Itulah yang diucapkan seorang teman kemarin, dalam konversasi singkat sambil menyantap nasi-perkedel, ketika ia bercerita tentang seseorang yang kebablasan ngoyo dalam mewujudkan impian sampai rela menempuh segala macam cara, termasuk yang 'tidak wajar'.
Saya mengerutkan kening. “No choice?”
Teman saya mengangguk. “Dia bilang gitu. Katanya, cuma itu satu-satunya jalan untuk mendapatkan mimpinya. Tau, lah. Anaknya emang keras, sih...”
Kami meneruskan makan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tidak punya pilihan? Itu hal baru bagi saya, yang selalu mempercayai bahwa hidup ini terdiri dari pilihan dan kesempatan untuk memilih - lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya. Bahkan anak sekecil Alex sudah belajar tentang itu dalam usia yang sangat dini.
Gara-gara ketakutannya pada pesawat, berkali-kali si kecil harus ‘pasrah’ ditinggal Mommy dan Daddy keluar kota selama berhari-hari. Untuk alasan yang tidak jelas, Alex sangat emoh diajak naik pesawat. Jangan coba-coba membujuknya dengan rayuan apapun. Ia bahkan pernah ‘ngamuk’ di bandara sesaat sebelum boarding dan menggigit bahu Ncus sampai jadi tontonan orang.
Berkali-kali diajak Mommy dan Daddy plesiran *halah* keluar kota, berkali-kali juga si kecil menolak, meski ia tahu konsekuensinya adalah tidak bisa bobo bersama Mommy, tidak bisa dikeloni Daddy, tidak bisa bermain bersama mereka, tidak bisa bermanja-manja, dan segudang ‘tidak bisa’ lainnya. Still, tiap kali
Saya pernah meneteskan airmata ketika suatu malam Alex terbangun dan menangis hebat karena tidak menemukan Mommy dan Daddy. Ia ngotot ingin masuk ke kamar mereka, dan ketika melihat tempat tidur yang kosong, tangisnya makin bertambah hebat. Saya hanya bisa mengelus punggung kecilnya yang berguncang-guncang (sementara airmata dan ingus berlelehan di wajah mungilnya yang memerah). Saya berbisik, “Alex kemarin diajak Mommy kan nggak mau, jadi Alex ditinggal. Sekarang kita tunggu aja, lusa Mommy sama Daddy pulang. Lain kali kalau Alex diajak, Alex harus nurut…”
Ajaib, tangisnya berhenti dan ia kembali terlelap. Saya memandanginya sampai ikut tertidur. Sekejap, hati saya mencelos. Bocah sekecil itu sudah belajar menjalani konsekuensi dari sebuah pilihan.
Seminggu lalu, out of nowhere, saya tergoda keinginan
Ketika tahu bahwa saya akan menempati sebuah kamar tanpa AC dan hanya berbekal kipas angin pinjaman, adik saya sempat nyeletuk, “Paling juga langsung sakit!”. Saya hanya menanggapi dengan cengar-cengir.
Dan terbuktilah bahwa selama 24 tahun saya sudah menjadi anak manja yang terbiasa dengan kehidupan serba nyaman. 4 hari kos, entah berapa kali saya memaki-maki (dalam hati) atas semua ketidaknyamanan yang saya rasakan, yang akhirnya bikin saya malu sendiri karena terlalu aleman: Duoooh, biasa aja kaleee Jen...
Tapi, lepas dari semuanya, saya sangat menikmati efek keputusan ini. Saya yang terbiasa pulang kerja-masuk kamar-menyalakan AC-mandi air hangat-nongkrong di depan komputer kini merasakan ngejogrok di pinggir jalan menunggui tukang mie tek-tek, nyasar di gang yang gelap pukul 10 malam, menahan mulut untuk tidak jerit-jerit melihat laci dirubung semut merah yang menyerbu persediaan makanan instan saya, terkunci di depan kamar sendiri dengan dodolnya, berkali-kali ketinggalan barang, berpeluh-ria mengejar angkot saat bangun kesiangan, hidup super-irit ala anak kos sejati *tsaelah*, dan banyak lagi (yang kalau diteruskan bakal semakin membongkar aib, hahaha!).
Tapi semua itu terbayar ketika saya membuka pintu kos-kosan dan mendengar suara tawa teman yang sedang asyik menonton Extravaganza. Kekesalan menghadapi cucian berember-ember menguap begitu saja saat mencium aroma tempe goreng dan percakapan teman-teman yang sedang memasak di dapur. Rasa jengkel gara-gara invasi semut merah lenyap seketika saat bergabung di depan TV untuk melihat babak workshop Indonesian Idol (yang dulu mah boro-boro saya ikuti). Sebal gara-gara udara panas yang membuat keringat terus-terusan mengalir langsung sirna begitu tubuh tersiram air keran yang sejuk. Kembung di pagi hari akibat terpapar kipas angin seperti tidak ada artinya ketika mendengar teman kos jebar-jebur di kamar mandi sambil bernyanyi-nyanyi riang. Seluruh penat hilang ketika saya berdiri di balkon, tepat di depan kamar, ngadem sambil memperhatikan atap rumah tetangga dan menatap langit malam yang tidak pernah berbintang.
Mendadak saya merasa ‘bebas’. Hidup ini milik saya seutuhnya, dan apapun pilihan yang saya buat akan menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya, lengkap dengan segala konsekuensinya.
Saya memilih untuk tidak melihat konsekuensi sebagai ‘akibat’ dari keputusan yang ‘harus’ saya jalani, melainkan memandangnya sebagai sebuah pembelajaran. Sama seperti ketika saya mengejar mimpi-mimpi saya dan menemui begitu banyak kegagalan. Saya memilih untuk tetap berjalan. Saya memilih untuk bangkit dan terus mencoba. Saya menolak untuk dikalahkan oleh rasa jenuh dan putus asa. Saya menolak untuk berhenti ketika menghadapi tembok. Saya berjalan memutar. Saya mendaki. Saya memanjat.
Dalam saat-saat paling sukar dimana saya merasa tidak ada gunanya meneruskan perjalanan, impian-impian itu menopang semangat saya – menuangkan bensin pada nyala api yang mulai redup. Saat saya mulai mempertanyakan keputusan yang saya buat, saya diingatkan bahwa tidak ada gunanya menyesali sebuah pilihan, karena hidup diciptakan untuk terus dijalani; ke depan, bukan ke belakang. Saat saya merasa kehabisan energi untuk terus melangkah, saya membuka kembali lembaran-lembaran mimpi yang tersimpan rapi di dasar hati dan menemukan tenaga untuk kembali berjalan.
Sederhana saja. Saya memilih untuk bertahan.
Saya selalu percaya pada kekuatan mimpi. Mimpi yang ‘menghidupkan’ saya. Mimpi yang memberi makna dalam tiap jengkal langkah saya. Mimpi yang menyediakan masa depan dan menyalakan sinar dalam malam-malam tergelap saya. Saya tidak akan berhenti bermimpi, dan saya tidak akan jera mengejar mimpi-mimpi itu sambil terus berharap pada Sang Pemilik Kehidupan yang berkuasa mewujudkan setiap impian -- menurut cara-Nya sendiri.
Saya selalu percaya Ia akan memeluk setiap harapan, dan karenanya saya tidak pernah takut untuk bermimpi. Saya selalu yakin, Ia yang berkuasa menilik hati setiap manusia, yang telah memberi kekuatan pada kaki-kaki saya, juga akan membukakan jalan ketika saya terus menapak dengan hati yang senantiasa terbuka untuk belajar dari kesalahan serta mengisi hidup dengan rasa syukur.
-----
Saya bersuara pelan. “Mimpi memang bisa ngasih arti di hidup kita, tapi ngeri banget kalau mimpi sampai bikin kita jadi ‘buta’ dan nggak sanggup ngeliat konsekuensi di depan.”
“Atau punya ambisi berlebihan,” teman saya menimpali. Lagi-lagi kami membisu, melanjutkan makan siang dengan benak mengembara.
Tidak punya pilihan? Bukankah tindakan menjalani hidup yang tanpa pilihan itu juga sebuah keputusan?
Entri ini hanya ditulis dari sebuah percakapan singkat saat makan siang. Kontemplatif? Mungkin tidak. Sok bijak? Sepertinya. Menggurui? Mudah-mudahan tidak.
Mungkin yang saya tulis ini tidak ada artinya untuk sebagian orang, bahkan nggak jelas ujung pangkalnya. Tapi, bagi
Semoga. ;-)
*Entri pertama yang saya tulis di ‘rumah baru’, pukul 1 malam, dengan jendela terbuka sambil mendengarkan rintik hujan.. yes, nggak penting ;-D
3 comments:
menyadari bahwa segala hal adalah konsekuensi dari pilihan kita, thus pembelajaran, bisa bikin hidup jadi lebih ringan & indah :)
"Tapi, bagi seseorang yang sedang mengejar mimpi untuk berjaya di dunia internasional dengan cara memperpanjang kaki dan menggunakan tulang artifisial sepanjang 15 senti demi menambah tinggi badan (dengan resiko osteoporosis dini, kelumpuhan setelah 1 dekade, plus pantang berolahraga).."
siapaa ini?
*curiouscurious
aj's lover: betuuuul! Teteub ada sebel-keselnya, tapi nikmat lah pokoknya, hahahah..
Ami: ya itu.. yang gue coretin, seorang artis muda cantik berinisial *beep-beep* (japri aja ahhh, huhehehe ;P)
Post a Comment