tampak nista?
Kenapa oh kenapa tampilan lahiriah selalu dijadikan parameter untuk menilai keberadaan seseorang?
Apa kabarnya ‘don’t judge a book by its cover’?
Apakah kalau seseorang (dalam hal ini perempuan) tidak bisa memenuhi standar ideal kecantikan, tidak bisa mendapatkan Prince Charming dan belum bisa menghasilkan calon penerus bangsa sebelum usia 30, lantas ia layak disejajarkan dengan tumpukan kaus berlabel ‘UP TO 50%’?
Mendadak saya ingat pada sebuah kalimat dalam novel Beauty Case karya Icha Rahmanti.
“...mungkin pelajaran sesungguhnya adalah waktu kita masih bisa tersenyum dan bersyukur, berpikir bahwa kita sempurna apa adanya…”
... ...
Dia benar.
Lepas dari 'kenapa' dan 'bagaimana'; lepas dari berbagai perspektif dan konsep ideal yang simpang-siur; kehidupan itu sendiri tetaplah patut disyukuri dengan senyuman, karena ia berharga apa adanya.
Hidup adalah hadiah terbesar yang diberikan Sang Pencipta -entah dijalani sendirian atau berpasangan; pada usia 25-27 atau di atas 30; dengan Prince Charming atau
Entri ini dipersembahkan untuk setiap makhluk bernama Perempuan.
Banggalah dengan dirimu. Kamu sempurna, karena kamu berharga.Untuk Kawanlama: Kalau elo baca entri ini, jawaban gue masih tetep sama, Jendral. :)